Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

d u a p u l u h t i g a

Lalu pertanyaannya adalah; apa yang tengah kita lakukan? Mempertahankan kebersamaan atau hanya menunda sebuah perpisahan?

***

Kiana tidak tau apa yang terjadi pada Juna.  Hanya saja,  sejak cowok itu pulang dari rumahnya tanpa pamit,  ada sesuatu yang berubah.  Baru tiga hari memang berlalu, sejak pertemuan mereka di Minggu pagi itu, tapi selama tiga hari itu pula intensitas pesan yang sampai ke ponselnya kian berkurang.

Juna terkesan seperti sedang menghindarinya. Cowok itu tidak lagi menjemput Kiana seusai kelas, hanya mengantar Kiana pulang ke kostan. Tapi siang ini, Juna berjanji membantunya menyelesaikan tugas Statistik. Atas alasan itulah, keduanya duduk di perpustakaan pusat siang ini.

"Kak Juna..." suara Kiana memecah fokus Juna, Kiana menghela napas pelan, saat mendapati Juna yang lagi-lagi melamun.

"Lo lagi ada masalah ya?" tanya Kiana.

Juna menggelengkan kepala pelan, lantas tersenyum lelah. "Nggak apa-apa kok gue."

Kiana menutup bukunya, lalu mengulurkan tangannya, membuat sebelah alis Juna naik.

"Tugas gue gampang, bisa nyontek sama Naura, tapi mood pacar gue nggak ada yang bisa nolongin, jadi kemon, kita jalan-jalan."

Mendengar kalimat Kiana, ada hangat yang menjalar di dada Juna, senyumnya terkembang dan tak perlu menunggu waktu lama untuk telapaknya merangkum tangan Kiana.

Bukan ke mall atau ke tempat lainnya, mereka berdua hanya menyusuri jalan-jalan setapak, pergi membeli es krim di mini market, lantas berakhir di taman kampus di bawah sebuah pohon rindang.

Juna baru mau meneguk minumannya ketika tangan Kiana bergerak untuk menukar kaleng coke-nya dengan es krim milik Kiana.

"Lo kan kayaknya lagi stress tuh, jangan minum soda, makan es krim aja, lebih manjur."

Juna tersenyum, lalu mengacak rambut Kiana penuh sayang. "Thanks ya."

Perlakuan Juna hanya di balas Kiana dengan senyum malu-malu. Mereka masih menikmati minuman dan es krim di tangan masing-masing, saat seorang perempuan tinggi menyapa Juna.

Gadis itu mungkin seumuran dengan Juna, atau bahkan lebih tua. Rambutnya yang panjang digerai begitu saja hingga warna cokelatnya tampak berkilau diterpa cahaya matahari. Wajahnya tampak cantik luar biasa. Hanya dalam sekali lihat, Kiana bisa tau, bahwa gadis itu mewarisi gen bagus dalam tubuhnya.

Diam-diam Kiana meneguk ludah. Minder juga Kiana kalau yang nyapa Juna macem noona-noona Korea begini.

"Long time no see, Sel." kata Juna seraya tersenyum.

"Iya nih, udah lama gue nggak ngeliat lo sama yang lain," Gadis itu beralih pada Kiana, sebelum melempar pandangan menggoda pada Juna. "Oh, jadi ini yang akhirnya berhasil naklukin Arjuna."

Kiana tersenyum kikuk, tidak biasanya dia merasa tidak percaya diri, sesaat cemburu meletup dalam dadanya sebelum ia kembali mendapati sorot Juna yang menatapnya lembut.

"Kenalin, Kiana Niranjana," ujar Juna memperkenalkan Kiana, "pacar gue."

"Hai, Kiana, nice to meet you, gue Sela."

"Kiana," balas Kiana singkat, namun sepertinya Sela tidak terlalu mempermasalahkan, karena tidak lama kemudian gadis itu berpamitan. Namun, sesaat sebelum kakinya melangkah, Sela berujar ragu.

"Ng... Jun,"

"Apa?"

"Nggak jadi deh," Sela mengibaskan tangannya, tapi ada raut janggal dalam wajahnya yang mampu Juna baca dengan jelas.

"Kalau lo tanya keadaan dia, dia masih kayak biasanya," kalimat Juna menghentikan pergerakan Sela. "Still loving you."

Ada helaan napas pendek dari Sela, sebelum gadis itu tersenyum dan berlalu.

"Cemburu?" tanya Juna memecah konsentrasi Kiana pada es krimnya. Cewek itu menggeleng, walaupun raut wajahnya menampakan hal sebaliknya.

"Enggak, ngapain cemburu, nggak apa-apa kok, lo kan ganteng, wajar aja kalau yang nyapa secantik bidadari begitu, pake salam-salaman segala lagi, kenapa nggak cipika-cipiki aja sekalian?"

Sebelah alis Juna naik, matanya Kini berbinar jenaka.

"Lo cemburu."

"Enggak."

"Lo cemburu."

"Enggak."

"Kiana sayang,"

"Panggil aja tuh, si Sela sayang, nggak usah panggil gue, kan Sela tuh yang bisa bikin mood lo balik."

Mendapati renggutan dari Kiana, tawa Juna sontak pecah, dalam sekali gerakan ditariknya Kiana dalam rengkuhan.

"Aduh, kan gue udah bilang, jangan lucu-lucu Kiana."

Bibir Kiana masih mengerucut, namun rona merah kembali menjalar di pipinya. Juna melepaskan pelukannya, lantas berujar santai.

"Namanya Marcella, anak FK, mantannya Fabian."

"Oh-- BUSET, BOHONG LO! MANA MUNGKIN CEWEK CERDAS BEGITU MAU JUGA SAMA KUTU JENGLOT MACAM FABIAN?!"

Juna berdecak, lantas memasukan sesendok es krimnya ke dalam mulut Kiana. "Jangan teriak-teriak apa, Ki."

"Lagian, lo kalo bohong kira-kira apa Jun."

"Gue nggak bohong, mereka pacaran tiga tahun pas SMA."

Dahi Kiana  mengernyit, walaupun sebenarnya ia tidak perduli, namun pertanyaan itu tercetus juga. "Bisa pacaran lama juga itu playboy Tanah Abang?"

"Fabian itu sebenernya setia lagi."

"Cih, ngomong sama ketek kuda, mana ada cowok setia yang ganti pacar sesering ganti celana dalam."

"Lah serius, kalau bukan karena beda agama dan kehalang restu orang tua, mungkin mereka masih sama-sama sekarang."

Mendengar kalimat Juna, gerakan Kiana terhenti, sesaat ia menatap Juna, ada sorot kasihan dalam mata madunya.

"Fabian jadi player gara-gara putus sama dia?" Juna mengangguk samar, kemudian mengedikan bahunya.

"Bisa di bilang begitu, sih."

"Gue jadi sedikit kasihan ama dia," Kiana menghembuskan napas pendek. "sedih lagi kisah cinta kayak gitu, mereka berpisah bukan karena mau, tapi karena harus."

Dari tempatnya, Juna memperhatikan Kiana, ada nyeri di dadanya kala ia mengingat kemungkinan yang baru ia temukan, sebuah fakta yang mungkin menjadikan kisahnya dengan Kiana jauh lebih menyedihkan dari pada milik Fabian dan Marcella.

"Ki?"

"Hm?"

"Kalau misalkan ya, seandainya, lo mengalami apa yang Fabian dan Marcella alamin, lo gimana? Mempertahankan, atau melepaskan?"

Kiana terdiam sesaat, sebelum bahunya bergedik.

"Nggak tau, tapi mungkin gue memilih untuk melepaskan sih, soalnya percuma juga."

"Apanya yang percuma?"

"Itu sama aja kayak kita milih mana yang lebih kita cintai bukan? Tuhan, atau dia? Dan gue pasti memilih Tuhan." Kiana tersenyum sesaat, sebelum melanjutkan. "Miris sih sebenarnya, sakit juga pastinya, tapi kak, menurut gue, hubungan yang seperti itu memang cuma bakal ngehancurin keduanya, karena sebenarnya mereka bukan sedang mempertahankan kebersamaan, mereka cuma menunda perpisahan."

Juna tersenyum pahit.

"Tapi, kalau lo tau segala sesuatunya akan berakhir buruk, apa lo sanggup berhenti di saat semuanya masih terasa indah?"

Kiana bergeming, ia tidak berani sesumbar. Pertanyaan itu adalah pertanyaan tanpa jawaban, karena Kiana tau, bahkan jika ia dan Juna memiliki kisah yang sama dengan Fabian dan Sela, ia tidak akan mampu berhenti. Ia tidak akan siap kehilangan.

Tidak tau harus menjawab apa, Kiana akhirnya mengedikan bahunya. "Udah ah, kenapa bahasannya jadi berat begini, sih?"

Gadis itu tertawa sumbang, lantas berdiri dari tempat duduknya, "ayo kak Juna, kita jajan cilor depan SD."

Namun, belum sempat Kiana beranjak tangan Juna menahan pergelangan tangannya. "Besok bisa bolos?"

Sebelah alis Kiana naik, tapi hanya sesaat sebelum gadis itu mengangguk semangat.

"Bisa dong!"

"Gue jemput jam sepuluh pagi ya?"

"Siap!" setelahnya, keduanya berjalan berdampingan, dengan tangan yang merangkum telapak satu sama lain. Tanpa tau, bahwa ada yang bergejolak dalam dada salah satunya, ketakutan luar biasa akan sebuah kenyataan, keinginan untuk menghentikan waktu agar tidak perlu ditemuinya hari esok.

***

Wisnu menghela napas di balik meja kerjanya. Waktu baru menunjukan pukul dua belas siang, tapi raut wajahnya sudah menunjukan tanda-tanda kelelahan.

Bukan tanpa sebab, pikirannya dipenuhi kemelut sejak ia membuka amplop cokelat dari orang suruhannya. Kini, isi amplop cokelat itu terhampar di hadapannya, ada beberapa lembar foto di sana, juga surat adopsi dan dokumen lainnya.

Kekhawatiran Andien kini terbukti.

Ia tau, sebaik apapun ia dan Andien melindungi Kiana dari masa lalunya, selalu ada kemungkinan mereka untuk gagal. Namun kenapa, harus dengan cara yang semenyakitkan ini?

Demi Tuhan, Wisnu tidak tau mengapa anak-anak semuda Kiana dan Arjuna harus terluka sebegini dalamnya.

Tidak lama, pintu ruangannya terbuka, di baliknya Andien muncul dengan raut cemas.

"Gimana, Pa?" tanya Wanita itu sebelum sempat menghempaskan tubuhnya ke kursi. Sebetulnya, pertanyaan itu tak perlu di jawab. Raut wajah suaminya tentu sudah menjelaskan segalanya, walau pada akhirnya Wisnu tetap melisankan jawabannya.

"Anak itu benar, Langit Mahardika."

-----
A/n: nggak mau komen apapun, kalian sepertinya sudah mulai menebak-nebak ya? Yuhu....
Pertanyaannya, ada apa di hari esok? Kalo ada yang jawab bener, aku langsung publish part selanjutnya :p

See u.

Salam sayang,

Naya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro