d u a p u l u h l i m a
Lantas bagaimana bisa ku temukan bahagia ku, jika mencintaimu pun cerminan sebuah dosa?
***
Kiana tidak tau apa yang membawanya kesini, selain keinginan untuk menemukan Juna. Panti asuhan ini terasa akrab, seperti rumah, namun tetap saja rasa canggung memeluk Kiana karena keberadaannya di sini tanpa seorang Arjuna.
Sempat ragu, akhirnya Kiana memberanikan diri melangkah.
"Assalamuallaikum, Ibu," pelan Kiana menyapa seorang wanita paruh baya yang tengah menyirami tanaman.
"Wallaikumsal..." salam wanita itu terputus saat menyadari sosok yang ada di hadapannya, dengan suara serak nama itu terpanggil dari bibirnya. "Bulan."
***
"Maaf ya, tadi Bunda salah panggil nama kamu, mata kamu mirip seseorang soalnya," ujar Ibu Panti yang kini Kiana kenal sebagai Bunda Rahma.
"Tau Bunda, gimana sih, ini mah namanya Kiana, pacarnya Langit, waktu itu dibawa Langit ke sini pas Bunda lagi ke Semarang."
Bunda Rahma tersenyum sumringah, hingga tercipta kerutan di bawah mata tuanya. Entah bagaimana, senyum wanita itu tampak begitu ramah dan keibuan.
"Wah, sudah besar ya Langit, sudah berani pacarin anak orang." kalimat Bunda Rahma diaminkan oleh Teh Ratih, sementara Kiana hanya tersenyum ragu, ia sama sekali tidak dalam mood untuk tersenyum.
Selepas Teh Ratih berpamitan, barulah Kiana menghela napas pendek. Ia tak tau, harus memulai dari mana ceritanya, bagaimana ia bisa membuat Bunda Rahma percaya padanya. Hanya Panti ini yang terpikir olehnya, jika dari sini pun Kiana tak dapat menemukan petunjuk apapun, maka Kiana tidak tau lagi apa yang harus ia lakukan selain menunggu Juna kembali.
Melihat kekalutan dalam raut wajah Kiana, Rahma mengusap punggung tangan gadis itu lembut dan seperti magis, ketenangan menjalar dalam dada Kiana.
"Ada masalah apa, Kiana? Mungkin Bunda bisa bantu? Pacar Langit berarti anak Bunda juga," Bunda Rahma tersenyum.
"Jun--maksud Kiana Langit, menghilang sejak dua hari yang lalu Bunda, nomornya nggak bisa dihubungi dan nggak ada yang tau dia kemana," Kiana menggigit bibir bawahnya." Kiana kira, Juna di sini, tapi ternyata enggak."
Bunda Rahma lantas tersenyum sedih. "Orang tua Langit sudah menghubungi Bunda kemarin Kiana, dan Langit memang belum kesini, satu jam yang lalu, Bunda dikabari kalau mobilnya sudah ditemukan di depan komplek pemakaman Ibunya."
Mendengar kalimat Bunda Rahma, kepala Kiana otomatis terangkat, sepercik harapan memang muncul, namun sayangnya terbit bersama kekhawatiran lainnya.
"Mobilnya kosong, dan saat ini orang tuanya sedang berusaha menyusuri jejak Juna, kita berdoa saja semoga dia baik-baik saja, dia anak yang kuat Kiana, jangan khawatir."
Pias itu makin pekat. Dalam hati, gadis itu menyalahkan dirinya sendiri.
Perubahan sikap Juna beberapa hari yang lalu, pasti berhubungan dengan keluarga kandungnya. Tapi sebagai pacar, Kiana justru tidak menyadarinya, ia terlalu fokus pada dirinya hingga lupa, bahwa orang lain terkadang perlu ditanyakan keadaannya.
"Bunda... boleh Kiana tau tentang Juna?"
Bunda Rahma menatapnya ragu, namun Kiana mengeratkan genggamamnya pada tangan wanita itu, berusaha meyakinkannya. "Juna pernah cerita ke Kiana tentang masa lalunya, tapi cuma sekilas, Kiana mau tau lebih dalam Bunda, tolong."
Rahma merapatkan bibir, sebelum mengangguk ragu.
"Pertama kali Langit datang kesini, tubuhnya di penuhi lebam, kepalanya di perban berkat kejadian malam nahas itu, dan beberapa tulang rusuknya patah." Getar itu terdengar nyata dalam suara Rahma, baginya, Langit adalah anak yang spesial, anak kecil itu terlalu kuat, terlalu tegar tapi justru itulah yang membuatnya sebenarnya lebih rapuh.
Terlampau banyak luka, di masa yang seharusnya hanya anak itu nikmati dengan tawa.
"Langit tampak begitu kuat dan penyayang kala itu, dia tidak ingin menangis, karena katanya kalau ia menangis, ia tidak bisa melindungi adik perempuannya."
"Adik?"
"Iya, Langit punya adik, namanya Rembulan."
Sepintas obrolannya dengan Juna beberapa bulan lalu melintas dalam benak Kiana. Sontak, ia membekap mulutnya. "Berarti, yang kak Juna ceritain itu..."
Melihat ekspresi Kiana, Rahma tersenyum pahit. "Bulan meninggal empat belas tahun yang lalu."
Kiana tidak mampu mengatakan apapun lagi, hingga akhirnya Rahma lah yang memutuskan untuk bercerita.
"Alasan kenapa Bunda tetap dekat dengan Langit, alasan kenapa Bunda sayang sekali dengan Langit, karena dia anak yang spesial, seperti tidak pernah lelah, hidup anak itu terus dirundung duka. Tapi, berkat keyakinannya pada Tuhan dan janjinya pada Bundanya, anak laki-laki itu selalu berusaha kuat."
Setetes air jatuh dari sudut mata Rahma, sorotnya tampak mengenang, meskipun senyum yang terlukis adalah jenis senyum sendu.
"Langit dan Bulan tidak lama tinggal di sini, tapi sejak pertama datang mereka sudah menarik perhatian, banyak orang tua asuh yang ingin mengadopsi Langit atau Bulan, tapi keduanya selalu menolak, karena mereka tidak ingin di pisahkan. Sampai akhirnya Langit sadar, bahwa Bulan mungkin bisa bahagia jika memiliki orang tua baru. Manis sekali bukan mereka berdua? Sebagai kakak laki-laki, Langit amat mencintai adiknya, dan begitu pula sebaliknya."
"..."
"Ah, Bunda jadi kangen Bulan." Saat mengatakan hal itu, Rahma tidak berbohong, pada sorot matanya terpancar segaris rindu.
"Gadis itu mudah sekali membuat orang jatuh hati, matanya bersinar-sinar cemerlang." Rahma tersenyum sembari menatap mata Kiana dalam-dalam, "persis dengan mata milikmu."
Rahma meneguk cangkir tehnya, sebelum bertanya dengan nada lembut.
"Kamu kenal Saka?"
Kiana mengangguk.
"Saka adalah anak donatur tetap panti ini, dulu Saka tinggal beberapa blok dari sini, diantara semua anak hanya Saka yang bisa dekat dengan Langit, itupun melalui proses yang panjang." Rahma tersenyum kecil, lantas melanjutkan. "Mulanya, Saka tidak suka main ke Panti, tapi sejak Bulan ada di sini, nyaris setiap hari anak itu berkunjung, walaupun setiap hari itu juga mereka bertengkar."
Senyum Rahma perlahan menghilang digantikan oleh raut sedih. "Tapi, waktu Bulan meninggal, Saka justru terlihat sama sedihnya seperti Langit, mungkin karena itulah mereka bisa sedekat sekarang, karena mereka pernah merasakan kehilangan orang yang sama.
"Orang tua Saka lah yang mengenalkan Langit pada orang tuanya yang sekarang."
Kiana menggigit bibir bawahnya, terlalu banyak misteri tentang Juna yang belum teraba olehnya. Bahkan, ia tak pernah berpikir alasannya Juna bisa dekat dengan Saka, yang notebene-nya adik tingkat, dan dari fakultas seberang.
"Bulan... dia kenapa meninggal?"
Lagi-lagi, ada kesedihan yang mendalam dari mata tua Rahma, wanita itu mengambil napas sejenak, sebelum mulai berujar.
"Salah satu alasan Langit, membujuk agar Bulan mau diadopsi adalah karena Bulan kadang menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Ibu kandung mereka, tapi sayangnya di hari dimana Bulan di adopsi, ia mengalami kecelakaan, di perempatan jalan sana, tepat di depan mata Langit."
"Menyalahkan?" tanya Kiana sangsi.
"Ibu mereka meninggal karena melindungi Bulan dari pukulan Ayah mereka, di hari ulang tahunnya."
Mendengar kalimat Rahma, tiba-tiba saja dada Kiana merasa ngilu, ada sesak yang berkumpul dalam dadanya seolah menuntut untuk diledakan.
Rahma beranjak dari duduknya, lantas bergerak mendekati rak yang ada di balik meja kerjanya. Tak lama, sebuah album di letakannya di atas meja dalam keadaan terbuka.
"Ini foto Langit, Bulan dan Saka semasa kecil, sedangkan di sampingnya merupakan foto Langit bersama keluarga kandungnya."
Mulanya, Kiana pikir ia salah lihat, karena matanya kabur oleh air mata. Tapi perlahan, sosok itu semakin jelas. Tenggorokan Kiana sontak tercekat, ada gumpalan pahit yang terjebak di kerongkongannya kala mengenali satu-satunya sosok perempuan dalam foto tersebut. Anak ini, begitu mirip dengan potretnya semasa kecil.
Mata Kiana bergerak cepat, dan tiba-tiba nyeri menyergapnya kala ia menemukan foto keluarga Juna di sampingnya. Ia tidak pernah bertemu sosok-sosok tersebut, tapi sosok itu juga tidak asing. Wajah wanita ini, dan pria ini, adalah wajah-wajah yang belakangan ini sering Kiana temui dalam mimpinya. Wajah laki-laki yang memukulnya dengan kayu, wajah wanita yang berhambur memeluknya di dalam mimpi.
Kepalanya mendadak pening, rasanya seperti baru saja di hantam oleh benda keras.
Berbagai pertanyaan terbit dalam benaknya. Salah satunya mengenai kemiripannya dengan gadis yang Rahma sebut sebagai Bulan.
"Kiana, kamu nggak apa-apa?"
Kiana menggeleng pelan. Gemetar, suara parau itu terdengar. "Bunda, Kiana boleh lihat dokumen punya Bulan dan Juna?"
Rahma menatapnya sedikit sangsi, karena tidak sembarang orang memiliki akses tersebut, namun melihat tatapan memohon Kiana, Rahma tidak kuasa untuk menolak.
Pikiran Kiana masih kalut saat Rahma membawa berbagai dokumen ke hadapan Kiana. "Dokumen kematian Bulan disimpan oleh Langit, Bunda hanya memegang fotocopynya."
Dengan gerak cepat, mata Kiana bergerak untuk membaca, dan setelah menemukan dokumen yang ia cari, Kiana merasa langit runtuh tepat di atas kepalanya.
Nama orang tuanya, tertera sebagai nama orang tua angkat Rembulan Maharani.
***
Hilangnya Juna dan Kiana tidak hanya membuat kedua orang tuanya sibuk. Kini, Saka, Naura, Dimas, Rio, Fabian dan Deva duduk melingkar di ruang tengah apartemen Saka.
Dimas sendiri sudah lelah bersikap kalap, ia sudah menyusuri seluruh tempat yang sempat melintas dalam benaknya. Lebih dari puluhan telepon dari mereka berenam menyambangi ponsel Kiana. Meskipun, tak kunjung pula telepon itu terangkat.
"Masih nggak bisa?" tanya Fabian gusar. Cowok itu berkali-kali memijat keningnya, mereka tidak tau apa yang tengah terjadi, yang jelas ini bukan sesuatu yang baik.
"Gini, kita bagi tugas." Suara Rio terdengar diantara keenamnya. Diantara semuanya, dialah yang paling tenang dalam menghadapi situasi. "Gue sama Fabian bakal nyoba sekali lagi buat nyusurin rumah sakit sekitar Jakarta-Bogor, kita nggak tau apa yang terjadi. Naura dan Deva tolong datengin satu-satu teman SMAnya Kiana dan datangi kedai es krim, tempat makan, atau apapun itu tempat biasanya Kiana ngilangin stres, Saka dan Dimas kalian bisa pergi ke panti asuhan tempat dulu Juna di rawat."
"Gue nggak bisa." Kalimat Dimas membuat semua kepala dalam ruangan itu tertoleh padanya, sementara cowok itu beranjak meraih jeketnya dari atas sofa, raut keruh tampak jelas di sana. "Ada hal penting yang harus gue pastikan."
Saka yang pertama mengerti situasi, akhirnya berujar tanggap. "Gue bisa sendiri kok."
Setelah berpamitan, Dimas bergegas keluar dari apartemen Saka, namun belum sempat ia masuk ke dalam lift, Naura tiba-tiba muncul dengan tergesa-gesa.
"Dimas, hati-hati," katanya di antara helaan napas. Ada kekhawatiran yang tulus dari getar suaranya, yang membuat Dimas mau tak mau merasakan sedikit rasa lega.
Dimas tersenyum kecil. Senyum pertamanya hari itu. "Thank you, Naura."
***
"Kamu dapat ini semua dari mana?" tanya Wisnu menatap hamparan dokumen mengenai adopsi Kiana. Ada nada cemas dalam suara tegas tersebut, seumur hidupnya, baru kali ini Dimas menyaksikan Wisnu yang tampak kacau. Pria itu biasanya selalu stabil dan terkontrol, namun tidak kali ini, raut serta suaranya yang cemas dapat Dimas artikan sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Ini barang-barang pribadi Juna. Jadi, benar Kiana bukan anak kandung Om? Kiana adik dari Arjuna?"
Saat mengajukan pertanyaan itu, tenggorokan Dimas tercekat. Namun nada menuntut dalam suaranya membuat Wisnu tidak mampu mengelak. Pada akhirnya, kebenaran selalu muncul kepermukaan. Menyedihkannya, mengapa harus dengan cara yang semenyakitkan ini?
Sebagai jawaban, Wisnu menyerahkan amplop, yang kemudian Dimas buka dengan gerakan kasar, belum sempat otaknya memproses jawaban, Wisnu sudah melisankan jawabannya. "Kami berusaha sebaik mungkin, berharap sebanyak mungkin bahwa Juna bukanlah Langit Mahardika, tapi seperti yang kamu lihat Juna memang Langit, dan Kiana adalah Bulan."
Dimas menghembuskan napas berat. Ia memejamkan mata lantas mengusap wajahnya frustrasi. Kenyataan dihadapannya, tampak terlalu jauh diluar imajinasi. Seperti sesuatu yang mustahil dan terlampau kejam untuk menjadi.
Dimas tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Kiana jika mengetahui kebenaran ini.
"Kenapa Om dan Tante Andien menyembunyikan Kiana? Lalu kenapa ada dokumen kematian atas nama Bulan?"
Wisnu menghembuskan napas lelah, dibanding Dimas, ia dan Andien tentu lebih berantakan.
"Kami terpaksa Dimas," suara Wisnu terdengar serak dan memikul beban.
"Masa lalu Kiana terlalu menyedihkan untuk diingat gadis sekecil itu, Ibunya meninggal demi melindunginya, Ayahnya yang mati bunuh diri di sel tahanan, kamu pikir anak mana yang mampu tumbuh dengan psikologis normal jika keadaannya seperti itu?" Dimas terdiam, membiarkan Wisnu melanjutkan kalimatnya.
"Tante Andien sudah menyukai Kiana saat pertama kali melihatnya, Om masih ingat bagaimana bahagianya Andien saat Kiana setuju untuk kami adopsi, banyak angan-angan yang ia pupuk, harapan dan cita-cita mengenai anak gadisnya kelak." Sebentuk kepahitan terdengar nyata dalam suara Wisnu. "Percayalah Dimas, saat Andien tau bahwa ia tidak bisa memiliki anak, hidupnya seolah terhenti, tapi semua perlahan membaik selepas pertemuannya dengan Kiana.
"Saya dan Andien sudah nyaris kehilangan harapan karena kecelakaan hari itu, di mobil itu ada kami bertiga, tapi hanya Kiana yang terbaring koma, sedangkan Om dan Tante tidak terluka serius.
Apapun kami lakukan demi Kiana, kami membawanya ke Singapura untuk mendapat perawatan terbaik, dan setelah lebih dari dua minggu diambang kematian, akhirnya Kiana sadar, dan dia hilang ingatan.
Kami tidak tau harus menganggap hal itu sebagai musibah atau justru anugerah, karena dengan begitu Kiana bisa memulai hidupnya yang baru, ia bisa terlahir sebagai Kiana Niranajana, bukan Rembulan Maharani gadis cantik yang memiliki masa kecil sekelam malam."
Dimas tidak bersuara hanya diam mendengarkan dengan jari tangan yang terpaut, sesekali, pemuda itu memejamkan mata guna menghilagkan perih, namun tetap tidak pernah berhasil.
"Kami terpaksa memalsukan kematiannya, menyiapkan segalanya sebaik mungkin, tapi ternyata Kiana menjadi gadis yang pemurung, kurang lebihnya kami pahami, itu karena Kiana mungkin kehilangan sosok Langit, kakak laki-lakinya yang hidup di panti, karena meskipun ingatannya hilang, tidak dengan perasaannya.
Hanya saja semua sudah terjadi, Om dan Tante tidak mungkin mengungkapkan hal yang sebenarnya. Kami mengira, kami gagal menjadi orang tua, tapi keberadaan kamu ternyata menjadi harapan bagi kami, kamu perlahan menggantikan kehilangan yang Kiana alami, hingga dia bisa tumbuh dan hidup sampai hari ini, itulah kenapa Om dan Tante selalu mempercayakan Kiana pada kamu lebih dari siapapun, karena kami percaya, bahwa kamu mampu menjaga Kiana seperti Langit menjaga Bulan."
Dimas tidak tau, perasaan apa yang kini bergejolak dalam dadanya. Semua ini terlalu tiba-tiba.
"Om tau, mungkin kamu marah pada kami, menganggap kami egois dan yang lainnya, tapi percayalah Dimas, satu-satunya yang kami harapkan adalah kebahagiaan Kiana."
Tepat setelah kata terakhir Wisnu terucap, suara derik pintu terdengar, seorang gadis berdiri dengan tubuh gemetar, dan tatapan kosong, mengemis sebuah pernyataan dari Wisnu.
"Apa yang Papa bilang barusan, semua bohong kan?"
---
A/n: Aku gak mau ngomong apa2, sumpah semoga feelnya dapet, semoga kalian bisa bertahan sampai akhir :(
See u when i see u
Salam sayang,
Naya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro