d u a p u l u h s e m b i l a n
Perihal mati, nyatanya bukan hanya mengenai jantung yang berhenti berdetak, melainkan pula denyutnya yang tak lagi memiliki makna.
***
Melalui cermin, keduanya memaku pada bayangan satu sama lain, mengunci sosok satu sama lain. Ada jeritan yang berusaha mereka sampaikan, keletihan dan permohonan agar tetap tegak layaknya karang.
Hal tersebut terus berlangsung, sampai Kiana memutuskan kontak tidak langsung tersebut secara sepihak. Gadis itu menghela napas, lantas kembali melangkah.
Seharusnya, Juna berhenti mengikutinya, namun nyatanya kakinya terus mengkhianati logikanya. Kiana menyadari keberadaan Juna, tapi tidak lantas berbalik.
Ia membiarkan Juna mengikutinya, tanpa berada di sampingnya. Baginya, tak apa mereka tak bersisian, asalkan Juna masih dapat di tangkap panca indranya.
Pelan, pelan langkah di titi keduanya.
Kiana memilih jalan terjauh untuk sampai di kostan, geraknya lambat dan langkahnya pendek. Siapapun menyadari gadis itu tengah memperpanjang jarak, memperlama waktu.
Namun seberapa jauhpun jarak yang Kiana ambil, pada akhirnya ia sampai pada depan gerbang kostannya.
Untuk beberapa detik, Kiana hanya berdiri membatu di depan gerbang hitam tersebut, sementara Juna tetap berdiri di tempatnya, enam langkah di belakang Kiana, menunggu gadis itu untuk hilang di telan pagar.
Kiana pikir beberapa sepuluh detik tersebut cukup baginya untuk mengucapkan selamat tinggal, namun ternyata gadis itu tidak cukup tangguh. Tepat setelah pagar itu kembali tertutup rapat, tubuhnya luruh tersaruk. Gadis itu membekap mulutnya kuat-kuat, berusaha meredam isakannya yang menggila.
Tidak. Ia tidak ingin lagi kehilangan Juna.
Di luar batas kesadarannya, tubuhnya melesat, berlari keluar gerbang, matanya bergerak liar, setengah mati ia berharap agar mampu dirinya menemui pemuda itu. Memohon padanya agar tidak lagi pergi.
Tapi percuma, sekalipun kakinya menyusuri aspal, tidak ia temuinya sosok Arjuna.
"Juna!" gadis itu berteriak, nyaris seperti histeria.
"JUNA!" Suaranya lagi-lagi terdengar, namun gemanya tidak terjawab hanya di telan angin.
Langit kelabu, tapi hujan tidak lantas turun.
"Juna... tolong..." tidak lagi berupa jerit, hanya sebentuk letih yang hampir tidak terjamah oleh bumi.
Tepat sebelum gadis itu meluruhkan diri, sepasang lengan merengkuhnya. Dalam pelukan itu, tubuh mereka berguncang oleh luka.
Ada pisau yang tertancap, dan semakin dalam kala mereka saling merapatkan diri. Bentuknya tidak kasat mata, meskipun menghujam dijantung keduanya. Pisau tersebut orang panggil sebagai keputus-asaan.
***
Tak pernah kucintai kau dengan cara yang sederhana.
Selalu lebih rumit dan penuh dengan tapi.
Karena sayangku, cinta memang selalu berbelit.
Entah terbungkus oleh diksi dalam puisi, atau sekelumit tatapan penuh arti.
Tak pernah kucintai kau dengan cara yang bercanda.
Tiada main-main, dan selalu dengan cara tersulit.
Karena sayangku, bagiku kau adalah nadi itu sendiri.
Mana mungkin ku ingin bergurau dengan mati?
Tepuk tangan Kiana terdengar meriah, tepat setelah Juna menyelesaikan kata terakhir puisinya. Hari ini, adalah hari jadi mereka yang pertama. Kiana memaksa Juna untuk merayakannya, biar jadi relationship goals ala-ala selebgram katanya.
Sebenarnya, Kiana hanya mengharapkan hadiah sederhana, kue cokelat dan sebuah pelukan, misalnya. Tapi Juna masih saja menjadi laki-laki yang penuh kejutan, cowok itu menculiknya menuju sebuah hutan pinus di perbukitan, melewati kumpulan kunang-kunang, hingga berhenti pada sebuah tenda yang telah di siapkan.
Tidak sampai di sana, cowok itu juga membacakannya sebuah puisi, yang konon katanya, aksaranya Juna rangkai sendiri.
Ugh, Kiana tidak bisa lebih bahagia dari pada ini.
"Suka?" pertanyaan Juna sontak dijawab anggukan bersemangat Kiana.
"Banget, gue baru tau lo bisa romantis."
Juna menepuk-nepuk sebelah bahunya, meminta Kiana menyandarkan kepalanya di sana.
Tanpa menunggu detik selanjutnya, Kiana pun mengabulkan permintaan Juna. Keduanya duduk bersisian, terbalut jaket tebal yang membungkus mereka dari angin malam.
Api unggun yang tidak seberapa menari-nari memercikan cahayanya, sementara keduanya hanya menatap lurus langit yang penuhi gemintang.
Detik terus berdetak, hening sempurna menyergap mereka, membiarkan hela napas, sebagai satu-satunya suara yang lolos dari bibir keduanya.
Tapi tidak ada yang berniat memecah keheningan tersebut, tanpa kata, mereka sudah mampu memahami, betapa dalam keduanya saling mendamba. Hangat menjalar dalam dada mereka, terlebih ketika Juna mengeratkan pegangan tangannya.
Tiba-tiba, sebuah pertanyaan terbit dalam benak Kiana. "Kak Juna, inget dongeng Bulan, Bintang, Matahari yang waktu itu nggak?"
Sesaat dahi Juna berkerut, lantas mengangguk. "Inget, kenapa memang?"
"Menurut lo, setelah bintang terakhir berpijar, mereka tetap ketemu nggak?"
Juna berpikir sebentar, sebelum menjawab pertanyaan Kiana.
"Mereka tetap ketemu," tukas Juna yakin.
"Kenapa tetap ketemu? Kan kalau mereka bertemu, mereka malah akan hancur?"
Juna tersenyum, matanya tampak menerawang.
"Cinta itu keras kepala Kiana." Juna menunjuk bulan di atasnya. "Bagi mereka, lebih baik mereka hancur dari pada kehilangan sekali lagi."
"Kalau kita, gimana?" tanya Kiana seraya memiringkan kepalanya. "Kita sekeras kepala apa? Lebih baik mana, hancur sama-sama, atau kehilangan sama sekali?"
Juna terdiam sebentar, sebelum melisankan jawabannya. "Kehilangan sama sekali."
Mendengar jawaban Juna, Kiana sontak merenggut, bibirnya mencebik sama sekali tidak setuju. "Kok gitu? Nggak so sweet dong?!"
Juna tertawa geli, tangannya bergerak mengelus puncak kepala Kiana lembut. Kiana masih cemberut, enggan menatap balik mata hitam Juna.
Tapi tangan Juna justru bergerak, mengangkat dagu gadis itu, agar dapat ditemuinya manik mata Kiana. Juna tersenyum lembut, seolah ia baru saja menemukan surga di dalam iris cokelat tersebut.
"Karena, aku nggak mau kita hancur sama-sama, kalau memang harus kehilangan, biar aku hancur sendirian, kamu jangan."
Dan saat itulah... Kiana berharap, ia tidak terbangun selamanya.
***
Sekarang Kiana tau, bagaimana rasanya sekarat, setelah berminggu-minggu hidup dengan raga dan nyawa yang seperti terpisah, ada yang lebih menyakitkan, yaitu berharap lalu terhempas. Kiana merasakannya, tepat sesaat setelah ia sadari, bahwa keberadaan Juna di sampingnya barusan hanyalah sebuah mimpi. Tidak lebih.
Ia telah terjaga, namun masih menolak untuk membuka mata. Sayup-sayup, di dengarnya suara Saka dan Naura.
"Demamnya udah turun, Nau," Kiana dapat merasakan telapak tangan Saka yang di letakan di dahinya, guna mengecek suhu tubuh.
"Yaudah, lo balik deh, sebelum di gusur Ibu Kost, biar Kiana gue yang urus," ujar Naura yang di sahut Saka dengan anggukan.
Kiana dapat merasakan, tangan Saka yang menaikan selimutnya kembali sebatas bahu. Laki-laki itu bergumam tak jelas, mengenai Juna sebelum beranjak meninggalkan kamar.
Sepeninggal Saka, Kiana biarkan Naura berada di kamarnya, tanpa mengetahui bahwa ia telah terbangun. Ia lelah berpikir, dan letih merasa.
Ingatan kesadarannya terhenti pada Juna yang memeluknya di jalan, sebelum gelap menyambutnya. Kiana tidak ingin menerka, kenapa alih-alih Juna, justru Saka yang menemaninya.
Ia belum siap kembali patah.
Samar-samar, suara Juna kembali berdendang di telinganya.
"Karena, aku nggak mau kita hancur sama-sama, kalau memang harus kehilangan, biar aku hancur sendirian, kamu jangan."
Dada Kiana terasa menyempit, ada suatu menggumpal tenggorokannya, hingga napasnya seperti di sekat.
Kamu salah Jun, bukan hanya kamu yang hancur ketika kehilangan, aku juga.
***
"Kalau kayak gini terus, dia bisa jadi pasien dua kali," kata Saka seraya menjatuhkan tubuhnya di samping Juna.
Seperti biasa, keduanya duduk di balkon apartemen Saka, menatap hampa kepada langit bertabur gemintang atau jalanan berhias lampu kendaraan.
Saka mengerutkan pangkal hidungnya, melihat puntung-puntung rokok yang bercecer di atas asbak. Juna masih diam, alih-alih jawaban, justru asap rokok yang lolos dari bibirnya.
"Jun, serius, kenapa kalian tadi bisa sama-sama? Dan kenapa juga, lo malah minta gue yang mulangin dia ke kostan?" suara Saka mulai terdengar seperti gerungan. Ia juga mulai putus asa menghadapi dua orang yang enggan hidup di hadapannya.
"Soalnya jahat kalau gue nyuruh Dimas yang anter." Bukan itu jawaban yang Saka harapkan, namun tampaknya Juna tidak perduli.
Itu satu-satunya jawaban yang tercetus dalam otaknya. Juna tidak bisa bercerita, bahwa ada gelegak luka yang Kiana lontarkan lewat mata madunya. Bahwa cinta yang dulu ia berikan pada gadis itu tengah menjadi bumerang, yang menghancurkan mereka berdua.
Juna belum siap mengatakan, bahwa hadirnya justru memperburuk kondisi Kiana.
"Jun, serius, lo nggak bisa menghindari dia terus, demamnya tad lebih dari 39 derajat, seharusnya lo ada di sana, temani dia." Saka menatap Juna serius. "Dia butuh lo."
Juna menggeleng pelan. "Nggak bisa Sak, dia masih membutuhkan gue sebagai Arjuna bukan sebagai Langit kakaknya, pertemuan kami cuma akan jadi bumerang."
"Oke, anggaplah kalian memang belum bisa menerima kenyataan, terus sampai kapan memang kalian mau lari? Kalau lo terus menjauh, maka Kiana juga selamanya nggak akan berani menghadapi kenyataan."
Juna tertawa geli, walaupun yang terdengar justru tawa sinis.
"Jangan bilang gue lagi lari, gue nggak lari, memangnya ada yang bisa kabur dari kenyataan kecuali dengan cara mati?"
Saka menjabaki rambutnya frustrasi. Ia tidak bisa berargumen dengan Juna.
Juna menghembuskan asap lagi, lantas menutup matanya.
"Sejak awal, pertemuan kami kembali itu adalah kesalahan, Saka." Kalimat Juna terdengar gamang, sekaligus pasrah. Ada kepekatan di sana, berasal dari sebuah lubang yang menganga besar.
Dalam benaknya, Juna memutar ulang serangkaian kejadian yang mempertemukannya kembali dengan Kiana. Rentetan peristiwa yang membawanya pada satu rasa takut kehilangan.
"Seharusnya gue nggak kasih dia hukuman pagi itu, seharusnya gue nggak perlu ngerjain dia pagi itu, seharusnya kami sebatas mengenal sebagai senior-junior, nggak perlu sapaan, nggak perlu mengenal lebih dalam apalagi sampai saling jatuh cinta." Juna tersendat kala mengatakannya, jantungnya seperti di tikam kala ia menyadari bagaimana takdir membawanya jatuh cinta pada seorang Kiana Niranjana. "Kalau begitu, mungkin sampai saat ini, hidup Kiana masih baik-baik aja, dia masih bisa ketawa kayak biasanya. Sampai dewasa nanti, rahasia kelahirannya mungkin tetap bisa terjaga.
Bulan udah memulai kehidupannya yang baru, hidup di keluarga kecil yang sayang sama dia, punya sahabat kayak Dimas yang perduli sama dia. Seharusnya, dia bisa bahagia sebagai orang baru, kalau gue nggak kembali ke hidup dia. Seharusnya, dia nggak perlu tau, masa kecil kami yang menyedihkan."
"Berhenti nyalahin diri sendiri, tanpa lo datang, cepat atau lambat dia akan tau, Jun, nggak ada rahasia yang selamanya rahasia."
"Rahasia itu mungkin memang akan kebongkar, tapi kalau gue nggak datang ke hidup dia, pasti rasanya nggak semenyakitkan ini kan?"
Saka bungkam, tidak bisa mengelak. Juna benar, bukan hanya ingatannya yang menyakitkan, namun juga keadaan Juna dan Kiana saat ini. Mungkin, Kiana akan lebih mudah menerima kenyataan, kalau saja Juna bukan orang yang ia cintai.
"Gue gagal melindungi dia, Sak." Getir tertangkap jelas dalam telinga Saka.
"Terus apa yang mau lo lakuin?"
"Gue mau cabut, ke Sulawesi, ke Kalimantan, kalau perlu ke Belanda sekalian." Mendengar kalimat Juna, mata Saka sontak melebar.
"Jangan bercanda! Kuliah lo gimana? Semester depan lo udah harus magang, nggak mungkin kan lo mau lepas seat lo di CNN?!"
"Gue bahkan berpikir untuk berhenti kuliah."
Puntung rokoknya yang telah mengecil, Juna lumat apinya menggunakan sepatu, sebelum melemparnya menuju asbak. Bergabung dengan puntung lainnya.
Saka memicingkan matanya, lantas berdesis. "Lo kebanyakan nelen nikotin."
"Makanya gue minta lo jagain Kiana, biar selama gue nggak ada, gue bisa mastiin dia baik-baik aja."
Juna menyugar rambutnya tak acuh, lalu meraih kotak rokoknya. Hanya tinggal sebatang di sana. Cowok itu menyelipkannya di antara bibir, namun belum sempat membakar sumbunya, tangan Saka merampasnya dengan cekatan.
Juna tidak marah, ia hanya menatap Saka dengan tatapan datar. Saka sudah jengah dengan keadaan Juna, cowok itu terus memintanya menjaga Kiana, sementara Juna menghancurkan hidupnya sendiri.
"Juna, hidup lo bakal terus berjalan, jangan putus asa begitu. Lo pikir Kiana bisa baik-baik aja setelah lo menghilang nanti? Dia bisa lebih kacau, Jun!"
Juna tidak menghiraukan Saka, cowok itu bangkit, guna membeli sekotak rokok lagi.
"Berhenti nyiksa diri sendiri, lo bisa membunuh diri lo pelan-pelan kalo kayak gini terus!" suara Saka menghentikan langkah Juna.
Tidak ia tidak sedang berusaha membunuh dirinya sendiri, walaupun ia tau kalimat Saka ada benarnya.
Menyadari bahwa ia tidak akan menang melawan takdir, tak ubah layaknya ikan yang di biarkan sekarat di atas daratan. Mereka di biarkan mati secara perlahan.
Sesuatu menghimpit dada Juna, cowok itu berbalik, menatap lurus ke arah Saka berdiri. Ia tau, Saka mengkhawatirkannya, tapi saat ini tidak ada seorang pun yang mampu membantunya dan Kiana. Tidak, bahkan dirinya sendiri.
"Lo tau Sak, gue mungkin memang udah lama mati." Kalimat Juna setenang raut wajahnya, walaupun guratan luka dari mata sahabatnya terasa menampar Saka berkali-kali. "Jantung gue mungkin masih berdetak, tapi sadar kalau gue nggak bisa membantu Kiana bangkit rasanya kayak... your heartbeats have no meaning."
Saka terpaku, tidak dapat menjawab, membiarkan Juna melanjutkan sebaris kalimatnya.
"Dan itulah mati bagi gue, ketika detaknya sudah tidak lagi memiliki arti."
---
A/n: Ayo, Juna, mati aja, dari pada ngerokok terus wkwk
Sorry kemaleman, ku kudu belajar buat ujian besok, baru update malem2 gini, iya tau, Juna leyeh2 bgt jadi cowok, tapi gitulah geez, nerima kenyataan itu susah tjoy, apalagi buat Kiana.
Nggak tau lah, semoga kalian sih dapet feelnya, semoga kalian bisa rasain gimana frustrasinya Kiana sama Juna.
Udahan sedihnya, habis ini, mereka harus berdiri, jadi tokohnya Naya nggak boleh lembek Jun, mangat!
Anyway, thanku buat kalian yang rajin baca, vote, comment, duh kalo Juna atau Dimas ada banyak di dunia nyata, ku kirim satu-satu deh buat kalian.
Salam sayang,
Naya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro