
d u a p u l u h t u j u h
Apa yang lebih menyedihkan daripada jatuh cinta sendirian?
Saling mencinta, namun tidak di restui semesta.
***
Jam digital di ponselnya telah menunjukan pukul sepuluh pagi ketika Saka tiba di apartemennya. Juna masih belum di temukan, sementara Kiana telah dipindahkan ke ruang perawatan.
Lelah, Saka memijat dahinya.
Mereka berenam memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, beristirahat barang sejenak, dan kembali berkumpul pukul dua siang nanti, untuk kembali mencari jejak Juna.
Sejauh ini, orang-orang suruhan Ayah Juna baru menemukan mobil cowok itu, sementara raga pemiliknya masih tidak teraba. Sesuatu yang pahit terjebak di kerongkongan Saka, ia adalah satu-satunya orang yang menyaksikan seberapa putus asanya Kiana.
Cowok itu belum menceritakan kepada siapapun tentang bagaimana ia menemukan Kiana semalam. Bimbang menahannya.
Orang tua Kiana pasti merasa kacau jika tau bahwa Kiana sempat berniat mengakhiri hidupnya, belum lagi Dimas yang masih menyalahkan diri sendiri karena bertanya di saat yang tidak tepat.
Tadi, sekilas Saka sempat melihat Kiana membuka kelopak matanya, sebelum menutupnya kembali.
Diam-diam, nyeri menyebar dalam dada Saka.
Jika sebagai Kiana Niranjana, Saka hanya memperdulikannya sebagai perempuan yang dicintai Juna, maka lain halnya dengan Rembulan Maharani.
Gadis itu merupakan bagian dari dirinya, sesosok teman yang selalu bertahan di sampingnya sekalipun Saka kecil membecinya. Sesosok gadis yang kala kepergiannya, membuat Saka menangis seharian, sembari berjanji; jika Bulan kembali, maka akan di berikannya miniatur pesawar kesayangannya.
Saka masih mengusap wajahnya frustrasi memikirkan keadaan Juna, ketika matanya menangkap seseorang duduk di atas sofa ruang tengah apartemennya. Tatapannya kosong, baju yang dikenakannya pun berantakan, begitu pula dengan kotoran yang terjejak di seluruh tubuhnya.
Saka mungkin tidak akan mengenalinya pada detik pertama, kalau saja orang itu bukan orang yang menemaninya selama belasan tahun.
Serak, nama itu akhirnya tercetus dari bibirnya. "Juna..."
***
Di sinilah mereka berdua duduk saat ini, balkon unit apartemen Saka. Setelah berhasil membujuk Juna membersihkan diri, Saka menghubungi orang tua cowok itu dan teman-teman mereka yang lain, mengabarkan bahwa Juna sudah ada di apartemennya dengan keadaan baik-baik saja. Sebagai catatan, Saka meminta tidak ada satupun dari mereka yang mengunjungi Juna sampai keadaan cowok itu stabil.
Saka meletakan teh manis hangat dan semangkuk bubur di hadapan Juna, tapi Juna tampak belum menyadari kehadirannya.
Juna sudah bersih saat ini, pakaian kotornya telah terganti dengan kaus oblong lengan pendek dan jeans berwarna biru tua.
Cowok itu menyadarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan mata tertutup, menikmati angin yang bersemilir di atas ketinggian.
"Makan dulu, hati lo boleh patah, tapi lo harus tetap hidup."
Kalimat Saka tidak lantas memecah perhatian Juna, cowok itu tetap dalam posisinya. Sejak ia meninggalkan Jakarta, ia memang belum menyentuh makanan apapun, tidak bahkan setetes air. Namun, ia sama sekali tidak merasa lapar.
Yang ia butuhkan adalah ketenangan, untuk meredam badai di kepalanya.
"Gue tau, lo lelah, tapi lo harus sehat
untuk bisa menjaga Kiana." Saka berujar, namun tetap tidak mengalihkan perhatian Juna.
"..."
"Gue udah dengar semuanya dari Dimas, orang tua Kiana juga sudah mengakuinya." Nyeri. Saka tidak tau, bahwa kalimatnya menghujam Juna tepat di jantungnya.
"..."
"Dan sekarang, Kiana dalam keadaan terkacau, dia... nyaris mati semalam."
Berhasil, kalimat terakhir Saka, mampu membuat Juna membuka kedua matanya, lantas menoleh demi mendapati secercah kebohongan di mata Saka. Namun tidak, tidak ada sedikit pun kebohongan di sana, cowok itu terlihat sama terguncangnya dengan dirinya.
"Dia dimana?" sejak tadi Saka menemukannya di ruang tengah, sampai saat ini, kalimat barusan adalah kalimat pertama yang Juna suarakan.
Saka menyodorkan teh hangat, dan mangkuk buburnya. "Setelah lo makan, gue ceritain semuanya."
***
Semua pemaparan dari Saka barusan membuat Juna tampak lebih kacau dari sebelumnya, terutama setelah Saka menceritakan tentang pengakuan adopsi orang tua Kiana, tentang pengakuan surat kematian palsu, tentang Bulan yang identitasnya telah diubah menjadi Kiana Niranjana.
Juna pikir, kala ia kembali, ia masih bisa mengelak, lantas bergantung pada sedikit keajaiban, namun ternyata orang tua Kiana bergerak lebih cepat, dan mematahkan harapannya terlampau lekas.
"Orang tua Kiana pun berharap bahwa lo bukan Langit, tapi Juna, kita pun tau lo itu Langit, nggak ada yang mampu membantah hal tersebut."
Jalan buntu, tidak ada lagi harapan yang tergenggam di tangannya.
"Gue... gue belum siap bertemu Kiana." Parau, suara itu terdengar seperti sedang memikul segunung beban. Entah apa yang tengah takdir lakukan kepadanya, entah dosa apa yang pernah ia perbuat, hingga ia bahkan tidak diizinkan untuk memiliki sedikit harap.
Saka menepuk bahu Juna, sebelum menggenggamnya.
"Jun... selama lo belum muncul di hadapan Kiana, dia masih berpikir bahwa lo menghilang, dia akan tetap menutup matanya kayak sekarang, dan yang gue takutkan adalah..." Saka menggantung kalimatnya sesaat, tidak ingin mengunjungi ingatan itu lagi, namun langkah Kiana yang terseret menuju tengah jalan raya, memaksanya untuk meneruskan kalimat. "dia bisa nyoba bunuh diri lagi."
"Gue nggak tau Sak harus apa, gue nggak tau harus bilang apa saat ketemu dia nanti, gue nggak tau harus gimana menghadapi dia."
"Jun, gue tau lo lagi berantakan, gue tau lo capek, tapi bagi Kiana, semua ini terlalu tiba-tiba, dalam satu malam dunianya berubah, dia bukan anak kandung orang tuanya, pacarnya adalah kakak kandungnya, dia bakal lebih sulit untuk menerima kenyataan."
Juna mengusap wajahnya kasar, dadanya sesak, ada badai dalam tempurung kepalanya, tapi memikirkan Kiana terluka adalah hal terakhir yang ia inginkan.
Saka benar.
Belum terlalu terlambat baginya dan Kiana untuk memberi jarak, mereka tidak mungkin melawan Tuhan, mereka tidak punya daya untuk membenci takdir. Apapun yang terjadi, sekalipun mereka ingin melupakan kenyataan, semesta tidak akan merestui mereka untuk memiliki akhir yang bahagia.
Sudah cukup kehancurannya, jangan lagi pada Kiana. Akhirnya, bergenap pada seluruh pasrah, ia menguatkan dirinya.
"Antar gue ke sana Sak, sekarang."
***
Sudah berjam-jam lamanya Kiana memejamkan mata, namun lelahnya tak kunjung usai, ia masih belum berani membuka mata. Berjam-jam tersebut, ia habiskan untuk bernapas di ambang kesadaran.
Dalam mimpinya, Kiana melihat Juna beranjak meninggalkannya, ia pun tidak ingin bangun jika yang harus ia hadapi adalah kenyataan yang serupa.
Namun, kala tangan seseorang merangkum tangannya, Kiana tau ia tidak sendirian. Gadis itu tidak lantas terbangun, membiarkan dirinya sendiri terbelenggu oleh angan.
Semenit, dua menit, hingga jarum jam berganti angka, gadis itu masih belum mau membuka kelopak matanya. Ia takut, ia takut jika ia membuka matanya bukan Juna yang ia temui, ia takut jika ia membuka matanya Juna masih belum kembali ke sisinya. Ia takut genggamannya hanya berupa halusinasi tengah malam.
Sampai pada akhirnya, wangi sitrus teraba indera penciumannya, dan hela napas yang teratur terdengar dari telinganya.
Perlahan, dengan sangat perlahan kelopak mata itu terbuka, menampakan mata berwarna cokelat madu dibaliknya.
Juna tersenyum sedih, saat melihat luka yang nyata dalam iris jernih tersebut. Dadanya bergejolak, mati-matian di tahannya air mata yang menuntut untuk ditumpahkan. Ia belum siap bertemu Kiana, ia belum siap menemui gadis itu sebagai kakaknya, ia belum siap untuk melepaskan Kiana.
"Kak Jun..." suara Kiana terdengar seperti getar lemah.
"Hm?" Juna mengusap dahi Kiana, menyingkirkan poni gadis itu yang menghalangi penglihatannya.
"Gue mimpi buruk, gue mimpi... kita kakak adik." Ada keputus-asaan dalam suara itu, penolakan terhadap kenyataan juga takdir.
"..."
"Gue mimpi lo hilang, nggak ada kabar, terus semua orang bilang kalau gue itu Bulan, Bulan itu adik lo."
Juna merapatkan bibirnya, gemetar, diusapnya dahi Kiana. Ia tidak tau harus menjawab apa, karena hatinya sama hancurnya.
"Jangan pergi lagi, tolong... gue nggak mau ketemu yang lain, mereka semua bohongin gue..." Remuk, hatinya patah mendengar kalimat Kiana. "Bilang... kalau gue bukan Bulan, kalau Bulan sudah meninggal."
Tidak kunjung di jawab air mata mulai jatuh dari sudut mata Kiana, perlahan hingga akhirnya air mata itu meninggalkan bekas serupa jejak lurus di pipinya.
"Kak Juna... please jawab, mereka bohong kan?" Kiana mengeratkan tangannya, meletakan seluruh harapnya pada jawaban Juna.
Bukan hanya Kiana, kini air mata ikut jatuh dari mata hitam Juna. Kiana tidak tau, bahwa setiap permohonan yang ia ajukan, adalah harapan yang kerap kali Juna semogakan. Bahwa perpisahannya dengan Kiana, adalah sesuatu yang tidak pernah melintas di dalam benaknya.
"Kiana, kita nggak bisa terus begini..." kalimat Juna terdengar parau, tanpa Juna duga Kiana langsung melepaskan genggaman mereka untuk menutup kedua telinga gadis itu.
"Nggak, gue nggak mau dengar apapun."
"Kiana lo itu Bulan, kita... nggak bisa sama-sama."
"Lo jahat kak Juna, lo janji sama gue, lo janji nggak akan nyakitin gue, terus ini apa namanya? Kenapa kita nggak bisa sama-sama?!" tangisan Kiana menggema, memantul dalam ruangan tersebut menambah kepiluan dalam dada Juna.
"Lo jahat, lo bohongin gue! Lo bilang lo nggak mau lihat gue nangis, tapi lo malah bikin gue nangis!" Kiana memukul Juna, pada bagian manapun tubuh lelaki itu yang mampu Kiana gapai, seolah itu mampu menebus sakit hatinya.
"Gue nggak minta apa-apa, tolong... tolong jangan pergi, jangan percaya sama orang-orang, gue bukan Bulan, gue Kiana." kuat-kuat Kiana mencengkram kaus Juna yang sudah basah oleh air mata.
"Gue janji... gue janji nggak manja lagi, gue bakal nurut, gue akan jadi perempuan baik-baik, tapi tolong jangan pergi." Seperti mulai kelelahan, histeris itu perlahan mereda, yang tersisa hanya cengkraman tangan gadis itu yang masih kuat. Kiana membenamkan kepalanya pada dada bidang Juna, berusaha meredam tangisnya seraya menyampaikan sejuta permohonan agar Juna tetap tinggal.
"Lo bilang... lo cuma mau gue, kenapa sekarang justru lo bilang kalo kita nggak bisa sama-sama?"
Juna memeluk Kiana, berusaha meredam tangis gadis itu, meskipun air matanya sendiri tak kunjung reda. Air mata Kiana yang tumpah di dadanya seolah meremas jantungnya, menusuk ulu hatinya. Bukan hanya Kiana yang hancur, ia juga telah berantakan hingga keping terakhir.
Luka-luka yang belum pernah sembuh, tidak pernah sebanding dengan sakit yang saat ini ia rasakan.
Juna membenamkan wajahnya, di atas kepala Kiana, membiarkan dirinya menghirup wangi gadis itu sebanyak yang ia mampu, menyimpannya sebagai peneman rindu di kemudian hari.
Tidak, tidak ada hangat yang menjalar, keduanya memahami, bahwa itu mungkin justru mendekatkan mereka pada sebuah perpisahan.
Perlahan, Juna menguraikan pelukannya, lantas mengangkat wajah Kiana, berusaha menemukan mata madu gadis itu.
"Bulan..."
Kala nama itu tercetus dari bibirnya, Juna tau, ia sedang menyakiti dirinya sendiri, karena tidak ada perasaan yang terbunuh, justru lukalah yang semakin menganga.
"Gue bukan Bulan... tolong..." kalimat itu Kiana katakan dengan terpatah, isakannya kembali menggila, tangannya masih tidak mau melepaskan Juna.
"Dulu Bulan janji sama Kakak, Bulan nggak akan nangis, Bulan janji mau jadi perempuan kuat kayak Bunda." Ibu jari Juna bergerak, menghapus air mata di pipi gadis itu, walau air matanya sendiri tidak berhenti meluncur.
Kiana tidak mampu menjawab, gadis itu hanya menggeleng kuat-kuat, seraya mengucapkan permohonan yang nyaris serupa; agar Juna tidak meninggalkannya.
Namun, Juna tidak meluluskan permohonannya, dengan gerakan perlahan, pemuda itu mengecup puncak kepala Kiana dalam-dalam. Membuat Kiana mengeratkan cengkramannya.
Dada Juna bergejolak, entah untuk siapa kecupan ini ia layangkan, kepada Rembulan adiknya atau kepada Kiana kekasihnya.
Setelah beberapa detik terlewati, akhirnya Juna melepaskan kecupan itu. Isakan Kiana makin menderas, kala Juna menguraikan telapak tanganya.
"Jangan... Jangan pergi... Jangan..."
Penuh kepiluan, permohonan itu menggema, namun Juna tetap berbalik, menyeret langkah kakinya.
"Jangan pergi... Tolong... Jangan..."
Kiana ingin menggapai Juna, namun ia tidak mampu, yang bisa ia lakukan hanya menyaksikan punggung itu melangkah menjauh.
Tepat setelah kakinya melewati pintu, tubuh Juna meluruh, tersaruk bersandar pada dinding di belakangnya, dari tempatnya ia mampu mendengar tangis Kiana, pada setiap isakannya merupakan goresan baru pada hati Juna.
Juna membenamkan kepalanya di antara kedua lutut, merayakan kehilangannya.
Habis sudah.
Ternyata, hatinya tidak cukup kokoh untuk berjuang melawan rasa sakit.
Karena akhirnya sekali lagi ia remuk, mengakui kekalahannya atas takdir.
***
Sementara itu, di salah satu bangku pinggir lorong, Dimas memejamkan matanya lelah. Dalam kegelapan itu, kembali ia menyaksikan seberapa terpuruk gadis yang ia cintai.
Tadi, Dimas berniat membawakan Kiana bantal hati kesayangan gadis itu, namun langkahnya terhenti kala mendengar suara Kiana.
Lewat jendela kecil pada daun pintu, Dimas menyaksikan, Kiana menangis dalam pelukan Juna. Gadis itu terbangun dari tidurnya, hanya demi hancur sekali lagi menghadapi kenyataan.
Dimas menghembuskan napas, berusaha menghilangkan sesak. Masih saja, apapun yang menyakiti Kiana adalah sesuatu yang menyakiti dirinya.
Telah Dimas pahami, bahkan jika Juna tak diizinkan untuk bersama Kiana, hati gadis itu pun tak lagi memiliki celah untuk Dimas tinggali.
Bukan ketika Kiana dan Juna meresmikan hubungan mereka, Dimas sadari, hari inilah kekalahannya telah utuh.
***
Berdiri tak jauh dari Adimas, tangan Naura bergerak menghapus air matanya. Bukan ia yang seharusnya terluka saat ini, namun kenapa hatinya masih saja nyeri melihat tatapan terluka Dimas kala menyaksikan Kiana dan Juna.
Setelah menghela napas sekali, Naura bergerak melangkah mendekati pemuda itu, lantas meraih tangannya.
"Kan gue bilang, lo butuh istirahat, ini lihat, jaitan tangan lo berdarah lagi kan?"
Dimas tidak menghiraukan Naura, tatapannya masih nanar menatap langit-langit putih di atasnya.
***
Dinding-dinding rumah sakit menjadi saksi, tentang dua orang yang saling mendamba namun tidak di bisa bersama. Tentang yang tak pernah putus asa merindu, namun tetap tak pernah diizinkan untuk menjadi kasat mata. Tentang mereka yang berjuang tanpa lelah walau tidak tau, kapan hati mereka akan kembali patah.
Yang ketika sampai pada kelelahan tanpa batas, mereka hanya bisa menerima kekalahan atas ingin semesta.
Dan akhirnya, mereka hanya mampu memeluk diri sendiri, seraya berujar.
Selamat datang kembali, wahai kehilangan.
----
A/n:
Gimana? Sumpah ya, semoga feelnya dapet :(
Aku mau bilang makasih banyak banget untuk kalian yang vote, comment, bahkan sampe ngequotes di ig, terus juga yang suka ngeDM buat nyemangatin dan yang lain sebagainya, tanpa kalian apalah aku, apalah Kiana, apalah Juna, apalah Dimas.
Dengan penuh kesadaran, aku meminta maaf karena banyak sekali kekurangan di If Only, doakan saja kita semua bertahan sampai akhir.
Anyway, aku mau tanya dong:
1. Juna-Kiana shipper, apa kabar hatinya?
2.Kalau kalian ada di posisi Kiana atau Juna, apa yang kalian lakuin?
Sekali lagi, terima kasih banyak!!!
Salam sayang,
Naya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro