Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

d u a p u l u h d u a

Sekali saja, aku ingin berharap, bahwa kelak aku akan kau jadikan sebagai tempat menetap, bukan sekedar ruang persinggahan.

***

Annisa selalu suka melihat Juna melukis. Dahi puteranya akan mengernyit, alisnya pun  terpaut. Annisa suka melihat Juna yang tenggelam dalam dunianya, mata gelap cowok itu terpatri dalam satu fokus, dan membiarkan hening menyergapnya.

“Cantik,” gumaman pelan Annisa memecah perhatian Juna, cowok itu menoleh hanya untuk mendapati Mamanya yang menatap potret yang sedang ia lukis. Sesaat, mata Annisa meneliti paduan warna serta garis gambar yang terhampar di dinding putih di hadapannya. Lukisan Juna, masih jauh dari kata sempurna, tapi tetap tampak bernyawa. Sejak kecil, Annisa sudah paham bahwa Juna berbeda dengan anak laki-laki lainnya, jika biasanya anak laki-laki tertarik dengan dunia olah raga, maka Juna lebih menyukai krayon dan pensil warna. Maka dari itu, hampir setiap sorenya, Juna menghabiskan waktu dengan kanvas dan cat minyak, seorang guru private pun di datangkan Annisa dan suaminya, untuk mendukung hobby putera mereka.

Kegiatan itu terus berlangsung hingga Juna duduk di kelas tiga SMA, kesibukannya di bidang akademik, dan dunia perkuliahan membuat Juna perlahan meninggalkan kegiatan sorenya tersebut.

“Masih cantikan Mama kok,” Juna turun dari kursinya, lantas mengecup pelan pipi Mamanya.

“Pacar kamu?” tanya Annisa masih tampak menilai.

“Bukan, calon istri.”

“Berani ya kamu, ngejadiin anak orang calon istri belom kenalin ke Mama,” Annisa menyentil hidung Juna, lantas mengelus puncak kepala Juna lembut. “Kalau kamu macarin anak orang, izin  sama orang tuanya.”

Sebelum Annisa beranjak keluar kamar, wanita itu menghentikan langkahnya sejenak, “ngomong-ngomong, siapa namanya?”

“Kiana, Ma, Kiana Niranjana.”

Annisa tersenyum, “bagus namanya.”

***

Juna terbangun dalam sebuah ruang putih, pakaian yang ia kenakan pun berwarna sama, tampak kontras dengan rambut dan matanya yang segelap malam. Tidak ada apapun di sana,  batas ruangan ini juga tak tampak bentuknya.

Pelan, dijejakinya ruang tersebuttangannya terulur layaknya meraba udara kosong.

Tiba-tiba sebuah suara terdengar di telinganyaSuara itu terdengar familiar, kehadirannya menebarkan rindu dalam dadanya.

Lalu perlahansosok itu muncul dari ketiadaan.

Masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu,  rambut panjangnya tergerai halusbegitu lembut terhampar di atas gaun putihnya. Senyumnya merekahhingga pipi  penuhnya berwarna merah merona seperti kelopak mawar.

Terbata, Juna mengeja namanya.

"Bu...lan."

Juna tidak bisa tidak tercekatketika gadis itu menoleh padanyamatanya mengerjap pelanseperti ingin menyampaikan letupan rindu yang sama. Juna mengulurkan tangan berusaha meraih tangan Bulan, tapi raut wajah gadis itu justru berubahmatanya menyendu, dan muram langsung menyergap keduanya. Hingga perlahansosok itu bias di telan udara hampa.

"Bulan!" Juna berteriak frustrasi, berusaha menemukan satu sosok di antara kosongnya putih. Tapi tidak ada yang menjawabnyaselain gema dari suaranya sendiri.

Sampai sebuah tangan terulur, mengusap air matanya dengan ruas ibu jari. Sendu,  mata madu itu menatap Juna dengan sorot yang sama putus-asanya.

"Jangan nangis," ujar Kiana parau.

Juna mengangkat wajahnya, berusaha menemukan setitik kelegaan yang biasa ia temukan di wajah Kiana. Namun tidak, bukan kelegaan,  yang Juna dapati justru ketakutan akan kehilanganSeolah sebuah mimpi buruk tanpa akhirJuna merasa bahwa takdirnya telah tertulis untuk menyaksikan kepergian orang yang ia cintai.

"Jangan pergi," serak,  di ucapkannya kalimat itu dengan terbata. Seakan seluruh tenaganya telah habis untuk memohon.

Kiana tidak menjawab, tapi ketika tangannya terlepas, dapat Juna saksikan darah menggenang di sana.  Selanjutnya tanpa Juna duganyaris seluruh gaun putih Kiana basah oleh darah.

"Ki, plis jangan."

Lagi-lagi tidak ada suara, hanya tatapan nanar dan deru napas yang perlahan melemah.

Juna tidak mengerti apa yang terjadihanya saja jarak tiba-tiba terbentang di antara keduanya.

Kini, ia tidak mampu lagi bergerak untuk meraih Kiana,  hanya bisa di saksikannya  Kiana menahan sakit, tangan gadis itu pun terulur, seperti ingin menyambut uluran tangan Juna.

Tatapannya seolah memohon, agar Juna mampu menyelamatkannya. NamunJuna tidak bisa melakukan apapunhingga perlahan harap itu meredup, sinarnya menghilangLenyap. Pada akhirnya, hanya keputus-asaan yang mampu Juna tangkap dari lensa cokelat itu.

Perlahan, Juna sadari, untuk kesekian kalinyahanya kehilangan yang ditakdirkan untuk menjadi temannya.

***

Juna terbangun, napasnya memburu.  Perlahan,  diusapnya basah di pipinya dengan punggung tangan. Bukan darah,  melainkan air mata. Pemuda itu menghembuskan napas, yang baru teratur ketika ia menemukan lukisan potret Kiana yang terhampar di dinding kamarnya.

Sejak berpacaran dengan Kiana,  ini pertama kalinya mimpi buruk kembali menghampiri Juna. Dan semudah itu,  hanya dengan menatap sosok Kiana dalam bentuk dua dimensi,  sakitnya berkurang. Gadis itu memang seperti obat.

Juna mengambil ponsel dari atas nakas, lantas mengurut keningnya kala melihat angka digital yang tertera di layar.  Pukul dua dini hari, berarti sudah empat jam berlalu sejak teleponnya dengan Kiana terputus berkat dengkuran halus yang terdengar di ujung sana.

Cowok itu baru hendak meletakan ponselnya untuk mengambil wudhu dan melaksanakan solat malam,  ketika benda pipih itu bergetar. Foto Kiana pun memenuhi layarnya.

Alis Juna terangkat. Tidak biasanya Kiana terbangun tengah malam begini, tanpa menunggu waktu lama, Juna menswipe layarnya,  hingga hubungan itu pun tersambung.

"Hallo, kak Junjun? Udah bobo ya?" suara Kiana di seberang,  membuat bibir Juna tertarik ke atas.

"Iya, udah, tapi udah kebangun lagi," Juna kembali meletakan tubuhnya,  berujar tanpa melepas senyum.  "kok tumben bangun jam segini? Tadi udah ketiduran?"

"Mimpi buruk."

"Mimpi apa? Mimpi gue selingkuh? Enggak kok sayang,  aku nggak akan selingkuh."

Dapat Juna bayangkan di ujung sana Kiana menekan bibirnya berusaha menahan senyum. Oke, Juna tau dia alay, nyaris seluruh temannya sudah protes atas sikapnya yang menurut orang-orang bukan Juna banget.

Tapi gimana dong.

Kiana lucu kalau tersipu.

Kan Juna gemas.

"Alay," kata Kiana tanpa mampu menyembunyikan nada malu dalam suaranya. Kalau laki-laki lain yang berkelakar seperti Juna, Kiana mungkin sudah mual, tapi kenapa kalau Juna beda ya rasanya?

"Biarin, kan yang penting lo sayang."

Haduh, Jun, basoka aja deh Kiananya.

"Sampis." Tidak ingin terus-menerus di serang, Kiana mulai mengalihkan topik. "Lo kenapa belum tidur?"

"Karena kamu bangun."

"Juna..."

"Iya apa Kiana sayang?"

"Jangan begitu terus." Di atas tempat tidurnya Juna tertawa geli.

"Iya oke, lo mimpi apa memangnya?" pertanyaan Juna membuat Kiana tanpa sadar menghembuskan napas lelah. Sejujurnya, ini bukan pertama kalinya mimpi buruk menyandangi tidur Kiana, sejak kejadian di panti beberapa bulan lalu, Kiana sudah beberapa kali mengalami mimpi buruk. Kiana tau, mungkin itu hanya pelengkap tidur, tapi kenapa sebuah mimpi bisa terasa sebegitu menyesakkannya? Seakan ia benar-benar pernah mengalaminya.

Biasanya, setelah terbangun karena mimpi tersebut, Kiana akan kembali terlelap. Namun, tidak malam ini. Mimpinya tidak lagi dihadiri orang-orang asing. Dalam tidurnya kali ini, Kiana melihat Juna, mati demi menyelamatkannya.

Dan di antara seluruh mimpi buruknya, mimpi inilah yang terasa paling mencekam.

"Ki?" suara Juna kembali menyadarkan Kiana, ada nada khawatir terselip di sana.

"Nggak, gue mimpi lo selingkuh sama Johan," kilahan Kiana sontak membuat Juna mendengus keras.

"Mimpi lo nggak bisa bagusan dikit apa?"

"Ya emang gue mimpi bisa request?"

Juna tidak lagi bisa protes. Cowok itu menatap langit-langit kamarnya, membayangkan Kiana sedang melakukan hal yang sama. Sebersit resah menghampirinya, kala ingatan tentang mimpinya tadi membentur kepalanya.

Tidak. Itu hanya mimpi buruk. Ia baru saja bahagia, takdir tidak akan sekejam itu kan?

"Nggak ngantuk?"

"Ngantuk sih," aku Kiana. "Tapi, masih mau telepon."

Mata Juna berbinar jenaka. "Bilang aja kangen, susah banget sih."

Kiana tertawa, walaupun sebenarnya itu hanya alasan kesekian. Alasan utamanya, karena Kiana baru merasa lega kala ia mendengar suara Juna, karena ia baru merasa yakin bahwa yang kematian Juna yang baru ia saksikan hanya sebuah mimpi, karena ia takut,  kalau ia tidak mendengar suara Juna hari ini,  ia tidak bisa lagi mendengar suara laki-laki itu di hari esok.

"Yaudah,  kalo gitu lo ngomong terus ya,  gue dengerinjangan di matiin sampe lo yakin gue udah bener-bener pulas."

Juna tersenyum mendengar kalimat Kiana.  Kiana tidak pernah tau,  jika baginya ketenangan adalah mendengar suara Juna,  maka bagi Juna kedamaian tentu lebih sederhana.  Sesederhana mendengar hela napas Kiana.

Malam itu,  Juna bercerita banyak hal.  Tentang Saka, tentang keluarganya, tentang sahabat-sahabatnya, tapi ia tidak bercerita tentang Bulan ataupun masa lalunya. Kiana pun hanya mendengarkan, tanpa menyela sedikit pun, hingga pada akhirnya hanya hela napas teratur yang mampu ia dengar.

Cukup lama Juna mendengarkannya, cowok itu tidak lagi berbicara, membiarkan hening berkuasa diantara mereka.  Tapi, hening itu tidak menyesakkan,  hening itu terasa mendamaikan, memberikan kelegaan dan hangat yang menjalar.

Di akhir sambungan telepon mereka, Juna berujar gamang.

"Gue tau, gue nggak bisa memaksa lo menetap selamanya,  semua orang pada akhirnya bakal pergi, entah karena takdir atau waktu," Juna memberikan jeda sejenak,  membiarkan udara memenuhi rongga paru-parunya. "but please, don't you."

***

Bangun di bawah jam 10 di hari Minggu adalah hal yang nyaris mustahil bagi Kiana, apalagi jika akhir pekannya ia habiskan di rumahnya,  di atas tempat paling nyaman di seluruh muka bumi;kasurnya.  Maka dari itu, ketika cahaya matahari menembus jendela kamarnya, dan saat mata cokelat madunya menangkap mata sabit Juna,  Kiana berpikir ia masih berada di alam mimpi.

"Kayaknya mimpi buruknya nggak mampir lagi ya?" gumaman Juna di jawab Kiana dengan anggukan pelan.  Rasa nyaman menyebar dalam dadanya,  kala Juna menatapnya lembut, lantas mengusap dahinya pelan.

Kiana baru mau memejamkan matanya kembali saat samar-samar kesadaran menghampiri benaknya. Dalam waktu sepersekekian detik matanya terbuka dalam bukaan maksimal,  masih tidak percaya, Kiana mengucek matanya keras.

"Eits, jangan di kucek begitu, rusak mata lo entar." Tangan Juna menahan pergerakan Kiana.

"Lo ngapain di sini?!" suara melengking Kiana membuat Juna merenggut sesaat.

"Kata nyokap gue, kalau mau macarin lo harus minta izin sama bokap lo," ujar Juna seraya mengusap sudut mata Kiana.  "Ada beleknya."

Kalimat Juna sontak menyebarkan rona di pipi Kiana, gadis itu menutup wajahnya dengan bantal berbentuk hati.

"Ah kak Juna, sana kek lo,  jangan di sini," suara cempreng Kiana teredam oleh bantal, namun tak mampu menutupi getar malu di dalamnya.

"Kenapa memang? Gue udah ijin sama nyokap lo kok,  katanya gue boleh ke sini,  asal pintunya nggak di tutup."

"Bukan itu,"

"Terus kenapa?"

"Gue malu." tawa Juna berderai, sementara tangan cowok itu bergerak mengacak rambut Kiana.

"Lo kenapa bisa selucu ini sih, Ki? Kan gue jadi tambah sayang." Dibalik bantal Kiana mati-matian menahan bibirnya, agar tidak tersenyum, namun gagal, tidak hanya bibirnya yang melengkung, jiwanya pun seolah ikut melambung.

"Yaudah ya, gue tunggu di depan," tanpa menyingkirkan bantalnya,  Kiana mengacungkan jempol.

***

Sementara menunggu Kiana mandi dan berganti pakaian, Juna mengobrol dengan Papa Kiana. Wisnu adalah laki-laki hangat nan berwibawa, dari pancaran matanya Juna tau, bahwa Pria itu mencintai keluarganya sedalam yang Papanya lakukan.

Sedangkan Juna, sejak awal kedatangannya sudah mampu menarik perhatian Wisnu, sikap Juna serta tindak-tanduknya mampu membuat orang tua manapun tersanjung. Memang, belum sebesar kepercayaannya pada Adimas, namun sikap gentle Juna yang meminta izin pada Wisnu untuk memacari Kiana tentu saja membuat nilai plus pemuda itu melonjak tajam.

Selain itu, ada sesuatu yang hangat menjalar dalam dada Wisnu kala ia menyaksikan Kiana bersama dengan Juna, kala iris hitam Juna menatap Kiana. Wisnu tau, diatas perasaan cinta, sorot itu sarat akan kasih sayang dan kebutuhan untuk melindungi.

Tidak lama kemudian Andien muncul dari ruang makan, wanita anggun itu tersenyum pada Juna, sebelum meminta suaminya, untuk mencicipi masakannya.

Lagi-lagi, ada sesuatu yang mengganjal dadanya ketika ia menemukan manik hitam milik Juna.

"Anak itu familiar, iya nggak sih Pa?" tanya Andien ketika mereka berjalan menuju dapur.

"Siapa? Juna?" Andien mengangguk samar, ada resah di wajahnya.

"Jangan khawatir, dia anak baik."

Andien hanya menghembuskan napas pelan, dia tau, Juna anak baik, ia pun dapat merasakannya, namun entah kenapa, ia merasa kebersamaan putrinya dengan pemuda itu hanya akan menghancurkan keduanya kelak.

Di ruang keluarga, mata Juna bergerak acak, ia belum sempat melihat-lihat karena keberadaan Wisnu tadi. Ruang keluarga ini memang menguarkan aura hangat nan ceria, kalau kata Wisnu setengah dari isi ruangan ini di pilih oleh Kiana. Seperti sofa berwarna broken white yang di dudukinya, atau karpet persia yang menenggelamkan telapak kakinya.

Ada sebuah pigura besar yang membingkai manis potret keluarga Kiana.

Sementara, di sisi lain ruangan frame-frame tersusun sedemikian rupa. Penasaran, Juna pun beranjak menuju deretan bingkai tersebut.

Kiana pasti lucu waktu masih bayi.

Ada banyak foto Kiana. Baik sendiri maupun bersama kedua orang tuanya, namun sepertinya foto bayi Kiana tidak terdapat di sana. Sebersit rasa cemburu menghampiri dada Juna kala menemukan potret Kiana yang memeluk Dimas erat.

Iris hitam itu masih berpindah, dan senyumnya masih terukir sampai sebuah potret menghentikan pergerakan matanya.

Di sana. Di dalam sebuah bingkai putih berukuran 4R, terdapat sesosok gadis yang menyedot perhatiannya.

Dalam waktu singkat, dunia Juna seolah berhenti berputar, fokusnya terhisap pada gambar dua dimensi di hadapannya.

Gemetar, di raihnya bingkai tersebut. Tidak, ia tidak mungkin salah mengenali orang terkurung dalam bingkai ini. Gadis ini, adalah gadis yang sama dengan gadis kecil yang menghampiri mimpinya tadi malam. Gadis bergaun putih yang bias di telan udara hampa. Gadis itu, persis Rembulan.

"Juna?" suara Andien memecah perhatian Juna, namun belum mampu memulihkan kesadarannya.

Parau, diejanya sebuah pertanyaan. "Tante, ini... siapa?"

Telunjuknya di letakan pada sosok gadis berumur lima tahun yang berada di tengah Wisnu dan Andien.

"Itu Kiana, Juna, siapa lagi memangnya?"

Tenggorokan Juna tercekat, seperti di hantam sebuah kemungkinan tubuhnya melemas, seolah luruh ke lantai.

"Juna, kamu kenapa?" tanya Andien khawatir, melihat wajah Juna yang tiba-tiba sepucat kertas.

"Saya... izin pulang dulu Tante, permisi." Tanpa menunggu jawaban Andien, Juna berlalu melewatinya. Bingung, Andien menatap punggung pemuda itu yang hilang di balik sekat.

Andien baru ingin kembali meletakan bingkai putih tadi di tempatnya, ketika sebuah kesadaran menghantamnya keras-keras. Ingatannya seketika terlempar pada kotak yang ia temukan di gudang beberapa waktu lalu, pada si pembuat pesawat kertas dalam kotak tersebut.

Napasnya terasa sesak, saat menyadari sebuah rahasia yang mungkin akan terkuak berkat foto di tangannya.

Ia tidak ingin mempercayainya, namun perubahan raut dalam wajah Juna barusan seperti sebuah bukti yang ia tidak bisa elak, meskipun ia ingin.

***

Saka baru keluar dari kamar mandi, ketika pintu apartemennya tiba-tiba saja terbuka. Juna ada di baliknya. Meskipun, sudah hapal password unit milik Saka, tidak biasanya Juna masuk dengan cara yang terkesan brutal seperti barusan.

"Jun, kenap..." pertanyaan Saka terhenti di ujung lidah, karena Juna tidak mengindahkannya, wajah Juna seperti di penuhi kemelut frustrasi. Tanpa menjelaskan apapun, Juna melesat menuju satu ruangan, dengan gerakan gusar, di bukanya pintu lemari demi meraih sebuah kotak yang sebulan lalu di ungsikan Juna ke apartemennya.

Saka tidak lagi bertanya, hanya memperhatikan.

Tidak butuh waktu lama bagi Juna untuk menemukan amplop cokelat yang tersimpan di kotak tersebut. Bertahun-tahun, ia tak memiliki keberanian untuk membuka amplop tersebut, namun kini, ia tidak bisa lagi mundur.

Demi seseorang yang ia harapkan bisa di milikinya sampai waktu terakhir, ia harus memastikannya. Semoga saja, isinya berbeda dengan apa yang terdapat di tempurung kepalanya.

Robekan amplop itu terdengar, dan tanpa menunggu detik selanjutnya, isinya sudah berhamburan di hadapan Juna.

Kini, terhampar dua fotocopy kartu identitas beserta dokumen lainnya.

Gemetar, diraihnya sepasang pas poto 3x4 yang terdapat di sana, di bariskannya bersama dua fotocopy KTP yang ia temukan bersamanya.

Dan saat itulah... Juna merasa langit runtuh di atas kepalanya.

Berkali-kali ia mengerjapkan mata, potret dalam foto-foto itu tidak berubah, begitu pula dengan deretan aksara yang membentuk nama dalam fotocopy KTP tersebut.

Tubuh Juna luruh, bersamaan dengan jatuhnya setetes air mata. Berakhir, harapannya untuk sekali saja bahagia seperti hancur begitu saja. Remuk, hingga tak bersisa sama sekali.

Ia, tidak ditakdirkan untuk memiliki akhir yang bahagia.

"Jun?" suara Saka terdengar, sarat akan kekhawatiran. "Are you okay?"

Juna menggelengkan kepala, tanpa menyingkirkan telapak tangannya. Selanjutnya, suara parau itu terdengar, di genangi dengan keputus-asaan tanpa batas.

"Sak, Bulan mungkin masih hidup."

Saka membatu.

-----
A/n: Parah sih dua minggu nggak update, muehehe maafin aku, jadi begini teman2 bersamaan dengan hilangnya HP ku file if only pun ilang, jadi part ini aku tulis ulang :')
Doain aja dua puluh tiganya ga ngaret lagi wkwk

Ada yang mau protes soal part ini? Muehehe

Ya gitu deh.

Gamau banyak ngomong.

Padahal ini udah banyak.

Abaikan.

Aku kadang nggak jelas muehehe.

Semoga masih ada yang nunggu.

See you when i see you.

Salam sayang,

Naya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro