d u a p u l u h s a t u
Kala aku aku mencintaimu, ku biarkan aku jatuh-sejatuhnya.
Sementara berharap kelak kita tak akan hancur sehancur-hancurnya.
***
Dua minggu berlalu semenjak Arjuna resmi menyandang status sebagai pacar Kiana. Dan selama dua minggu itu pula baik Fabian, Rio maupun Deva tidak berhenti-hentinya dibuat mengerutkan pangkal hidung atau bergidik jijik melihat kelakuan keduanya.
Seperti siang ini, ketika mereka berempat duduk di meja kantin bersama, Juna kerap kali tersenyum pada ponselnya, membuat Fabian mau tak mau turut mengintip apa yang tertera di layar.
"Aih, macam anak SMP pacaran di Facebook aja kau." Logat Batak yang tiba-tiba keluar dari bibir Fabian terhenti seketika kala telunjuk Juna diletakan pemiliknya di sana.
"Ssst, sirik aja wedang ronde."
"Apaan sih?" Rio yang duduk di hadapan Juna turut penasaran, namun belum sempat ia mengintip, Juna sudah mematikan layar ponselnya, lantas tersenyum senang. Menebarkan aura lovey dovey yang membuat teman-temannya merinding disko.
"Temen lo ini, mentang-mentang baru pertama kali pacaran, jadi norak abis," Fabian menjawab pertanyaan Rio, seraya mengunyah kentang goreng. "Dia nyuruh cewek kebonya nge-pap telapak tangan, terus dia juga nge-pap telapak tangannya."
Rio dan Deva mengerutkan dahinya bingung. "Buat apa deh?"
"Katanya, biar bisa digenggam walau nggak lagi sama-sama." Kalimat Fabian sontak membuat Rio dan Deva menjulurkan lidahnya.
"Sampah!" Deva berseru geli, lantas memandang Juna dengan tatapan hina. "Lo masih waras nggak sih, Jun? Kok kayak bukan lo banget ya?"
Juna melebarkan senyumnya, membiarkan teman-temannya berspekulasi sendiri. Sejujurnya, Juna pun nyaris tidak mengenali dirinya sendiri, sejak berpacaran dengan Kiana semuanya terasa jauh lebih baik, mimpi buruk tidak lagi menghantuinya, dan tersenyum terasa jauh lebih mudah.
Kiana itu lucu. Segala tindak-tanduk gadis itu menggemaskan, membuat Juna tidak tahan untuk tidak mencubit pipinya barang sehari.
"Tuh kan, ditanya masih waras apa nggak, malah senyam-senyum sendiri, fix ini sih, otaknya udah pindah ke jamban semenjak jadian sama itu cewek kebo," komentar Fabian hanya di balas Juna dengan delikan sedikit, sebelum senyumnya kembali mengembang.
"Abis gimana ya Bi, Kiana itu lucu, susah ingat dia nggak pake senyum."
"Aish, lucu apaan, rokok gue kemaren dua kotak di patahin semua sama dia, masih dendam gue," sungutan Deva mengundang kekehan geli Juna, Rio dan Fabian.
Mereka tidak akan lupa bagaimana wajah pias Deva kala menemukan Kiana yang sedang mematahkan puntung-puntung rokoknya. Saat Deva protes, Kiana hanya mengerjapkan matanya polos, lantas berujar santai.
"Memang salah ya?" tanyanya seraya mematahkan puntung terakhir. "Harusnya lo tuh terima kasih tau sama gue, gue sedang menyelamatkan hidup lo dari kanker paru-paru stadium akhir."
Saat itu, Deva hanya bisa menatap gulungan tembakaunya dengan tatapan berduka, seolah ia baru saja kehilangan dunia dan seisinya.
"Tapi tetep kan, lo nggak bisa marah sama dia?" pertanyaan Juna membuat Deva terdiam. Juna benar, bahkan setelah perlakuan semena-mena Kiana, ia tidak bisa memarahi gadis itu.
"Dia cewek lo aja, makanya gue nggak enak," kilahan Deva mengundang lemparan kulit kacang dari Juna.
"Bukan gara-gara cewek gue, tapi karena dia memang selucu itu. Nggak usah elo, ini bangke satu aja, walaupun sering tubir ama tuh anak, nggak pernah menang adu bacot." Juna menuding Fabian dengan sedotan jusnya, yang di balas Fabian dengan dengusan.
"Iya ya, gue juga baru sadar, tuh anak walaupun kelakuannya abstrak, tapi nggak bisa bikin orang ngomel panjang lebar." Rio akhirnya menjadi satu-satunya yang mengamini kalimat Juna.
"Ngomong-ngomong gue perhatiin, belakangan ini lo jarang ngerokok?" pertanyaan Deva di jawab Juna dengan gedikan bahu.
"Gue nggak punya alasan untuk merokok sekarang."
Tak lama, ponsel Juna bergetar, tanda sebuah chat masuk.
"Karena Kiana?" tanya Rio.
Juna mengangkat kepalanya sesaat, sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. "Kayaknya begitu, by the way, gue cabut dulu ya."
"Lo meninggalkan kita lagi? Hanya demi perempuan titisan kebo?" Fabian berujar dramatis, membuat Juna bergidik ngeri.
"Biasanya juga elo yang ninggalin kita buat jalan ama cewek random."
"Gue lagi nggak punya gebetan Juna, dan lo tega meninggalkan gue?"
Jengah dengan sikap Fabian, Rio pun melempar sedotannya. "Ini anak keracunan mecin apa kebanyakan nonton FTV sih?"
"Dia lagi patah hati, di tolak jalan sama anak Ekonomi."
"Bangke." Fabian merenggut kesal.
"Udahlah nggak usah sok galau, ntar malem juga udah ketemu cewek lain lagi." Juna menepuk bahu Fabian, sebelum berhigh-five dengan yang lain.
Setelah Juna berlalu, Rio memperhatikan punggung temannya yang perlahan hilang di telan keramaian, sedikit lega menyebar dalam dadanya.
"Gue pikir, gue nggak akan pernah lihat Juna sebahagia ini." Kalimat Rio menghentikan pergerakan Fabian, kepala cowok itu ikut tertoleh, begitu pula dengan Deva.
"Yeah, we have to thanks a lot kayaknya sama si kebo cantik," gumam Fabian seraya menyedot jusnya.
"Gue justru khawatir," suara Deva terdengar di antara kepulan asapnya. Cowok itu menyempatkan diri mematikan ujung puntung rokoknya, sebelum kembali berujar. "Dia bisa sampai berhenti merokok saking bahagianya, kalau nanti terjadi apa-apa, Juna bisa lebih hancur dari pada sebelumnya."
Rio dan Fabian menghela napas. Meskipun ketiganya tak pernah mampu memahami Juna seutuhnya, setidaknya mereka tau, latar belakang hidup seorang Arjuna, cowok itu menceritakannya pada tahun ajaran pertama mereka. Saat itu, suara Juna setenang telaga, begitu pula wajahnya yang tanpa riak. Tapi ada sesuatu yang tak mampu di sembunyikan sorot mata. Sebuah luka yang sifatnya menghancurkan. Rasa sakit yang mungkin tidak pernah mampu ditebus oleh waktu.
***
"
Lo mau jalan lagi sama Juna?" pertanyaan Naura di jawab Kiana dengan anggukan tak acuh.
"Juna janji mau nemenin gue drakor marathon."
"Buset, ada ya cowok mau diajak ngedrakor?"
"Pacarnya siapa dulu dong?" Kiana menepuk dadanya jumawa. "Kiana!"
"Mau ngedrakor dimana btw? Lo belum seliar itu kan buat pacaran di dalam kamar kost?" Pandangan Naura tampak menyelidik, membuat Kiana refleks mendorong keningnya.
"Pikiran lo kayak si Fabian aja," sungut Kiana kesal. "Ya, paling di apartemen Saka."
"Buset, tega banget lo pacaran di depan Saka?"
"Lah, kalo udah ada oppa mah, Juna bukan pacar gue lagi, biarin aja dia sama homoannya. Lo mau ikut nggak?"
Pertanyaannya tak kunjung di jawab, Kiana menolehkan kepala, alisnya lantas berkerut melihat Naura yang tersenyum pada ponselnya.
"LO CHATTINGAN SAMA SI DIMAS?!" Kiana sontak menjerit kala membaca nama yang tertera pada chat room ponsel Naura. Dengan gerakan cepat, Naura menyembunyikan ponselnya.
"Hehe, cuma chat biasa aja kok."
"Kurang ajar juga tuh si item, chat gue dianggurin, chat lo di bales," sungut Kiana. Tidak tau, bahwa kalimatnya menimbulkan sedikit percikan di dada Naura. Ada sedikit kelegaan kala mengetahui bahwa Dimas belajar mengabaikan Kiana.
"Tadi lo ngomong apa, Lor?" Kiana berjenggit tak suka, mendengar Naura kembali memanggilnya dengan sebutan cewek kolor.
"Mau ikut apa enggak?"
"Nggak deh, gue udah ada janji." Mendengar kalimat Naura, Kiana langsung menatap cewek itu curiga.
"Jangan bilang lo janjian sama si oli bengkel?"
"Hehehe," Naura terkekeh dalam tiga suku kata, lantas rona merah menjalar di pipinya. "Dimas ngajak gue nonton tanding basket temen SMAnya."
Kiana berdecak sesaat.
"Sungguh, kalian berdua teman yang laknat ya, PDKT nggak bilang-bilang gue." Kiana mengatakannya dengan wajah terluka, membuat Naura berdecih. Tapi tentu saja raut wajah Kiana tidak bertahan lama, karena selanjutnya matanya berbinar senang.
"Tapi bagus deh, kalau kalian jadian Hagen Dazs gue bisa dijemput secepatnya." Kiana bertepuk tangan heboh.
"Lo nggak cemburu emang?"
Mendengar pertanyaan Naura, Kiana menghentikan kehebohannya, lantas menatap Naura. "Ck, heran gue, masih aja ya lo berpikir gue sama Dimas ada apa-apa, gue tuh sama dia udah kayak keluarga Nau. Gue malah seneng kali, walaupun lo kadang nyebelin, tapi setidaknya Dimas nggak jatuh ke dalam pelukan perempuan penghamba pensil alis kayak Sandra."
"Uuu atu telhalu." Kiana bergedik melihat tingkah Naura.
Tidak lama, sosok Juna muncul dari kejauhan. Hari itu, Juna mengenakan kaus berwarna putih yang di padukan dengan jaket biru gelap. Rambutnya yang hitam, tampak mengkilap diterpa cahaya matahari. Tapi, bukan itu yang membuat Kiana menahan napas. Melainkan sorot mata teduh, dan senyum Juna yang terkembang setiap kali menatap Kiana.
Kiana tidak pernah merasa sebahagia ini hanya karena di tatap seseorang.
Sebelum Juna sampai di tempatnya, Kiana sudah bangkit.
"Gue duluan ya, lo sama Dimas masih hutang penjelasan sama gue, babay." Begitu saja, dan Kiana berlari meninggalkan Naura.
Dari tempatnya, ada hangat yang menjalar dalam dada Naura kala melihat Kiana yang berlari ke arah Juna. Naura tidak tau, bagaimana ia harus mendefinisikan Kiana dan Juna.
Cara Juna mengacak rambut Kiana, raut wajah Kiana saat menatap Arjuna. Melihat senyum keduanya, kala lengan Juna merangkul bahu Kiana. Mereka tampak begitu sempurna kala bersama, terlalu sempurna untuk menjadi suatu yang nyata.
Tanpa sadar, senyum Naura mengembang. Bahkan dari jarak sejauh ini, ia bisa merasakan bahagia yang Kiana dan Juna bagi.
Kiana sudah bahagia sekarang, dan Naura berharap ia kelak bisa merasakan hal yang sama.
***
Di antara teriakan-teriakan yang menggema di sepanjang tribun penonton, ada yang lebih keras suaranya dan berusaha Naura redam. Yaitu, degup jantungnya sendiri.
Bagaimana tidak. Sejak mereka berangkat dari kampus sampai menonton pertandingan, Dimas tidak henti-hentinya berlaku layaknya seorang gentle-man. Mulai dari, menurunkan pijakan motor ketika ia ingin naik, menggenggam tangan Naura di antara ramainya orang-orang, sampai saat ini, ketika dengan cueknya cowok itu menempelkan minuman dingin di pipinya.
Sederhana. Picisan. Persis di FTV yang sering ditonton pembantunya di rumah. Tapi kenapa aliran darahnya menderas?
Naura merapatkan bibirnya, lantas melirik pandang ke arah Dimas. Biasanya, ia akan terfokus pada pertandingan. Naura memang bukan pencinta olah raga, namun ia menyukai debaran yang menggila setiap kali para pemain di lapangan berusaha mencetak angka. Ia menyukai sensasi kala napasnya tertahan hanya demi melihat sebuah bola masuk ke dalam ring.
"Lo suka basket?" tanya Dimas di tengah-tengah riuh rendah penonton.
"Nggak, gue cuma suka nonton pertandingan. Bukan cuma basket, bola juga."
"Wah, asik nih, bisa nobar kita piala dunia nanti," kata Dimas sembari mengunyah kacang pilusnya, cowok itu lantas mengangsurkannya pada Naura. "Ambil aja ya Nau kalau mau, gue jarang nawarin orang soalnya, biasanya pada langsung ngambil soalnya."
Naura tertawa renyah. "Boleh tuh kapan-kapan nobar kita, ajak Kiana juga."
Naura tidak tau, kenapa nama Kiana ikut tersebut dalam kalimatnya. Ia sudah menahan napas, takut nama Kiana masih berefek pada Dimas. Memang ada sebersit raut Dimas yang berubah, tapi hanya sesaat.
"Kiana mah nggak bakalan mau nonton kecuali pemainnya CR, atau Messi, dia kan cuma nonton buat liat yang ganteng."
Naura hanya tertawa mendengarnya, tangannya lantas terulur untuk mengambil butir pilus dari dalam plastik kemasan, namun terhenti ketika tanpa sengaja bersentuhan dengan tangan Dimas. Benar-benar layaknya FTV siang, tanpa Naura bisa cegah, jantungnya berdebar gila-gilaan, napasnya tertahan sementara pipinya memanas.
Ada sesuatu yang menyerbunya tanpa ampun ketika kulit mereka bersentuhan.
"Sori," gumam Naura seraya menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah yang menjalar di pipinya.
Dimas menaikan sebelah alisnya saat melihat Naura menunduk. Namun, tangan justru meraih tangan Naura dan meletakan bungkus pilus tersebut di sana.
"Sori buat apa deh? Lo kan nggak salah."
Ragu-ragu, Naura mengangkat kepalanya, membuat Dimas dapat menemukan wajah merahnya. Ada hangat yang menjalar ketika tatapan mereka bertemu.
Entah bagaimana, Dimas seperti baru menyadari, bahwa Naura bisa begitu cantik di bawah terpaan matahari. Peluh yang mengalir, membuat rambut gadis itu menempel di pelipisnya, kulitnya juga memerah terbakar matahari, tapi Naura tidak mengeluh. Dan itulah yang menjadi nilai lebihnya.
Dimas berdeham sesaat, untuk menghilangkan kecanggungan, sebelum melepaskan topinya lalu memakaikannya di kepala Naura.
"Mataharinya lagi panas banget, bisa bikin pusing, dan muka lo udah merah," kata Dimas seraya tersenyum, membuat lekuk di pipinya tampak semakin jelas.
Sementara Naura, semakin dalam jatuh cinta.
***
Juna dan Saka tidak habis pikir bagaimana bisa perempuan menjadi sebegini perasanya. Mereka baru saja menyelesaikan, episode terakhir drama Uncontrollably Fond yang konon katanya sudah ditonton Kiana lebih dari tiga kali. Bukannya Juna tidak setuju kalau drama itu berakhir tragis, tapi fakta bahwa mereka hanya menonton tiga episode terakhir membuatnya tidak begitu mengerti alur cerita yang tersaji.
Pipi Kiana saat ini sudah basah oleh air mata, kadang isakan juga terdengar di sela-selanya.
"Ki, udah, kan filmnya udah selesai, jangan nangis terus apa." Juna mengambil tissue lantas mengusap air mata Kiana, membuat Saka yang melihatnya jengah.
"Tapi sedih banget ini Juna, Kim Woo Binnya mati."
"Kan itu cuma film, aktornya nggak mati beneran kan?"
"Tetep aja, gue nggak ikhlas kalo liat orang ganteng mati." Kalimat Kiana membuat Juna dan Saka mendengus di saat yang bersamaan.
"Kalo cowok jelek gitu aja lo tangisin pas mati boongan, gimana kalau gue yang mati coba? Bisa pengen ikut mati kali lo," sontak Kiana memukul lengan Juna.
"Ngomongnya, jangan sembarangan!"
Juna menaikan sebelah alisnya, matanya berkilat jenaka. "Cie, nggak rela gue mati."
"Bukannya yang itu, maksud gue jangan sembarangan bilang oppa gue jelek, lo sama dia juga nggak ada seujung upilnya."
Mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir Kiana, Saka tertawa keras, sementara Juna merenggut sebal. Cowok itu lantas meletakan tissuenya di tangan Kiana.
"Nih, minta aja sana sama oppa lo yang udah koit itu buat ngelapin air mata lo." Bukannya berhenti menangis, isakan Kiana justru kembali.
"Junaaa! Jangan bilang dia mati, sedih, gue nggak ikhlas liatnya."
Juna menghembuskan napas lelah, lantas kembali beringsut mendekati Kiana. "Iya, maaf."
Fangirl sungguh mengerikan.
"Kalau udah tau endingnya bakal sedih, ngapain di tonton?"
"Habisnya suka."
"Kalau tau bakal bikin lo nangis, gue nggak akan setuju nonton drama ini."
"Kenapa?"
"Dodol." Juna menyentil dahi Kiana. "Aku nggak suka lihat kamu nangis."
Mendengar kalimat Juna, isakan Kiana perlahan berhenti, bibirnya mengerucut lucu, membuat Juna tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk gadis itu.
"Ish, jangan lucu-lucu kenapa sih?"
"Kenapa emang?" tanya Kiana.
"Kan gue jadi tambah sayang."
Kiana merapatkan bibirnya, tidak tahan menahan kupu-kupu yang memenuhi rongga dadanya.
"Woi, tolong, adegan telenovelanya jangan diteruskan, gue jijik."
Itu kalimat Saka, tentu saja.
Gerakan Saka yang sedang menggeser layar ponselnya sontak terhenti melihat sebuah postingan Naura di akunnya.
"Lah, Dimas jalan sama Naura?" pertanyaan Saka sontak membuat Kiana dan Juna menoleh nyaris dalam kurun waktu bersamaan.
"Waduh, udah go public aja mereka."
"Lo tau?" tanya Juna, yang dibalas Kiana dengan anggukan tak acuh.
"Hamdallah, Hagen Dazs gue semakin dekat," kata Kiana dengan mata berbinar.
"Nggak jealous?"
"Nggak dong, kan udah punya kamu." Balasan Kiana lantas membuat senyum Juna melebar. Matanya melengkung. Hingga berbentuk bulan sabit.
Sedangkan Saka berharap ia ditelan bumi saat itu juga.
***
Sementara itu, jauh dari tempat Kiana dan Juna, seseorang duduk memandangi sebuah kotak. Ia pikir, kotak itu sudah lenyap bertahun-tahun lalu, namun ternyata, masih tersimpan rapih di salah sudut gudang.
Dengan gerakan rikuh, diraihnya pesawat kertas yang sudah tidak tampak bentuknya. Ingatannya terantuk pada sosok seseorang.
Ia menggeleng pelan.
Tidak.
Ia tidak ingin mengingat apapun.
Dan tidak boleh ada yang kembali mengingatkan.
----
A/n: Holla!
Maafin aku ya, tadi pagi PHP, kepencet itu, maafin juga kalau part ini gajelas abis wkwk aku sedang tidak dalam keadaan lovey dovey soalnya huhu.
Rasanya, pengen selesaiin aja cerita mereka di sini, biar bahagia masing-masing :')
Masih ada yang jadi shipper Dimas x Kiana? Sejujurnya aku sudah tidak mendukung mereka bersama, terlalu jahat buat Naura kalau seandainya Dimas masih cinta sama Kiana. Sumpah ya, itu sakit coy :(
Tapi aku sendiri belum tau sih, mau seperti apa mereka kedepannya.
Oiya, mungkin telat bgt untuk aku bilang ini, tapi, selamat buat kalian yang keterima SNMPTN!!! Ada yang masuk UPNVJ ga? Haha
Dan buat yang belum keterima, aku nggak akan bilang jangan sedih, karena sedih itu wajar. I know how it feels. Dua tahun yang lalu, aku ada di posisi kalian :')
Aku tau rasanya berharap lalu kecewa.
Tapi, aku cuma mau bilang, jalan kalian masih panjang, masih ada SBMPTN, UM, dan ujian lainnya. Berdoa sebanyak-banyaknya, karena Tuhan yang Maha Kuasa.
Usaha tidak akan menghianati hasil. Kalau kalian merasa sudah total melakukan segalanya, dan masih gagal juga, percaya saja, Tuhan punya rencana yang lebih indah lagi.
Let Allah handle everything.
Karena Ia yang paling tau apa yang di butuhkan hambanya.
Gue ngomong berasa sok bijak banget ya, padahal lagi drop juga :')
Hehe.
Yaudahlaya, semoga kalian baik-baik saja, aku baik-baik saja, dan semoga Juna, Dimas, Kiana juga baik-baik saja.
Babay.
Salam sayang,
Naya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro