e n a m b e l a s
Katamu, ada kerlip bintang yang jatuh di mataku.
Seolah menjadi pantulan dari langit berlatar biru pekat.
Namun, kamu lupa sayang, bahwa bintang pun kelak akan mati.
Dan percayalah, sinar di mataku pun meredup bersama perginya sosokmu.
***
Langit sudah menggelap sejak setengah jam yang lalu, sementara itu Juna sepertinya belum berniat mengajak Kiana pulang. Cowok itu mengendarai mobilnya menuju Bandung, bukan ke kota, roda kendaraannya terus melaju melewati pemukiman warga hingga sampai pada sebuah bukit.
Sebelum mengajak Kiana turun, Juna meraih jaketnya dari jok belakang, lantas memberikannya pada Kiana.
"Dipake, di sini lebih dingin dari pada Puncak Pas."
Benar apa kata Juna, karena tepat setelah Kiana menginjakan kakinya di atas permukaan tanah, angin malam langsung berhembus disela-sela rambutnya, menyentuh permukaan tengkuknya. Membuatnya merasakan sensasi dingin dan hangat di saat yang bersamaan.
"Kita mau ngapain di sini?" tanya Kiana bingung.
Juna melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu mengambil sebuah kain dari dalam mobilnya.
"Kak Juna, lo mau ngapain sih?" Alis Kiana kian berkerut kala melihat Juna memanjat mobil dan menghamparkan kain tersebut di atap mobil.
Juna tidak menjawab, ia hanya tersenyum lalu membantu Kiana untuk naik ke atap mobil.
Kiana masih ingin bertanya, namun kalimatnya terputus di ujung bibir karena Juna menunjuk langit di atas mereka. Tanpa sadar, napas Kiana kembali tertahan untuk kesekian kalinya. Ia terperangah, menemukan taburan bintang di atas kepalanya.
Jauh lebih banyak dari pada di langit Jakarta, jauh lebih banyak pula dari pada yang mereka pernah saksikan bersama di panti asuhan, langit malam itu serupa butiran glitter yang di sebar di permukaan hitam.
"Gila, bagus banget." Kiana berdesah berlebihan. Matanya mengerjap, tampak begitu takjub.
"Di sini, polusinya lebih sedikit dari pada di Puncak, dan untuk melihat hujan meteor, kita perlu langit yang bersih."
"Hujan meteor?"
"Hm, hari ini ada hujan meteor Draconid, ya walaupun gue nggak yakin sih, di sini bisa kelihatan juga, apalagi kalau bintangnya lagi banyak begini." Mata Kiana sontak membulat, rautnya berubah panik seketika.
"KAK JUNA, KITA HARUS CABUT, NANTI KALO KITA KETIBAN METEOR GIMANA?!"
Juna berdecak sebal, lalu mendorong dahi Kiana dengan ujung telunjuknya. "Kiana, meteor hari ini itu cuma berasal dari stardust rasi bintang Draco, nggak akan bahaya, bisa kelihatan aja kita harus bersyukur."
Kiana menggaruk tengkuknya cengengesan. "Ya, maap deh, kan nggak lucu aja gitu kalo kita meninggal ketiban bintang, gue masih mau hidup, belum ngerasain di peluk Lee Min Ho soalnya."
Juna mendengus mendengar kalimat Kiana. Entah Kiana terlalu lugu, atau gadis itu terlalu cuek, hingga tidak memahami bahwa stargazing merupakan kegiatan yang seharusnya romantis.
Juna merebahkan tubuhnya, menjadikan lengannya sebagai bantal. Mata cowok itu menatap langit di atasnya, kalaupun langit Bandung belum mengizinkan mereka untuk menyaksikan bintang jatuh, Juna sudah cukup bersyukur dapat melihat langit dengan taburan bintang bersama seorang Kiana Niranjana.
"Pinjem lengan dong," ujar Kiana tiba-tiba, membuat Juna mengerutkan dahi. Tanpa Juna duga, Kiana menarik lengannya, lantas menjadikannya sebagai bantal.
Sesaat, Juna menahan napas.
Kiana begitu dekat dengannya, sampai-sampai ia bisa menghirup wangi shampoo gadis itu. Untuk kesekian kalinya, Juna harus terperangah demi menatap gadis di sampingnya.
Langit malam terpantul di permukaan mata madu Kiana, seolah iris mata itu memang tercipta dari jutaan bintang.
"Lo tau nggak sih, dulu nyokap gue sering cerita dongeng tentang bintang, bulan dan matahari."
Juna tidak tau, apa yang mendorongnya untuk mulai berkisah. Mungkin langit malam yang sedang bagus-bagusnya, atau sorot mata Kiana yang baru saja ia saksikan.
"Dongeng apa?"
"Mau denger?" Kiana mengangguk bersemangat, sementara matanya mulai intens menatap Juna.
Sejak kecil, ia memang paling suka dibacakan dongeng, namun sayang Mamanya bukanlah pendongeng yang baik.
"Jadi, dulu itu ada ada sebuah kerajaan di langit. Nah, Bintang, Bulan dan Matahari itu adalah anak-anak langit."
Juna memberi jeda sejenak, matanya tampak menerawang, telah lama cerita ini tidak ia bagi dengan orang lain. Karena memang, dongeng itu merupakan sepenggal ingatan tentang masa lalunya. Menceritakan dongeng ini, sama seperti melihat bintang; cara untuk mengenang almarhumah Bundanya.
"Matahari memiliki jiwa kepemimpinan, ia terlahir sebagai penguasa. Bulan adalah putri kerajaan yang cantik jelita, sementara Bintang merupakan pangeran yang tampan.
Sejak terlahir, Bulan telah ditakdirkan untuk berjodoh dengan Bintang, Bintang pun mencintai Bulan karena kecantikannya." Mendengar kalimat terakhir Juna, pangkal hidung Kiana mengerut tidak suka.
"Ih, Bintangnya nggak tulus tuh berarti, masa suka karena fisik, tapi emang sih cantik itu mutlak yang lain sih belakangan." Komentar Kiana disahut Juna dengan tatapan datar, membuat gadis itu mengacungkan kedua jarinya dan buru-buru merapatkan bibir.
"Dengerin dulu dong," ujar Juna lembut, lantas cowok itu melanjutkan.
"Tapi, sebenarnya Bulan jatuh cinta pada Matahari, begitu pun Matahari, ia bercita-cita untuk menjadikan bulan sebagai permaisurinya. Namun, sayangnya ada peraturan semesta yang mereka lupakan, bahwa takdir telah ditentukan; Bulan adalah jodoh Bintang dan sebagai penguasa, Matahari telah ditakdirkan untuk hidup sendirian tanpa pendamping."
"Kasian Mataharinya, masa jadi jones," Kiana menekuk bibirnya, sebenarnya Juna ingin protes karena kegiatan berceritanya di sela, namun melihat raut lucu Kiana, kekesalannya surut seketika.
"Kiana sayang, gue masih cerita, dengerin dulu ya." Panggilan Juna sontak membuat rona merah menjalar di pipi Kiana. Terbata, gadis itu mengangguk kikuk.
"Raja langit yang mengetahui cinta terlarang antara Matahari dan Bulan marah besar. Mereka pun di pisahkan dalam dua rotasi langit yang berbeda, Bintang yang kecewa akhirnya pecah menjadi titik-titik kecil, walau begitu, karena cintanya yang terlalu besar pada Bulan, Bintang tetap berada di sisi Bulan.
Mereka bertiga pun menjelma menjadi benda-benda langit, Karena kesedihannya Bulan perlahan kehilangan cahayanya, langit di sekitarnya menggelap hingga hadirlah malam, Matahari yang mengetahui hal tersebut akhirnya memohon pada Raja Langit, untuk memberikan cahayanya pada Bulan, Raja Langit setuju, namun dengan syarat mereka tetap tidak boleh bertemu, karena kalau mereka bertemu, Matahari pun akan kehilangan cahayanya.
Akhirnya, setiap kali matahari hendak pergi, ia menyisakan cahaya jingga keemasan di langit, dan setiap kali hendak turun Bulan akan menangis, sehingga air matanya berubah menjadi embun. Konon katanya, mereka hanya bisa bersatu apabila pecahan bintang terakhir berhenti berpijar."
Kiana menghembuskan napas berat, entah apa yang ada di pikiran gadis itu, namun matanya tampak menerawang.
"Ceritanya sedih."
Juna tersenyum miris, "nyaris semua versi asli dongeng berakhir tragis Ki, kita harus berterima kasih sama Walt Disney karena udah mengubah alur Putri Duyung dan dongeng lainnya."
"Ironis banget, mereka nggak akan punya happy ending, karena demi kebahagiaan Matahari dan Bulan berarti Bintang harus mati, padahal apanya yang menyatu, kalau Bulan dan Matahari bisa bersama itu sama aja artinya kayak kiamat, mereka dipertemukan hanya untuk dihancurkan bersama."
Juna mengacak puncak kepala Kiana, lantas melirik jam di pergelangan tangannya.
"Di tempat lain sekarang hujan meteornya udah mulai, lo nggak mau make a wish? Cewek kan biasanya percaya tuh sama takhayul-takhayul kayak gitu?"
"Emang kalau nggak ngelihat langsung, keinginannya bisa tetap terkabul?"
Juna mengedikan bahunya tak acuh.
"Gue nggak percaya yang begituan, gue cuma suka aja lihat pemandangannya."
"Sama sih, tapi kalau lo benar punya kesempatan buat minta apapun, lo bakal minta apa?"
Pertanyaan Kiana membuat Juna terdiam untuk sesaat. Telah lama sejak ia berhenti berharap, nyaris semua masa lalunya tentang kepahitan, jadi ia sudah cukup bersyukur dengan hidupnya saat ini.
Tapi, kalau memang boleh Juna meminta, jika apapun permintaannya dapat dikabulkan, maka ia berharap ia mampu memutar waktu, menghidupkan kembali yang mati, dan mengubah alur hidupnya.
Juna tersenyum lemah, lantas menjawab pertanyaan Kiana.
"Semua yang gue inginkan adalah hal yang mustahil."
Tanpa Juna duga, tangan Kiana bergerak, menyentuh puncak kepala Juna perlahan.
"Kalau gitu, biar gue aja yang berharap, gue harap lo nggak selamanya terkurung di masa lalu, gue harap semua sakit yang pernah lo rasain bisa sembuh, gue berharap lo bisa bahagia."
Sesuatu yang sebelumnya tak pernah Juna duga terjabar di raut wajah Kiana. Sorot mata gadis itu begitu tulus dan transparan, seolah Kiana pernah merasakan apa yang ia rasakan. Seolah gadis itu tidak hanya mendengar ceritanya, namun ikut hidup bersama ruhnya.
Seakan Kiana adalah cerminan dirinya sendiri.
Juna tidak menangis, namun ibu jari Kiana bergerak di pipinya, seolah mengusap air matanya. Selepas melempar senyum sekilas, mata Kiana kembali menatap langit malam.
Gadis itu tidak menyadari, bahwa hidup seseorang, baru saja ia rubah.
Untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun berhenti berharap, sesuatu muncul dalam dada Juna, bentuknya seperti percikan kembang api, menyala dan memberikan rasa hangat yang menjalar.
Sekali saja, ia ingin berharap kembali.
"Bisa lo kabulin satu permintaan gue?" Kalimat Juna sontak mengundang tolehan kepala Kiana.
"Apa?"
"Jangan sakit, dan jangan mati di depan gue," Juna menggantung kalimatnya sejenak, berusaha menemukan arti dari tatapan jernih mata Kiana. "Karena gue berharap lo ada di sisi gue, selamanya."
Kiana terpekur, bayangannya terkunci dalam sorot teduh mata Juna, jantungnya berdebar, dan sesuatu berdesir dalam darahnya.
Gadis itu tak mampu mendefinisikan apapun, baik kalimat Juna maupun denyut di nadinya.
Kata 'selamanya' tampak begitu magis baginya, seperti sebuah dongeng pengantar tidur yang terlalu indah untuk menjadi nyata.
Namun anehnya, ia tidak mampu mengelak. Sekali ini, ia pun ingin percaya bahwa di dunia nyata juga ada kata 'selamanya' dalam arti yang harfiah.
***
Dimas menggosok telapak tangannya, sudah lebih dari delapan jam ia menunggu Kiana. Namun, gadis itu belum juga terlihat kehadirannya.
Sudah beberapa kali Dimas berniat untuk pulang, tapi ia takut, jika ia pergi, maka justru Kiana yang akan menunggu kehadirannya.
Sekotak cheese cake masih tergeletak di sampingnya, meskipun bentuknya sudah sedikit berubah.
"Dimas?" Naura mengernyitkan dahinya kala mengenali sosok yang duduk di saung. "Lo belum pulang?"
Dimas menggaruk tengkuknya, lantas terkekeh kecil.
"Belum, Kiananya belum pulang."
"Astaga dragon, coba ditelepon Kiananya, mungkin dia udah pulang ke rumah?" ujar Naura seraya menghempaskan tubuhnya di samping Dimas.
Ia tidak tau harus bersyukur atau justru sedih dengan keberadaan Dimas di sini, pasalnya, berkat kesetiaan cowok itu menunggu Kiana, ia jadi memiliki sedikit kesempatan untuk PDKT, namun kesabaran Dimas juga berarti alarm bagi Naura; Dimas memang menganggap Kiana lebih dari seorang sahabat.
"Nomornya nggak aktif, gue juga udah nelepon ke rumahnya, tapi nyokapnya bilang dia belum pulang."
"Terus masa iya lo mau nunggu sampe pagi? Gue sih senang-senang aja, malah kalo bisa gue sediain deh tuh kamar gue, biar lo enak nunggunya, cuma nanti gue di rajam sama ibu kost."
Mendengar kalimat Naura, bibir Dimas tertarik ke atas, ia tertawa tanpa suara.
"Thanks Naura, lo baik banget, tapi gue nggak akan nunggu sampai besok kok, nanti kalau jam sembilan Kiana belum pulang, gue pulang."
Naura tesenyum simpul, lantas menyodorkan sebelah headset-nya.
"Mau denger?"
Dimas pun menerima headset tersebut, tanpa ia duga, suara anak kecil bernyanyi selamat ulang tahun terdengar di telinganya.
Naura terkekeh geli, lalu mengacungkan dua jarinya, cengengesan.
"Selamat ulang tahun, maaf telat, gue baru tau waktu liat notifikasi di Path."
Dimas tersenyum lebar, tidak menyangka tindakan Naura.
"Terima kasih, Naura."
***
Juna memecahkan rekor, cowok itu mampu membuat Kiana terjaga sepanjang perjalan pulang. Meskipun obrolan keduanya hanya berisi pertengkaran-pertengkaran kecil tidak berfaedah.
Nyatanya berdamai dengan seorang Kiana Niranjana itu memang sifatnya hanya sementara, celetukan gadis itu terlalu absurd untuk Juna abaikan begitu saja, entah itu komentar Kiana mengenai warna jok mobilnya, atau warna kulitnya yang menurut Kiana terlalu putih untuk ukuran laki-laki.
Jam sudah menunjukan pukul 22.30 saat mobil hitam Juna berhenti di depan sebuah pagar tinggi berwarna emas.
"Yuk, gue harus ketemu Bokap Nyokap lo dulu, minta maaf karena mulangin kemalaman," ujar Juna seraya melepaskan seatbelt-nya. Mulanya, Kiana ragu untuk membiarkan Juna bertemu orang tuanya, namun setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya juga mengenalkan Mamanya dengan teman kampusnya selain Naura dan Dimas.
Setidaknya, Mamanya bisa percaya bahwa Kiana bisa punya teman.
Saat mereka memasuki gerbang, kedua orang tua Kiana kebetulan juga baru memarkir mobil mereka. Dengan santun, Juna menyalami tangan Mama dan Papa Kiana.
"Malam Om, Tante, saya Arjuna, maaf baru mengantar Kiana semalam ini."
Mata Mama Kiana membulat, sebuah pemikiran melintas dalam benaknya.
"Kamu pacarnya Kiana?" senyum Mama Kiana tercetak lebar, wanita itu tampak meneliti Juna. Sekilas, raut janggal tampak di wajahnya, sebelum kembali berganti dengan senyum sumringah. "Ganteng banget, pinter aja anak Tante milihnya."
"Kak Juna bukan pacar aku Mama!" Kiana bersungut kesal. Sementara itu, Juna hanya menanggapinya hanya senyum santun.
"Terima kasih Juna sudah mengantar Kiana sampai rumah, lain kali kalau mau jalan-jalan sampai malam tolong kabari ya, soalnya tadi Om telepon Kiana berkali-kali, ponselnya nggak bisa dihubungi." Kalimat Papa Kiana, membuat Juna merasa bersalah.
"Iya Om, maaf, lain kali saya pastikan izin terlebih dahulu."
"Nak Juna mau mampir dulu atau bagaimana?"
Juna langsung menolak secara halus, "nggak usah Om, lain kali saja, sudah malam."
Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Kiana, Kiana mengantar Juna menuju gerbang depan.
Tepat saat tubuh keduanya melewati pagar, mata Kiana bertabrakan dengan manik mata seseorang. Seperti di hantam batu besar, Kiana tersadar dosa besar apa yang baru saja ia perbuat.
"Dimas..."
Cowok itu masih berada di atas motornya, helm full facenya telah di lepaskan, hingga raut pias tampak jelas di wajah Dimas, nanar di tatapnya dua sosok yang berdiri berdampingan di depannya.
Satu setengah jam yang lalu ia memang meninggalkan kost-an Kiana dengan perasaan kecewa, namun ia sama sekali tidak menyangka apa yang ia temukan di seberang rumahnya membuatnya lebih tercekat lagi.
"Dimas maaf, gue lupa sumpah, gue lupa kalo ini tanggal delapan." Panik, Kiana bergerak mendekati Dimas. Rasa bersalah menyelimutinya dalam seketika. Seumur hidupnya, ia tidak pernah merasa sebegini bersalahnya pada Dimas.
Dimas merasakan sesak bergumul dalam dadanya, sesuatu membuatnya merasa kesulitan bernapas. Sebuah gumpalan pahit seperti terjebak di kerongkongannya.
Dimas tidak tau dengan kata apa ia harus mendefinisikan perasaan ini, yang jelas, untuk pertama kalinya, Dimas berharap ia tidak bertemu dengan Kiana.
Sebisa mungkin Dimas mengatur ekspresinya.
Cowok itu menghela napas panjang, lantas menyerahkan kotak cheese cake dan buket bunganya, yang bentuknya sudah berubah.
Kiana tidak mampu merespon tindakan Dimas, ia merasa ia ingin menangis. Kiana mengira, Dimas akan meledak, namun tidak, Dimas hanya menatapnya nanar, sebelum berujar dengan nada rendah.
"Maaf, Cheese cake sama bunganya udah rusak."
Kalimat itu tidak dapat menjelaskan apakah permintaan maaf Kiana telah diterima atau belum. Namun satu yang pasti, kala Dimas berbalik, Kiana sadar; ia telah mengecewakan sahabatnya terlampau dalam.
----
A/n: Hi! Kasihan Dimas :( tapi percayalah teman-teman ku tersayang, Dimas punya hidup yang jauh lebih mudah dari pada Arjuna.
Jangan sebel sama Kiana, dia mah begitu emang. :(
Anyway, maaf ya kalo dongengnya aneh, sumpah lo nyari itu dongeng di Mbah Google pun nggak akan ketemu, bcs memang itu asli murni gue ngarang wkwkwk
Basi banget nggak sih gue bahas bintang terus? Abis gimana dong gue suka bgt bintang :( nggak buung deh :(
Tapi gue nggak ngarang kok soal hujan meteor Draconid, 08 Oktober 2016 kemarin memang ada hujan meteor Draconid, memang agak susah di saksikan di Indonesia, khususnya di daerah dengan polusi cahaya dan polusi udara yang tinggi.
Tapi, bukan nggak mungkin.
Kalau nggak salah tahun ini pun akan ada beberapa kali hujan meteor yang bisa di saksikan di Indonesia (kalau kalian beruntung), inget rasi bintang Lyra? Kalau lupa, coba tanya sama Elang deh, walau nggak sekhatam ngejelasin tentang Altair, tapi dia tetap kenal rasi bintang Lyra kok wkwk.
Nah, tahun ini akan ada hujan meteor dari rasi bintang Lyra, kalau nggak salah di perkirakan puncaknya tanggal 23 April, selain itu akan ada beberapa hujan meteor lg tapi gue lupa, banyak pokoknya.
Ya beruntung deh kalian yang tinggalnya di tempat gelap dan minim polusi, sumpah itu bakal bagus banget, da aku mah bisa apa yang di Bekasi City :(
Anyway, gue mau tanya dong ke kalian out of story sih, pernah nggak sih kalian suka sama temen deket kalian sendiri, tapi kalian tau kalo doi lagi suka sama orang lain(dan itu pun teman kalian sendiri juga). Dan sebagai sahabat, kalian cuma bisa bilang ke doi "yaudah nggak apa-apa tau, sama dia aja, dia baik."
Apa rasanya? Wkwk
Gue nggak curhat kok, mau tau aja pendapat kalian wkwk
Udah ah, gue udah kebawelan, intinya aku sayang kalian dan semoga kalian suka.
Salam sayang,
Naya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro