Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

d u a b e l a s

Bagi beberapa orang bahagia merupakan fatamorgana, namun kenapa luka menjadi begitu nyata?

***

Seperti yang telah di rencanakan sebelumnya, malam inagurasi akan di selenggarakan di Puncak hari Sabtu tepat setelah UTS selesai. Saat ini empat mini bus rombongan Mahasiswa Baru Ilmu Komunikasi masih tertahan oleh sistem one way yang di berlakukan.

Jika anak-anak yang lain memilih untuk menghirup udara di luar bis, maka Kiana adalah kebalikannya. Gadis itu masih nyaman terlelap dengan mulut yang setengah terbuka.

Beberapa menit kemudian, Kiana menggeliat. Gadis itu sontak menyipit saat melihat Naura yang sudah tidak ada di sampingnya.

Sebuah hormon dalam tubuhnya membuat Kiana memaksakan diri untuk bangkit. Dengan langkah sempoyongan, Kiana melangkah keluar dari bus.

Kiana butuh ke kamar kecil.

Juna baru membeli segelas es doger, ketika matanya menangkap tubuh oleng yang turun dari bus. Gadis itu menengok ke kanan dan kiri sebelum melanjutkan langkahnya.

"Jun, pinjem HP dong!" suara Rio mengalihkan perhatian Juna. Sejenak, ia mengangsurkan ponselnya. Namun, saat Juna kembali menoleh, gadis itu sudah tidak berada di tempatnya tadi.

"Itu anak, ntar kalo ilang aja," Juna menghembuskan gusar, lantas melangkahkan kakinya, berusaha menemukan jejak Kiana.

Melalui sebuah celah kecil yang terdapat pada dinding yang memisahkan jalan tol dan pemukiman warga, dan di sanalah Juna menemukan Kiana, masuk ke dalam rumah dengan plang bertuliskan 'WC umum' di depannya.

Juna bersandar pada dinding rumah itu, sesekali senyum dilemparkannya pada warga sekitar yang lewat.

Beberapa menit berlalu, namun, Kiana belum juga keluar dari rumah tersebut. Juna baru ingin mengetuk pintu kamar mandi ketika Kiana keluar dari sana, dan langsung berjenggit kaget.

"Astagfirullah, gue kirain dedemit puncak." Kiana mengelus-elus dadanya.

"Lo ngapain sih di dalem? Tidur? Ayo buruan!" Juna menarik tangan Kiana, tapi hanya sesaat karena Kiana langsung menghempaskannya.

"Gue masih bisa jalan sendiri tau! Nggak usah modus, tangan gue mahal."

Juna mendengus mendengar Kiana, lantas melangkah cepat, membuat gadis itu kewalahan mengikuti langkahnya yang besar-besar.

Juna akhirnya menghentikan langkahnya, lalu menyuruh Kiana melangkah di depannya. "Lo jalan duluan, biar gue yang di belakang."

Senyum Kiana mengembang, tidak menyangka bahwa Juna memiliki sisi seorang gentleman. Namun sayang, senyumnya langsung lenyap kala mendapati mobil yang tadi berbaris rapat sudah mulai berjalan lancar, dan bus mereka sudah tidak tampak.

"MATI GUE!" keduanya berteriak, nyaris bersamaan. Raut Kiana langsung berubah panik, ia menatap Juna seraya menggigiti ujung kukunya.

"Gimana dong?"

Juna tidak menyahut, hanya meraba-raba kantongnya, tapi sedetik kemudian mengumpat saat mengingat ponselnya di pinjam oleh Rio.

Sial!

Cowok itu mengulurkan tangannya, yang langsung di sambut Kiana dengan sukarela. Juna menatap tangan mereka datar, sebelum menghempaskannya.

"Maksud gue HP, tadi mau di gandeng marah-marah, sekarang malah minta di gandeng," selorohan Juna hanya di sambut dengan bibir Kiana yang menekuk.

Dengan gerakan malas, diletakkannya ponselnya di tangan Juna. Juna menatap ponsel tersebut, sebelum memicingkan matanya pada Kiana.

"Lo ngapain ngasih gue HP lowbat begini?"

"Kan lo nggak minta hpnya ada baterainya." Jawaban Kiana sontak membuat Juna menjerit frustrasi seraya menjambaki rambut.

"Menurut lo ada faedahnya nggak ngasih gue HP kalau ternyata nggak bisa di pake?!"

"Yaudah sih maaf," Kiana mengerucutkan bibir, sementara ujung sepatunya di gerakan di rumput.

Mata hitam itu akhirnya merembet berkeliling, berusaha menemukan jalan keluar. Namun, para pedagang sudah berada di tepi jalan tol lainnya, dan memberhentikan mobil di jalan tol rasanya adalah sesuatu yang mustahil.

Akhirnya, ia menghela napas, lalu berujar. "Ayo, jalan."

"Kita di jemput?" mata Kiana berbinar, ia nyaris bersujud syukur ketika Juna menggelengkan kepala.

"Kita jalan kaki."

"Gila! Ke puncak?!" teriakan Kiana sontak membuat Juna menatap gadis itu gemas.

"Lo tuh ya?! Memangnya salah siapa kita ada di sini?!"

"Siapa suruh lo ikutin gue?!"

"Terserah!" Juna menjerit kesal, lalu menghentakkan kaki meninggalkan Kiana.

Di belakangnya Kiana cemberut, tapi tak pelak mengekor di belakang Juna.

"Gitu aja kok ngambul."

***

Awalnya, Kiana mengira jalan-jalan kecil yang mereka lewati akan membawanya sampai pada Villa tempat mereka menginap, namun ternyata langkah keduanya justru terhenti di sebuah bangunan asri dengan plang bertuliskan Panti Asuhan di depannya.

Saat ini, Kiana duduk di sebuah ruangan, menikmati bau petrikor yang masuk melalui bingkai ventilasi. Panti ini terasa begitu nyaman, rasanya seperti ia berada di 'rumah'.

Tak lama, seorang perempuan yang Kiana tahu bernama Ratih, muncul dari balik daun pintu.

"Di minum dulu neng, tehnya." Ratih meletakan secangkir teh hangat yang Kiana sambut dengan suka cita, "sayang si Bunda lagi ke Semarang, padahal mah baru sekali Langit bawa pacarnya ke sini."

Kernyitan pada dahi Kiana membuat Ratih langsung meralat, "eh Juna maksudnya."

Kiana yang sedang syahdu menyesap teh hangat otomatis tersedak, menyadari siapa yang Ratih maksud.

"Bukan Teh, aku bukan pacarnya Juna."

"Masa sih? Yah sayang banget padahal Juna kasep pisan." Mendengar kalimat Ratih, Kiana sontak menggeleng.

"Teteh tau Harry Styles? Cameron Dallas? Manu Rios?" Ratih menggeleng.

"Atau Teteh tau Lee Min Ho? Park Chanyeol? Kim Woo Bin?"

Kerutan pada alis Ratih semakin nyata, "Pak Cebol?"

Menyadari bahwa Ratih benar-benar buta dalam dunia percoganan, Kiana lantas mengangkat kedua telapak tangannya.

"Park Chanyeol Teteh, itu tuh cowok ganteng, lesung pipinya dalam, mukanya imut, ya kalau di lihat-lihat sih jodoh sama Kiana, kalau model Juna mah nggak ada seujung kukunya pisan."

"Masa sih?" sebelah alis Teh Ratih naik, "kalau sama Aliando gantengan mana?"

Kiana baru mau menyahut, saat sebuah suara menyela diantara mereka, "gantengan Juna Teh."

Arjuna yang baru melewati ambang pintu melirik Kiana sekilas, sebelum duduk di samping cewek itu.

"Teh Ratih, malam ini Juna sama Kiana nginep di sini boleh ya?"

Bukan Ratih, justru Kiana yang merespon.

"Lah? Kita nggak jadi ke Villa?!" Juna berdecak, namun mengabaikan Kiana.

"Nanti Juna yang bilang sama Bunda Rahma, boleh ya?"

Tentu saja Ratih langsung mengangguk dan tersenyum senang.

"Nggak apa-apa, kan udah dibilang, di sini mah masih rumah Juna. Yaudah, teteh ke dapur dulu ya, masak buat makan siang." Juna pun mengangguk, namun ia langsung berjenggit ketika mendengar jeritan di telinganya.

"Dih, eh karet nasi uduk! Gue nanya woy?!"

"BISNYA UDAH KEBURU BALIK KE JAKARTA, KITA BARU BISA DI JEMPUT BESOK PAS BIS JEMPUT ANAK-ANAK DI PUNCAK!" Kiana terdiam untuk sesaat. Meskipun galak, Juna tidak pernah berteriak pada Kiana.

"Galak banget," ujar gadis itu, membuat Juna memijit dahinya lelah.

"Gue capek, lo juga istirahat aja dulu."

Juna menghempaskan kepalanya pada sandaran kursi, lantas memejamkan mata. Di balik kelopak matanya yang tertutup ada rindu yang menyambut.

Pulang ke 'rumah' selalu membuatnya merasa nyaman, tapi sayang, datang ke sini seperti kembali berjumpa dengan luka.

Suara anak-anak yang tertawa, gerakan ayunan yang tertiup angin, hingga bau 'rumah lama' yang menguar dari sudut dinding, kerap kali membuatnya sesak.

Kadang rindu memang sekejam itu.

Pelan-pelan Juna menghela napasnya. Berusaha menguraikan satu-persatu kenangan yang mengikatnya.

Sementara itu, tatapan Kiana jatuh pada laki-laki yang tengah menutup mata di sampingnya.

Harus Kiana akui, Juna tetap memikat bahkan dalam keadaan terpejam. Jika selama ini Kiana berpikir bahwa mata gelap Juna lah yang membuatnya perlahan tenggelam, kali ini Kiana harus meralatnya.

Namun, ada sesuatu yang janggal dari raut wajah porselen itu. Entah bagaimana, lelah terjabar di sana, keputus-asaan muncul dalam lekuk sempurna laki-laki itu. Juna seperti sedang memikul segunung beban, menyembunyikan seribu luka.

Tanpa sadar tangan Kiana terulur, namun gerakannya terhenti, karena pergelangan tangannya di tangkap oleh Juna.

Bukan untuk di hempasan, Juna justru menggenggam tangan Kiana, mengaitkan jari-jarinya di antara sela jemari Kiana.

"Sebentar, Ki, gue mau istirahat, sebentar aja."

Kiana tidak menjawab, napasnya tertahan karena rangkuman tangan Juna. Entah bagaimana ada hangat yang menjalar dalam seketika.

Tiga puluh detik berlalu, sampai Juna kemudian bangkit dan melepaskan tangan Kiana begitu saja.

"Kalau mau tidur minta aja kamar kosong sama Teh Ratih, gue mau ke halaman belakang dulu."

Belum sempat Kiana menjawab, sebuah jeritan mengalihkan keduanya. Seperti sebuah alarm, keduanya refleks berlari menuju sumber suara.

Seorang anak kecil tidak sadarkan diri berada dalam gendongan pria berumur tiga puluhan. Tubuhnya basah kuyup, sementara itu darah kering tampak menyembul dari balik baju dan rambutnya.

"Mamang, itu siapa?" Juna yang pertama kali tersadar. Pria itu adalah Mang Asep, salah satu staff Panti.

Mang Asep tidak menjawab, ia justru memberi instruksi pada Ratih untuk membawa alat P3K dan baju ganti.

Kiana tidak bisa tidak menjerit saat baju anak kecil itu di tanggalkan, jauh lebih parah dari pada yang terlihat, nyaris pada seluruh tubuh anak laki-laki itu terdapat memar, bahkan di punggungnya sebuah goresan panjang tampak bernanah.

Tiba-tiba saja Kiana merasa tenggorokan tercekat dan napasnya mulai tersengal. Ada sakit tidak terdefinisikan yang bergemuruh dalam rongga dadanya.

Sadar bahwa Kiana mulai ketakutan, Juna menarik gadis itu hingga kini mata Kiana menghadap ke arah Juna.

"Jangan di lihat."

Kiana tidak tau kenapa, namun mendengar suara Juna justru membuat air mata yang sejak tadi ia tahan menetes perlahan.

Melepas tatapannya dari Kiana, Juna menatap anak kecil yang tengah dibubuhi obat itu dengan sorot nanar. Seketika, dadanya terasa sesak. Bukan sekedar simpati, Juna tau bagaimana rasanya berada di ambang kematian seperti itu. Ia sangat tau.

***

Matahari telah tenggelam sejak satu jam yang lalu, kini keadaan panti sudah jauh lebih tenang. Kiana sudah mulai melupakan kejadian tadi, sekarang ia justru menikmati keberadaannya di panti. Sore tadi, ia telah di buat lelah karena diajak bermain dengan anak-anak panti. Mulai dari petak jongkok, monopoli, ABC lima dasar, sampai lompat karet tidak ada yang mampu Kiana menangkan. Heran Kiana, kecil dulu, dia main apa sih?!

Oh iya, sejak kecil Kiana memang cuma punya Dimas untuk di ajak main, jadi dunia Kiana hanya berputar di antara si ganteng Superman dan duo maut Tsubasa dan Hyuga. Jangan salah, Kiana tidak terpesona terhadap kehebatan Superman, Tsubasa dan Hyuga, Kiana terpesona oleh ketampanan mereka.

Saat ini, anak-anak kecil itu sudah selesai mengaji dan sedang belajar, jadi Kiana hanya bisa diam seraya memperhatikan Juna yang mendadak jadi guru private.

Kiana tidak dapat berbohong, sesuatu memang ada yang salah pada dirinya. Ia sudah tidak bisa menyanggah bahwa Juna tampan.

Gadis itu tidak bisa tidak terperangah, ketika tetes-tetes air wudhu jatuh dari ujung rambut Juna, atau ketika Juna dengan sabarnya mengajari satu-persatu anak-anak di sana mengaji. Baru tau Kiana kalau kakak galak itu ternyata berbakat jadi papah muda atau...

...suami idaman.

Tiba-tiba mata Kiana menangkap sesosok anak laki-laki yang mengintip dari celah pintu. Itu adalah Farhan, anak laki-laki yang tadi datang dalam keadaan pingsan. Sesaat mata Kiana menatap anak itu nelangsa, sebelum menyambutnya dengan ceria.

"Hai! Sini, kamu mau ikut belajar?" suara Kiana membuat seluruh perhatian di ruangan itu teralih.

Farhan menggeleng sekilas, sebelum meninggalkan mereka yang masih menatapnya.

"Gue ambil minum ya?" Juna bangkit dari duduknya, tanpa menunggu Kiana mengangguk, cowok itu sudah beranjak meninggalkan Kiana.

***

Bukan ke dapur, Juna ternyata menghampiri Farhan ke depan televisi. Diam-diam, Kiana berdiri di balik dinding. Kiana tidak berniat menguping, tapi ia tidak sengaja menemukan mereka saat hendak menyusul cowok itu.

"Gue juga pernah, ngerasain apa yang lo rasain," kalimat Juna yang di layangkan pada Farhan, otomatis membuat gerak Kiana terhenti.

Anak laki-laki itu tidak menjawab, hanya menatap layar dengan tatapan kosong.

Dapat Kiana lihat, senyum miris tercetak di bibir Juna, matanya tampak menerawang, namun luka jelas nyata dari selaput bening tersebut.

"Gue jauh lebih kecil dari lo waktu itu, kalau orang lain bisa ngelupain masa kecilnya, gue nggak akan bisa." Juna merasa tenggorokannya tercekat, namun ia tetap melanjutkan, "karena gue punya banyak kenangan buruk."

"Dan seperti biasanya, kenangan buruk jauh lebih bertahan." Juna menekan bibir bawahnya. Sesak bergumul di dadanya, perlahan, di aturnya napas.

"Waktu itu hujan, gue di kunciin di luar rumah, sampai jam sembilan malam, setelah di bukain pintu, gue di pukul pakai rantai motor, gue pikir cuma sampai di sana, tapi ternyata bokap gue memang psikopat," Juna terkekeh miris sesaat, sebelum melanjutkan. "Gue direndam di bak kamar mandi selama dua jam, lampunya mati, rasanya dingin dan perih."

Juna memejamkan matanya, tahun-tahun telah berlalu, luka itu telah mengering, tapi entah bagaimana ia masih mampu merasakannya.

Perih yang menjalar, dingin yang menusuk, serta pengapnya ruangan gelap mampu Juna bayangkan dengan jelas, bahkan bau anyir dari bak yang penuh dengan air bercampur darah dari punggungnya pun tidak mampu Juna lupakan walau semalam.

Dari balik dinding Kiana merapatkan bibirnya. Getir itu tampak dalam getar suara Juna. Ada sesuatu tentang Arjuna yang Kiana lewatkan, atau mungkin justru segala hal tentang Juna memang tidak teraba olehnya.

"Gue ingat, gue selalu berharap kalau gue mati, biar gue nggak ngerasain lagi perihnya, tapi..." Juna memberi jeda sejenak, "kalau gue mati ada orang yang nggak bisa gue lindungi."

"Gue pikir gue bisa ngejagain orang itu, tapi takdir gue adalah untuk menyaksikan kematian orang-orang yang gue sayangi."

Kiana dapat melihat, bagaimana air mata meluncur dari sudut mata Juna, cowok itu tidak mengusapnya hanya membiarkannya jatuh begitu saja.

Tatapan Farhan tidak lagi kosong, kini tatapannya jatuh sosok Juna. Setelah membiarkan beberapa detik terlewat, Juna menghapus air matanya, lalu mengacak rambut Farhan.


"Gue dengar dari teh Ratih, ibu lo masih ada di rumah? Gue tau ini menyedihkan, tapi sebelum lo bisa bawa ibu lo keluar dari rumah itu, jangan pernah ninggalin beliau sendiri, sekalipun lo harus di pukuli." Juna tersenyum, sebelum melanjutkan, "karena sebagai anak laki-laki, sudah takdir kita untuk menjaga."

Ketika Juna menoleh, ia menemukan Kiana berdiri di ambang sekat. Sesaat, Juna terdiam, berusaha di definisikannya arti dari tatapan Kiana. Namun, ia tidak menemukan tatapan mengasihani, sebaliknya kepiluan jelas tergambar di sana.

Kiana sendiri tidak mengerti kenapa air matanya harus jatuh hanya demi sepenggal kisah masa lalu seseorang, ia juga tidak memahami, kenapa hatinya seolah ikut retak mendengar penuturan sederhana tersebut.

Tapi yang jelas, keduanya telah menyadari, bahwa baru saja ada batas yang telah mereka lewati. Entah untuk mengobati, atau justru menghadirkan luka yang lain.

------
A/n: Nah, udah pada tau kan posisi Juna gimana?

Sejujurnya, gue sudah berniat kabur, dari perwattpadan selama beberapa waktu. Tapi nggak tau kenapa malah nge-publish juga.

Yaudahlayaaa, semoga kalian suka, semoga tidak membosankan, dan semoga kalian bisa bertahan sampai akhir❤

Sincerely,

NAYA.

P.s: terima kasih untuk dukungan kalian semuaaa, me lava yu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro