
d u a p u l u h d e l a p a n
Yang baru ku pahami adalah; ternyata rindu juga bisa membunuh. Dengan cara yang lebih kejam, daripada sebilah pisau.
***
Dua minggu berlalu sejak pertemuan Kiana dan Juna di kamar rumah sakit, namun rupanya waktu tersebut belum cukup untuk menata hati mereka.
Dunia memang masih berjalan seperti seharusnya, langit tetap biru, matahari masih panas, dan hujan meninggalkan bau lembab di udara.
Kecuali bagi dua orang yang hidupnya seperti baru di porak porandakan badai.
Kiana telah kembali berkuliah, namun tak ada yang mampu mengelak, bahwa banyak hal berubah dari dirinya. Tak ada celoteh asal, tak ada sikap semena-mena, tidak ada tawa bahkan sebersit senyuman.
Hanya tatapan kosong layaknya raga tanpa jiwa.
Kadang, pada malam-malam tertentu, Naura menemukan Kiana yang menangis dalam tidurnya, suara isakannya begitu lirih, nyaris seperti merintih.
Bukan hanya Naura, tapi Dimas dan Saka pun dapat menjadi saksi, bagaimana seorang Kiana Niranjana telah bertransformasi.
Kondisi mentalnya otomatis berpengaruh pada fisik gadis tersebut, Dimas sudah lupa kapan terakhir kali ia melihat mata cokelat madu itu berpedar, cahayanya kini seolah redup di penjarakan rindu.
Berbeda dengan Kiana, Juna tampak jauh lebih tenang dan bisa menerima kenyataan. Sekalipun sebenarnya, semua orang memahami, bahwa yang pemuda itu lakukan hanya membangun benteng sekokoh mungkin, melindungi kerapuhannya di balik wajah setenang telaga.
Deva tidak pernah absen menghitung berapa kotak rokok yang kini Juna bisa habiskan setiap harinya. Sesuai dugaannya, jika Kiana adalah alasan kenapa Juna bisa berhenti merokok, maka ketika gadis itu menghilang, tembakau adalah cara paling sempurna untuk membunuhnya dari ingatan.
Rio pun tidak pernah protes terhadap mangkirnya Juna dari rapat-rapat organisasi, ia justru sangsi Juna bisa konsentrasi saat pikiran pemuda itu justru terbagi.
Apalagi, mengingat cerita Saka mengenai air mata yang menetes begitu saja kala Juna terlelap.
Mereka pahami, bahwa Juna dan Kiana bukan hanya berada pada titik terendah hidupnya. Mereka berdua tengah sekarat, nyaris mati karena mencoba menerima takdir.
Di antara semua orang, justru Fabian yang tidak banyak berkomentar, tidak banyak bercerita, cowok itu hanya diam sambil membuntuti kemana pun Juna pergi.
Fabian bukan perokok aktif sebenarnya, namun ketika Juna merokok, ia akan melakukan hal yang sama. Ketika Juna membolos kelas, maka akan ditinggalkannya pula kelasnya dengan alasan yang sama.
Bukan karena Fabian tidak perduli dengan dunia perkuliahannya, ia hanya memahami bagaimana rasanya mencintai orang yang berdosa untuk dimiliki-- Yah, walaupun kisah lamanya dengan Marcella tentu tidak setragis kisah Juna dan Kiana.
Seperti saat ini, keduanya tengah duduk di rooftop fakultas, di waktu seharusnya mereka mendengarkan kuliah umum mengenai Filsafat Komunikasi.
Udara masih sekering bulan April, padahal seharusnya musim hujan telah dimulai. Bosan memperhatikan langit biru di atasnya, mata Juna beralih pada jalanan di bawah mereka. Mobil dan motor berlalu lalang, sementara di pinggir trotoar para pejalan kaki melangkah dengan benda di atas kepala, berusaha berlindung dari sengatan matahari.
Tawa sumbang tiba-tiba terdengar dari bibir Arjuna, membuat Fabian menoleh dengan sebelah alis terangkat.
"Kenapa lo?"
"Enggak," Juna menggeleng, lantas kembali ke posisi awalnya, duduk menghadap angkasa yang tak terbatas. "Gue cuma mikir, kalau gue lompat ke bawah, kira-kira gue matinya karena patah tulang atau ketabrak mobil ya?"
Mendengar kalimat Juna, mata Fabian sontak membulat. Beberapa detik terlewati, sampai tangannya bergerak menoyor kepala Arjuna, seolah itu mampu mengembalikan kewarasan seseorang.
"Jangan jadi brengsek Jun, demi nemenin lo nyebat, gue ngebatalin janji gue jalan sama Rinjani," desis Fabian dengan mata memicing.
"Rinjani? Anak mana lagi? Perasaan kemarin lo bilang lagi ngedeketin anak Fikes yang namanya Raisa?" Juna membelokan arah pembicaraan mereka, membuat Fabian bisa sedikit bernapas lega.
"Raisa udah mau nikah sama Hamish, sebagai pria yang jantan, gue harus mengikhlaskan dia layaknya Keenan."
"Najis," dengus Juna mendengar kelakar Fabian, sementara cowok itu hanya terkekeh geli.
Juna kembali menghisap tembakaunya, kemudian menghembuskan asapnya demi bersatu dengan udara kosong. Matanya menatap kosong langit sempurna di atasnya, terbentang maha luas, dengan gumpalan putih yang serupa permen kapas.
Sejujurnya, Juna memang belum sampai pada tahap mengikhlaskan. Terlalu fana baginya untuk mencapai tahap tersebut dalam waktu sesingkat ini.
Maka dari itu, ketika matanya di sapa oleh cerahnya langit. Hatinya kembali bertanya-tanya;
Katanya, Tuhan memberi cobaan tidak melebihi kemampuan hambanya, lalu memangnya ia setegar apa sampai Tuhan memberinya luka sebegini dalamnya?
Hembusan napas berat kembali lolos dari bibirnya, otaknya tidak bisa melupakan cerita Saka pagi itu. Cerita Saka mengenai Kiana yang hampir mengakhiri hidupnya.
"Gue ngomongin mati bukan karena gue mau, tapi karena Kiana." Juna tidak tau, kenapa kalimat tersebut melesat dari bibirnya. Sampai saat ini, memang belum ada yang mengetahui kenyataan tersebut, kecuali ia dan Saka.
"Maksudnya?"
"Malam dimana Saka nemuin Kiana, malam itu... Kiana nyaris di tabrak mobil." Juna sendiri enggan mengakui, bahwa suaranya terdengar parau, seperti berasal dari dimensi yang berbeda. "Dia nyaris bunuh diri."
Kalimat Juna kontan memghentikan pergerakan Fabian. Tenggorokannya tercekat, frustrasi Juna dan Kiana kini turut mengepungnya.
Juna tersenyum sedih. Matanya terpejam, membiarkan angin menyusup di sela-sela rambutnya. Berharap dengan begitu, keresahannya pun mampu terbang menjauh.
"Gue nggak tau apa yang harus gue lakukan kalau itu benar terjadi." suara Juna lagi yang mematahkan keheningan. "Seandainya dia mati karena menyesali hubungan kami, gue nggak tau harus hidup seperti apa."
Tidak ada lagi yang berbicara, hening menyergap mereka dengan badai dalam tempurung kepala masing-masing. Sampai Juna akhirnya bangkit.
"Mau kemana?" Fabian hendak turut berdiri, namun bahunya di tahan oleh Juna. Temannya itu tersenyum seraya menyampirkan tas di sebelah bahu.
"Thanks udah nemenin gue, tapi gue tau habis ini lo ada kelas Politik, tolong bantu jaga Kiana untuk gue." Juna menepuk bahu Fabian beberapa kali, sebelum cowok itu melenggang pergi, masih dengan sebatang rokok diantara kedua bibirnya.
Dari tempatnya, Fabian hanya bisa menyaksikan punggung kesepian Juna, melangkah sendirian, mengaburkan batas antara langit dan tanah bangunan rooftop ini. Selangkah sebelum kakinya mencapai bibir pintu, Juna berhenti untuk melumat rokok lewat ujung sepatu ketsnya.
Dalam hati Fabian bertanya-tanya, bagaimana Juna bisa tetap berdiri tegak, sementara kakinya telah patah, berulang kali.
***
Tidak perduli seberapapun ia berusaha menghindar, pada akhirnya mereka akan kembali bertemu jika Tuhan mengizinkan. Langkah kaki Juna terhenti di bibir meja Perpustakaan Pusat yang lengang, hanya ada beberapa orang di selasar-selasar rak siang itu, namun justru seseorang yang paling ia hindari tengah terlelap berbantal lengan di salah satu meja perpustakaan.
Wajahnya kelihatan begitu pucat dan kelelahan. Sinar matahari yang menerpa wajahnya melalui jendela, membuat Juna otomatis bergerak untuk meneduhkannya.
Ada gemuruh yang hadir di dada Juna, teriakan dari dalam otaknya untuk segera beranjak sebelum gadis itu menyadari hadirnya. Tapi bukankah logika sesuatu yang tak berguna bila berhubungan dengan rindu? Bahkan baginya, seorang laki-laki yang katanya mengandalkan 90% logika di atas perasaan.
Menuruti kata hatinya, Juna turut meletakan tubuhnya di kursi samping Kiana, meletakan kepalanya di atas meja seperti yang gadis itu lakukan. Lamat-lamat, dipandanginya mata cokelat madu yang kini tengah terpejam.
Sesuatu berdesir dalam dadanya, menyadari betapa ia nyaris gila karena merindu. Kini ia mengerti, kenapa mata madu itu tampak familiar, kenapa sejak awal, alam bawah sadarnya selalu bergerak untuk melindungi Kiana.
Karena memang begitulah takdirnya, sampai detik ini, tugasnya masih menjaga Rembulan.
Sebelah tangan Juna refleks bergerak, menyentuh pipi Kiana dengan ruas ibu jarinya.
Ada sesak bergumul dalam dadanya kala kulit mereka bersentuhan. Potret Kiana siang ini, telah jauh berbeda dari wajah Kiana yang terakhir kali ia lihat.
Pipinya tampak tirus, lekukan hitam tampak jelas di bawah matanya, sementara alis gadis itu berkerut, seperti sedang menahan sakit.
Pertanyaan timbul tenggelam dalam benak Juna, pertanyaan sederhana yang Juna tidak harapkan jawabannya, seperti;
Berapa banyak berat badan Kiana yang turun semenjak pertemuan terakhir mereka?
Kenapa kantung mata gadis itu sekarang menghitam? Bukannya Kiana selalu tidur dengan lelap?
Juna menghembuskan napas panjang, saat bulu mata gadis itu bergerak lambat, Juna lantas melepaskan pegangannya, kemudian beranjak, agar gadis itu tak menemukannya.
Tepat setelah tubuh Juna menghilang di balik rak, mata Kiana terbuka sepenuhnya, gadis itu menghembuskan napas pelan, sekedar untuk melepaskan sesak.
Sejujurnya, sejak tadi Juna berdiri di pinggir meja, Kiana sudah terjaga, tapi gadis itu tidak membuka matanya. Ia takut, jika Juna tau ia tidak terlelap maka cowok itu akan kembali menghilang.
Kiana melirik ponselnya, lantad meraih benda pipih itu. Beberapa pesan dari teman-temannya, ia abaikan, namun jarinya terhenti pada satu pesan.
Hanya melihat namanya saja, dada Kiana terasa menyempit. Bukan dari Juna, melainkan dari laki-laki paling ia cintai di dunia ini. Pria nomor satunya.
From: Papaku Sayang.
Kiana masih marah sama Papa? Maafin Papa. Pulang nak, Papa kangen.
Pesan ini bukan pesan pertama yang sampai di ponselnya tanpa terbalas. Sejak kembali ke kostan, tidak ada satu pun pesan dari orang tuanya yang Kiana jawab.
Mulanya, gadis itu berniat menjawab, tapi beberapa detik terlewati, jari gadis itu masih kaku di tempat yang sama. Ia tidak tau, apa yang harus ia katakan. Harus ia panggil apa pria ini? Papa? Atau Om?
Karena terlalu menyakitkan bagi Kiana, menyadari bahwa hubungan antar mereka tidak didasari atas darah yang sama.
Akhirnya, pesan itu tetap tidak terbalas.
Kiana melirik angka digital di layar ponselnya. Seharusnya, ia ada di kelas Ilmu Politik saat ini, namun sepertinya ia butuh menyendiri di kamar kostnya.
Jadi, alih-alih beranjak ke kelas, gadis itu justru mengirimkan chat ke Naura, untuk menyampaikan izinnya.
Setelah yakin pesannya terbaca, Kiana bangkit lalu melangkah meninggalkan mejanya, berniat langsung pulang ke kostan.
Mulanya, Kiana tidak terlalu perduli dengan orang yang mengambil langkah di belakangnya. Ia bahkan tidak perduli, jika orang itu berniat menyakitinya.
Namun geraknya terhenti, kala melihat mata hitam seseorang terpantul di cermin, menatapnya penuh nelangsa.
Deg.
Dan sekali lagi, Kiana terjebak dalam lensa segelap malam.
---
A/n :
Whoah, maap ngaret geez, ini baru di edit, seharusnya 28 panjangnya dua kali lipat dari pada part ini, tapi karena jadi ngelag, gue bagi aja lah ya jadi dua part.
Semoga kalian bertahan sampai akhir. Btw, dimas udah punya ig (at)adimas.pras
Salam sayang,
Naya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro