Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

l i m a

Ada yang menarik, sejak tatap pertama kita.
Membekas, layaknya ingatan tentang kebahagiaan.

Namun, aku lupa, bahwa kamu pun berpotensi ku panggil sebagai luka.

***

Hari ini nyaris seluruh mahasiswa baru prodi Komunikasi 2016 berkumpul di auditorium fakultas, menghadiri pengarahan mengenai tugas pembuatan iklan layanan masyarakat dan malam inagurasi.

Sudah menjadi proker tahunan HMJ bahwa setiap mahasiswa baru wajib membuat video campaign atau iklan layanan masyarakat secara berkelompok, video tersebut nantinya akan di tayangkan di malam inagurasi. Tiga video terbaik akan mendapat hadiah yang disediakan oleh panitia.

Di antara kumpulan mahasiswa baru tersebut, Kiana dan Naura duduk di pojok ruangan. Berbeda dengan Naura dan teman-temannya yang lain, Kiana tampak tidak terlalu bersemangat mengikuti kegiatan ini.

Matanya sudah nyaris segaris. Kiana ngantuk berat.

Baru seminggu menjalani masa perkuliahan, Kiana sudah dibuat lelah dengan tugas yang menumpuk dan ceramah dari dosen berkepala plontos.

Kuliah memang tidak seindah FTV, buktinya, sampai sekarang Kiana belum bertabrakan dengan cowok yang bisa bikin dia langsung jatuh cinta. Jangankan jatuh cinta, cowok-cowok ganteng di area kampusnya kayaknya udah ilfeel duluan sama Kiana, gara-gara kebiasaannya ngorok di kelas.

"Nau, gue ngantuk banget sumpah! Rasanya kayak belum tidur dari jaman Firaun," Naura mendelik mendengar keluhan Kiana.

"Lebay banget sih, Ki, tahan dikit apa, kalau di sini lo tidur, yang denger lo ngorok bukan cuma satu kelas tapi satu angkatan, memang nggak malu apa?" Kiana mengibaskan tangannya tidak perduli.

"Bilang aja gue sleeping beauty, jadi kudu pangeran yang ngebangunin gue."

Naura menggelengkan kepala, tapi tidak sempat protes karena Kiana sudah meletakan kepalanya di atas lengan, selanjutnya dengkuran halus terdengar.

***

Kiana sedang berada di atas sebuah ayunan yang bergerak lambat, di atasnya terdapat bulan separuh dan kerlip bintang bertebaran.

Bau kayu mahoni, dan lembabnya angin malam menggoda indera penciuman Kiana. Gadis itu memejamkan matanya merasakan semilir angin menggelitik pipinya.

Seseorang datang dari kejauhan, wajahnya tidak terlihat, tertutup oleh gelap. Kiana menghentikan gerak ayunannya, sekalipun sosok tersebut masih belum jelas rupanya, namun Kiana tau, ia begitu merindukannya.

Kiana baru ingin menghampirinya, ketika sebuah suara menyebalkan terdengar, entah dari mana.

"Cewek pemalas, bangun."

"Manusia panda."

"Sleeping ugly."

"Masha Allah kebo banget!"

Selanjutnya, Kiana merasakan rintik hujan turun. Jatuh, satu persatu, sebelum akhirnya mengguyur Kiana layaknya ember tumpah.

"Tsunami!" Kiana menjerit kaget, matanya mengerjap-ngerjap, berusaha mengenali keadaan sekitar.

Alih-alih berada di atas ayunan, Kiana berada di ruangan Auditorium. Mata-mata dari ratusan kepala yang ada di sana menghadap ke arah Kiana, dengan sorot yang nyaris serupa. Geli tapi kasihan.

Menyadari bahwa ia bukan tenggelam karena tsunami dari langit, Kiana mendelikan matanya, pada satu-satunya tersangka pengganggu mimpi indah Kiana. Siapa lagi kalau bukan Arjuna.

Cowok itu menatap Kiana datar, dengan sebotol tupperware yang isinya tinggal separuh.

"Lo sama cewek nggak bisa lembutan dikit ya?!"

"Lo tanya sama seluruh orang di sini, betapa sabarnya gue ngebangunin lo." Kiana memberenggut, namun belum tau tidak mampu membalas Juna.

Juna meletakan selembar kertas tepat di hadapan Kiana. "Ini, nama teman sekelompok lo dan nama mentor lo, sekarang kumpul, lima belas menit lagi, presentasi konsep dasar!"

Kiana mencibir lalu meneliti kertas di tangannya, matanya langsung melotot membaca nama yang tertera sebagai mentor.

"LAH KOK GUE DI MENTORIN SAMA JUNAEDI?!" Sebenarnya Kiana tidak bermaksud untuk berteriak, namun jeritannya adalah bentuk refleks.

Ia langsung menyesalinya begitu menyadari kini kepala-kepala di ruangan ini kembali menoleh padanya, termasuk cowok tinggi yang tadi mengguyurnya.

Naura langsung menyikut Kiana, sedangkan cewek itu sudah meringis kecil. Susah memang kalau punya mulut nggak ada remnya.

Juna memicingkan mata, lalu kembali menghampiri Kiana, kedua tangannya di masukan ke dalam saku. Dingin, tatapan Arjuna serasa mampu menghunus Kiana.

"Sori, tadi lo bilang siapa yang jadi mentor lo?"

Kiana merapatkan bibirnya, tidak berniat menyahut.

"Nama gue Ar-ju-na-pra-na-ja, nggak ada huruf d, e atau i-nya, kalau lo mau tau."

Ya, gue sih nggak mau tau, batin Kiana tanpa membalas tatapan Juna.

Juna menghembuskan napas kasar sebelum memajukan tubuhnya, menatap Kiana tepat di manik mata.

Dan lagi-lagi, mata gelap itu terasa familiar.

Kiana mengerjap-ngerjapkan matanya, membuat Juna tiba-tiba saja tersentak. Tubuhnya mundur seketika, untuk sesaat Juna terlihat shock.

Namun dengan cepat penguasaan dirinya kembali, Juna menggelengkan kepala, sebelum menghembuskan napasnya kasar.

"Kumpul. Sama. Kelompok. Lo. Sekarang." Juna menggeram, dengan penekanan pada setiap katanya, sebelum meninggalkan Kiana yang mencebikan bibir.

***

Kiana merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Persetan soal video kampanye anti bullying atau apalah itu namanya. Seniornya itu mungkin terlalu kreatif untuk memberikannya tugas tambahan, diantara setumpuk tugas wajib dari dosen berkepala licin.

Ia bergelung di dalam selimut, lalu mengusap selimutnya sayang, "maaf ya, belakangan ini kamu aku tinggalin terus."

Perlahan, matanya terpejam, hanyutnya Kiana ke dalam mimpi bersamaan dengan munculnya sepasang mata jernih Juna dalam alam bawah sadarnya.

Mata hitam dan tajam itu menatap Kiana dengan berbagai sorot, dan entah bagaimana Kiana merasa ia telah tenggelam dalam iris segelap malam tersebut.

***

Juna menghembuskan asap rokok dari bibirnya, di sampingnya seorang cowok bernama Saka hanya bisa menggelengkan kepala.

Mereka ada di balkon apartemen Saka malam ini. Kedua kaki Juna naik ke atas pagar balkon, matanya tidak lepas dari langit malam. Kelam dan gelap.

Saka akhirnya menghela napas, lelah melihat sahabatnya menghancurkan diri sendiri.

"Kenapa lagi lo?"  pertanyaan Saka adalah jenis pertanyaan yang wajar, karena gesturenya Juna dalam menghisap tembakau malam ini, tampak seperti memikul beban.

"Nggak, tiba-tiba aja gue inget sama dia," mata Juna mengarah pada langit, atau tepatnya bulan separuh di sana.

"Jun, nyokap bokap lo udah ngelakuin hal yang mereka bisa untuk bikin lo bahagia, jangan terlalu lama tertahan, you must go on."

Juna menggeleng, lalu tersenyum miring.

"Nggak mungkin gue lupa, Sak. You know it."

"Ya, setidaknya lo berhak untuk ngerasa bahagia, kan." Bukan pertanyaan, itu pernyataan. Saka bangkit dari duduknya, menepuk pundak Juna sebelum meninggalkannya sendiri.

"Dia juga pasti berharap, lo bisa bahagia."

Juna memejamkan matanya, merasakan angin berhembus diantara sela-sela rambut dan tengkuknya. Namun, bukan nama seseorang di masa lalu yang terdengar, melainkan sebuah nama yang belum lama ini ia ketahui.

Kiana Niranjana. Kiana Niranjana. Kiana Niranjana.

Nama itu bergaung di tempurung kepalanya, sedangkan alam bawah sadarnya mengingat detail gadis tersebut.

Mata cokelat madunya, bibir ranumnya yang mengerucut, pipinya yang tampak penuh.

Tanpa sadar, ujung bibir Juna tertarik mengingat bagaimana gaya gadis itu berbicara. Cuek dan blak-blakan.

Jeritan dari ponsel Juna, memutus imajinasinya mengenai Kiana. Dengan sekali gerak, di liriknya nama yang tertera pada ponsel. Mamanya.

Juna bangkit dari posisinya, menginjak batang tembakau, sebelum akhirnya memastikan bahwa rokoknya telah mati sempurna.

"Hallo Ma?" sapa Juna setelah panggilannya tersambung.

"Kamu di mana sayang? Masih lama nggak pulangnya?" suara lembut Mamanya terdengar dari ujung sana.

"Iya, Juna sebentar lagi pulang, Mama udah makan belum? Mau di bawain sesuatu?"

"Nggak, Mama masak perkedel kesukaan kamu." Mendengar kalimat Mamanya, Juna langsung menyampaikan tas di bahu.

Dalam benaknya, sudah terbayang rasa kentang dan daging giling di campur nasi putih panas, di makan pakai tangan. Duh, surga dunia!

"Juna pulang sekarang, Ma, see you!" Juna memutuskan sambungan telepon, lalu masuk ke dalam. Saka yang berada di depan televisi, menaikan sebelah alisnya.

"Mau kemana lo?"

"Cabut! Nyokap gue masak, masakan Perancis di rumah!" Saka melengos mendengar kalimat Juna, ia sudah hapal masakan Perancis yang Juna maksud. Paling-paling tidak jauh dari menu warteg dekat rumahnya.

"Yaudah hati-hati ya Mas Boy!" teriak Saka tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

"Mas Boy udah meninggal," sahut Juna asal, sebelum benar-benar keluar, Juna berteriak.

"Mas Bram baik-baik ya di rumah, jangan bukain pintu kalau Hello Kitty dateng!"

Begitulah selanjutnya. Juna melangkah dengan hati yang lebih ringan. Saka benar, orang tuanya telah berusaha melakukan yang terbaik, tidak sepantasnya ia tidak bersyukur.

Malam ini, mereka akan menjadi keluarga bahagia seperti biasanya, hanya ada Mama, Papa, Juna dan perkedel kentang.

---
A/n : hi kurang greget ya? Gapapa ya, just for meet Saka, walaupun sifatnya Saka belum keluar sih di sini.
Bdw, gue nggak berniat main plot twist sih di cerita ini haha
Yasudah lah semoga suka aja!

Naya❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro