
d u a p u l u h e n a m
Jika boleh ku kembalikan detik, maka aku berdoa agar tak perlu kita saling jumpa hingga pada akhirnya jatuh cinta. Karena kini, kau adalah ketidak mungkinan yang tak boleh lagi ku semogakan.
***
Matahari sudah terbenam lagi ketika Juna membuka kelopak matanya, ini artinya sudah lebih dari empat belas jam ia terlelap di halaman deretan ruko tidak berpenghuni. Sekalipun kelopak matanya telah terbuka, namun tubuhnya masih tidak bergerak, hanya membatu seraya menatap jalanan kosong di depannya.
Juna tidak tau di kota mana ia sekarang, di angka berapa jarum jam saat ini berdiam, bagaimana pandangan orang-orang terhadapnya kala matanya terpejam. Juna tidak perduli, sungguh. Ia hanya ingin tertidur dan tidak terbangun lagi selamanya.
Ia lelah.
Benar-benar kelelahan secara harfiah.
Tenggorokannya kering, begitu pula dengan bibirnya. Namun laki-laki itu tidak beranjak, matanya hanya memandang langit yang kini di taburi titik-titik bintang.
"Satu... dua... tiga... empat..." dalam hati Juna menghitung, persis dengan kebiasaannya tiap, ia, Bulan dan Bundanya dulu kabur dari rumah dan tidur di ruang terbuka.
Sampai suara seseorang memutus hitungannya.
"Kan kakak udah bilang, kamu diam aja di rumah, Ibu pasti sedih kalau liat anak perempuannya ikut jadi pemulung," suara itu merupakan suara anak laki-laki berumur belasan tahun. Mulanya, Juna tidak perduli, tapi entah mengapa suara anak perempuan yang menjawabnya, membuat Juna mau tak mau bangkit dari posisinya.
"Kak Angga kan cari uang, masa iya Ayu diam aja?"
Anak laki-laki bernama Angga itu menghela napas, sebelum berujar. "Kakak laki-laki, kekuatannya banyak, Ayu kan perempuan, tugasnya belajar biar pintar, terus jadi orang kaya."
Dari tempatnya, Juna memperhatikan kedua kakak beradik tersebut. Baju keduanya tampak lusuh, yang laki-laki bahkan masih mengenakan celana training sekolah dasar negeri yang warnanya telah memudar. Di samping mereka terdapat dua karung beras yang biasa Juna lihat dipanggul oleh para pemulung.
"Aku mau punya uang," kalimat sang adik sontak menghentikan gerakan kakaknya yang tengah menyiramkan air ke lutut adiknya. "Aku mau ajak ibu berobat, terus ajak ibu ke Jakarta, buat cari Ayah, Ayu malu di bilang nggak punya Ayah sama teman-teman."
Suara si anak perempuan bergetar saat mengatakannya, sungai terbentuk di pelupuk matanya. "Ayu iri sama Anggi yang setiap Ayahnya pulang selalu dibeliin boneka, Ayu iri sama Farhan, padahal Farhan anak nakal, tapi Farhan punya Ayah punya Ibu, Ayahnya Farhan juga orang kaya sering ajak Farhan jalan-jalan, kalau kita punya Ayah, kakak nggak perlu kerja, Ibu juga pasti bisa berobat, nggak kayak sekarang, jangankan boneka, Ayu aja udah lupa kapan terakhir kali Ayu makan nasi pakai lauk."
Angga memeluk adiknya membiarkan anak perempuan itu menangis dipelukannya seraya mengusap rambut Ayu lembut.
Ada nyeri melintas di dada Juna kala menyaksikannya, sedikit rindu yang menjalar, karena melihat Angga dan Ayu saat ini seperti melihat cerminan ia dan Bulan di masa lalu.
Setiap kali Bulan menangis, maka Juna akan memeluknya, mengelus rambutnya dengan sayang sampai akhirnya tangisan Bulan terhenti.
"Kamu nggak boleh mengeluh, ingat kata Ibu, kalau kamu sedih, ada orang di dunia ini yang lebih sedih lagi." Angga mengusap air mata Ayu dengan ruas ibu jarinya. "Kamu masih bisa makan, padahal ada orang yang buat minum pun nggak mampu, kita memang nggak punya Ayah, tapi Ayu, di dunia ini ada anak-anak yang bahkan sejak kecilnya udah sendirian. Kata Ibu ada anak-anak yang dari bayi udah di buang orang tuanya di Panti Asuhan, atau malah di bunuh sebelum dia lahir, kalau Ayu kan masih punya Bunda sama Kakak, kita nggak akan ninggalin Ayu."
"Kakak bohong, kata Bude kemarin, sakitnya Ibu udah parah, kata Bude... Ibu udah mau meninggal." Suara Ayu bergetar saat mengatakannya, walaupun mereka terpisah jarak beberapa meter, namun hening yang sempurna membuat Juna mampu mendengar percakapan itu dengan jelas.
Ada kesedihan dalam mata Angga, sebelum anak laki-laki itu berujar lagi, "kalau Ibu dipanggil Allah, berarti Ibu di sayang Allah, kalau Ibu meninggal, artinya Ibu udah nggak sakit lagi."
"Tapi artinya Ibu ninggalin Ayu."
"Ibu nggak ninggalin Ayu, kan Ayu tau Ibu sayang sama Ayu, artinya walaupun Ibu meninggal Ibu tetap sayang sama Ayu, Ibu yang minta sama Allah buat jagain Ayu nanti." Angga menyelipkan sejumput rambut adiknya ke belakang telinga, lantas kembali berujar.
"Ingat kata Ibu, kita nggak pernah sendiri, Allah itu Maha Kuasa, sekalipun semua orang meninggalkan kita, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya."
Deg.
Seperti tersambar petir, tenggorokan Juna tercekat. Tertohok dengan kata-kata barusan, Juna merasa lidahnya mengelu. Kalimat itu persis dengan kalimat yang Bundanya dulu pernah ucapkan.
"Langit boleh marah sama Bunda, tapi jangan sama Tuhan. Karena, semua orang mungkin bisa pergi dari sisi Langit, tapi Tuhan nggak pernah pergi. Kamu nggak akan sendirian, selama kamu punya Tuhan."
Dan sekarang, Juna marah pada Tuhan. Ia marah di saat ia memiliki banyak orang yang memperhatikannya, ia marah di saat ia memiliki segala yang ia butuhkan, yang paling menyedihkan adalah ia marah karena mengetahui bahwa adiknya masih hidup.
Suara Adzan Isya terdengar dari kejauhan, menghentikan percakapan antara Ayu dan Angga. "Ayo, solat dulu, biar hatinya nggak sedih lagi."
Juna masih tidak bergerak, bukan hanya lidahnya yang kaku, namun seluruh syarafnya terasa lumpuh. Di perhatikan dua punggung tersebut bergandengan tangan, walau perlahan, kedua sosok tersebut mengabur karena selaput tipis di matanya.
Dalam benaknya sosok itu membias, perlahan terganti dengan visualnya dan Bulan semasa kecil. Tampak begitu rapuh di atas dunia yang kejam, namun pegangan tangan itu terlalu kokoh, seolah bilamanapun keduanya hancur maka genggamannya tetap tidak terlepas.
Juna dan Kiana adalah Langit dan Bulan. Bahkan kalaupun seluruh seandainya, ia semogakan mereka tetap memiliki darah yang sama. Mencintainya tetaplah sebuah kesalahan.
Dan sejauh apapun ia berlari, kenyataan tetap akan membayanginya. Juna memejamkan matanya perlahan.
Tidak sakit itu tidak menghilang, ia pun belum bisa menerima kenyataan, tapi ia juga tidak mungkin selamanya lari.
Tugasnya menjaga Bulan, belum selesai.
***
"Dimas, minum dulu, lo belom makan dan minum dari tadi siang." Naura menyerahkan sebotol air mineral pada Dimas, memecah lamunan cowok itu.
Dimas menoleh sesaat, lantas menerima botol air tersebut dari Naura. Dimas hanya meneguk airnya separuh sementara sebagian lainnya digunakan untuk membasuh wajahnya frutrasi.
"Harusnya gue nggak membicarakan hal itu sama Bokapnya Kiana, jadi Kiana nggak akan tau kenyataannya."
"Jangan menyalahkan diri lo sendiri, nggak ada satu pun dari kita yang menyangka bahwa Kiana dan Kak Juna bisa mengalami hal ini."
Dimas memejamkan matanya, seraya menghembuskan napas lelah. Tadi, setelah kemunculan Kiana yang tiba-tiba, baik Dimas maupun Wisnu tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan Kiana.
Lebih dari pada tangisan Kiana belasan tahun silam di ayunan depan rumahnya, isakan Kiana kali ini jauh lebih pecah, gadis itu memaksa Wisnu agar menjawab pertanyaannya. Dimas sendiri hanya bisa tercekat di tempatnya, menyaksikan kehancuran Kiana tepat di depan matanya.
Tidak lama kemudian Andien muncul, berusaha meraihnya kedalam rengkuhan, namun Kiana mengelak, gadis itu berlari meninggalkan mereka bertiga. Wisnu dan Dimas yang hendak mengejarnya harus tertahan karena Andien yang pingsan.
Dan pada akhirnya, mereka kembali kehilangan jejak Kiana.
Saat ini, Dimas dan yang lainnya telah kembali berkumpul di apartemen Saka. Semuanya kembali dengan tangan kosong. Cerita yang baru saja di ceritakan Dimas, membungkam mereka semua, terutama Saka.
Sebagai orang yang menjadi saksi hidup Juna dan Kiana sejak belasan tahun silam, Saka mengerti bahwa kenyataan ini mungkin terlalu menyakitkan untuk mereka hadapi.
Saka masih ingat seberapa berat hari yang harus Juna lewati pasca berita kematian Bulan. Karena diam-diam, ia pun dulu merasakan kesepian yang sama. Selain Juna, hanya Bulan yang dulu berani menyapanya tanpa enggan, memarahinya tanpa segan, tidak butuh waktu lama bagi Saka kecil untuk akhirnya merasa dekat dengan keduanya. Bisa di bilang, Langit dan Bulan adalah teman pertamanya.
Bertahun-tahun berlalu, Saka lah yang paling memahami, bahwa Juna masih tidak mampu beranjak dari masa lalunya. Bahwa Juna masih berteman dengan rasa kehilangan. Tapi kenapa, di saat Juna baru bisa tersenyum tanpa beban, pemuda itu harus kembali dihancurkan?
Saka mengusap wajahnya frustrasi, lantas meraih kunci mobilnya.
"Gue harus cari Kiana." Kalimat Saka sontak membuat lima orang lainnya menolehkan kepala. "Gue nggak bisa terus berdiam di sini, sementara berharap mereka kembali sendiri, ini udah malam, Kiana nggak boleh tetap di luar sampai tengah malam."
Fabian menghembuskan napas, lalu ikut beranjak dari tempatnya. "Saka bener, itu anak terlalu cuek sama sekitar, gue khawatir dia kenapa-napa, untuk sekarang kayaknya kita harus fokus cari Kiana, setelah Kiana ketemu baru kita pikirin lagi dimana Juna."
Deva dan Rio turut mengaminkan, kemudian beralih pada Dimas dan Naura.
"Dimas, lo tolong antar Naura pulang ke rumahnya, ke kostan atau ke rumah Kiana, terserah, yang jelas dia juga harus balik, dan kalo lo mau istirahat dulu juga nggak papa, kita tau lo belum tidur dari semalam."
"Gue masih harus nyari Kiana," kata Dimas seraya bangkit dari duduknya, cowok itu meraih jaketnya, lalu beralih pada Naura. "Naura, gue antar lo ke rumah lo aja ya? Lo perlu istirahat yang nyaman, dan rumah Kiana terlalu jauh dari sini."
"Nggak usah, gue balik sendiri aja, kalian cari Kiana aja, tapi kalau ada apa-apa please kabarin gue."
"Nau..." Dimas hendak menolak usul Naura, namun gadis itu menggeleng tegas.
"Kiana harus cepet ditemuin, gue nggak mau dia kenapa-napa, please." Kelima laki-laki di sana saling melempar pandangan, sebelum akhirnya Dimas yang mengambil keputusan.
Cowok itu menyerahkan jaketnya pada Naura, lantas bergumam pelan. "Gue antar lo sampai kostan aja ya, bukan cuma Kiana yang harus baik-baik aja, lo juga."
***
Kiana tidak menghitung sudah sejauh apa jalan yang ia tempuh saat ini, ia pun sudah lupa bagaimana caranya ia bisa sampai di sini.
Sejak meninggalkan rumah tadi, ia tidak berbicara satu patah katapun, tidak pula menangis, tidak pula terisak. Hanya berjalan layaknya raga tidak bernyawa, tatapannya kosong, sementara otaknya memutar semua kata yang ia dengar dari percakapan Ayahnya dengan Dimas di ruang kerja tadi.
Saat ini, ia tengah berdiri di tepi jalan raya, langit di atasnya bertamburan bintang-bintang, sementara bumi Jakarta juga memiliki malam yang terang karena lampu dari gedung-gedung pencakar langit.
Kiana merasa kakinya telah kebas, begitu pula dengan seluruh tubuhnya. Tapi tidak dengan hatinya, di dalam dadanya, sesuatu terasa dirampas dari sana. Dunianya seolah runtuh hanya dalam satu hari, seluruh fakta yang baru ia temukan mengarahkannya pada kehancuran.
Ia adalah Rembulan Maharani.
Andien dan Wisnu bukanlah orang tua kandungnya.
Ibunya telah lama mati, demi melindunginya, dan Ayahnya seorang pembunuh.
Juna adalah saudaranya, mencintainya adalah dosa tidak termaafkan.
Deru napas mulai terdengar, Kiana menggelengkan kepalanya. Kuat-kuat, ia mencengkram dadanya.
Sakit. Sakit sekali.
Sesak. Sesak sekali.
Air mata itu kembali berjatuhan, ia berharap ini semua mimpi buruk, namun tidak ada mimpi yang sebegini menakutkannya.
Desing mobil yang melaju terdengar di antara isakannya, seolah tidak perduli dengan keretakannya.
Satu-satunya cara agar ia bisa lari dari kenyataan, adalah dengan hidup di dalam mimpi. Mungkin, jika ia memejamkankan matanya selamanya, maka sakit ini juga akan pergi, maka sesak ini akan ikut mati, maka tidak ada lagi kepedihan yang harus ia hadapi.
Tertatih, Kiana menyeret kakinya, perlahan. Berharap sebuah benda besi mampu membantunya melarikan diri dari realitas.
Apa saja, asal ia mampu pergi dari sini.
Sepasang lampu sorot menembus kegelapan malam, gadis itu memejamkan matanya, suara klakson terdengar memecahkan keheningan, membunuh suara lainnya, namun percuma sang pemilik telinga sudah menulikan pendengarannya.
Mobil itu terus melaju, desingnya tak mampu berhenti hanya dalam hitungan detik.
Sepersekian detik terlewati, sampai akhirnya tubuh gadis itu terlempar ke aspal trotoar, terangkum dalam lengan seseorang.
"KIANA? WAKE UP!" teriakan itu terdengar kalap. Di cengkramnya kedua bahu gadis itu kencang-kencang.
Perlahan, sepasang mata itu bergerak.
Ketika lensa madunya terbuka, maka guratan luka berpijar dengan jelas.
Gemetar, Kiana mengajukan sebuah permohonan
"Saka... tolong bilang, gue bukan Bulan."
Satu kalimat yang tidak pernah terjawab, karena setelahnya tubuh gadis itu luruh, kehilangan kesadaran.
***
Saka mengusap wajahnya frustrasi, saat ini ia berada di lorong rumah sakit, menunggu teman-temannya yang lain datang. Keluarga Kiana sedang berada di dalam ruangan bersama dokter, gadis itu kini terbaring di atas bangkar Unit Gawat Darurat, terpasang selang infus dengan mata terpejam.
Menurut Dokter, kemungkinan Kiana mengalami dehidrasi berat, dan kelelahan. Tidak heran, gadis itu belum menyentuh makanan atau minuman apapun sejak hilangnya Juna pagi kemarin, bahkan semalaman kemarin Kiana pun terjaga.
Namun, bukan itu yang mengguncang Saka, melainkan kenyataan bahwa ia baru saja menyaksikan Kiana berusaha mengakhiri hidupnya.
Bukan, bukan Kiana.
Melainkan Rembulan.
Gadis yang empat belas tahun meninggal tanpa meninggalkan jejak selain ingatan.
"Mana Kiana?" suara Dimaslah yang pertama kali Saka dengar. Ada kepanikan dalam suaranya.
Belum sempat Saka menjawab, Naura muncul dengan tergopoh dari ujung lorong, diikuti dengan Fabian, Rio dan Deva.
"Kiana masih di dalam, sama orang tuanya." Kalimat Saka berhasil menyuarakan helaan napas lega yang nyaris serupa.
Dimas bergerak, mengintip Kiana dari jendela kecil di pintu. Tidak terlihat jelas, namun dari tempatnya dapat Dimas lihat tubuh Kiana yang berbaring tidak berdaya dengan selang infus di tangannya.
"Ini darah sia... DIMAS!" suara Naura membuat perhatian enam orang yang berada disana beralih pada Dimas. Dari punggung tangannya, darah menetes meninggalkan jejak di atas lantai putih. "Lo kenapa?"
Dimas memperhatikan tangannya, lalu teringat kecelakaan kecil yang ia alami di perjalanannya ke rumah sakit tadi. Setelah mendengar kabar tentang Kiana, Dimas memang melajukan motornya pada kecepatan di atas rata-rata, dan tepat di pertigaan sebelum rumah sakit, motornya oleng dan akhirnya rebah di aspal.
Ia tidak sempat memeriksa luka, Dimas langsung berlari menuju rumah sakit, cowok bahkan lupa pada motornya yang ia tinggalkan ringsek di pinggir jalan sana.
"Ah, ini tadi gue jatuh, nggak parah kok di hansaplast juga sembuh."
Tangan Naura bergerak untuk memeriksa luka Dimas, lantas berdecak kala menemukan separah apa luka itu terbuka. "Apanya yang nggak parah, ini mungkin harus di jahit, Dimas!"
Cemas terdengar dalam nada suara Naura, membuat Dimas tersenyum sesaat, hanya demi memastikan bahwa ia baik-baik saja.
"Nggak apa-apa, Nau, gue turun dulu, motor gue masih di pertigaan."
Belum sempat Dimas melangkah, pergelangan tangannya di tahan oleh Deva.
"Mana kunci lo, biar gue yang urus." Mata Deva beralih pada Naura, "Nau, tolong urus ini anak satu, kita nggak butuh satu pasien lagi."
Dimas menghembuskan napas pelan, lantas mengangguk. "Kuncinya masih ada di motor, gue nggak sempat nyabut."
Deva mengangguk mengerti, tepat sebelum Deva meninggalkan mereka, Dimas berujar pendek. "Thanks."
Deva tidak menjawab, hanya mengangguk samar.
----
A/n:
Holla! Marhaban ya Ramadhan, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan! Gimana part 26? Sumpah nggak tau mau blg apa, kecuali semoga feelnya dapet, semoga kalian bisa ngerasain seputus-asa apa mereka berdua :(
Aku selalu mau bikin cerita yang ada moral valuenya, dan mudah-mudahan di cerita ini ada sedikit yang bisa petik hikmahnya, kayak tentang Angga sama Ayu, sumpah ya, nulis bagian mereka kayak nyentil diri sendiri, gue udah begini enak masih sering ngeluh :(
Sebenernya udah gatel pengen posting ini dari kemarin, tapi karena perkuliahan aku lagi hectic bgt, dan segala macam tetek bengek acara dll, jadi gapapa lah ya hari ini aja hehe
Hm, apa lagi ya, oh iya, buat kalian yang dari kemarin nanyain grup If Only atau roleplayernya, sekarang if only udah ada grupnya, bukan grup if only sih, gabungan gt sama AYR sama Crush, jadi kayak grup pembaca gt, thanks to Melin, Firly, Dila degemdegem ku yang baik hati.
Buat yang mau join, boleh chat ke @.tylrswf28 , @.firlynuraulia_ , @.dilagldn (ga pake titik)
Kalau soal rpnya sampai saat ini baru ada punya Juna, sama Kiana dan dua-duanya pun aku yg pegang.
Follow ya: (at)pranajaarjuna , (at)kiananrjn
Yang lainnya nanti menyusul, ya belum sesuai sama cerita yang sekarang sih, kan baru jadi muehehe.
Yaudahlaya, semoga kalian suka, semoga bertahan sampai akhir, semoga ga bosen, semoga feelnya dapet.
Maapin juga kalau aku ada salah2 kata, once again, happy fasting and i love you.
Salam sayang,
Innayah Putri
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro