d u a
Di luar batas kesadaran, keadaanmu telah menjadi prioritas ku.
Tanpa perduli betapa besar jarak yang tengah kamu ciptakan, aku akan tetap berlari, menuju satu-satunya tujuan; dirimu.
***
Kiana meringis merasakan kakinya yang kebas. Ia sudah mengunjungi Fakultas Kedokteran, Ilmu Komputer, Ilmu Kesehatan, Hukum, dan FEB, namun ia tidak dapat menemukan Arjuna Pranaja.
Sebenarnya tidak heran Kiana tidak dapat menemukan satu Arjuna pun. Sejak tadi, ia hanya menanyai satu dua orang di Fakultas masing-masing.
Sekarang hanya tinggal Fakultas Tehnik yang belum Kiana sandangi, tapi membayangkan kumpulan cowok dengan rambut gondrong saja Kiana sudah bergidik.
"Apa gue balik ke Hukum aja kali ya? Namanya Arjuna itu cocoknya jadi anak hukum kayaknya?" gumam Kiana pada dirinya sendiri.
"Eh, tapi apa jangan-jangan dia anak Kedokteran ya?" Kiana kembali bergumam, kemudian menggeleng kuat-kuat, "nggak, kayaknya bukan anak Kedokteran deh, Dokter Arjuna, nggak matching gitu namanya."
Kiana kembali terpekur, berusaha mencari gelar yang cocok untuk nama Arjuna walaupun sebenarnya itu sama sekali bukan cara berpikir yang masuk akal.
Nama kan bukan sesuatu yang berpengaruh pada profesi!
"Jangan-jangan... dia bener anak Tehnik?" Kiana melirik horor ke arah gedung Fakultas Tehnik, dari tempatnya Kiana dapat menemukan segerombolan cowok yang duduk di taman Fakultas, dengan rokok terselip pada bibir masing-masing.
"Ah, nggak tau ah! Pusing gue!" teriak Kiana frustrasi, tidak sadar bahwa ia telah menarik perhatian.
Dimas baru saja melewati lorong menuju kantin ketika melihat Kiana sedang membenamkan kepalanya diantara dua lutut.
Dimas menatap minuman di tangannya, minuman ini harusnya ia serahkan pada seniornya, bentuk hukuman terakhir karena telah kabur pada saat baris-berbaris pagi tadi.
Berkat menjemput Kiana di kost-annya, Dimas harus rela bolak-balik naik tangga dari lantai satu sampai lantai empat sampai tujuh kali. Tidak berhenti di sana, Dimas bahkan harus membersihkan seluruh mesin bubut yang terdapat di bengkel praktek mereka.
Tapi melihat bagaimana frustrasi nya Kiana, sepertinya cewek itu mengalami hukuman yang lebih melelahkan darinya.
Akhirnya, alih-alih menuju gedung fakultasnya, Dimas justru melangkah mendekati Kiana.
Kiana mengangkat kepalanya ketika merasakan benda dingin menyentuh dahinya, dalam sekejap mata Kiana berbinar menemukan Dimas berdiri di hadapannya.
"Dimas!" seru Kiana senang, tanpa basa-basi Kiana langsung meraih botol berisi jus jeruk dari tangan Dimas dan meneguknya hingga tersisa setengah.
"Ah, gila, tau aja lo gue haus!" Dimas mendengus, lalu duduk di samping Kiana, turut meluruskan kakinya.
"Tau aja, tau aja, gara-gara lo gue terancam lumpuh nih," sungut Dimas, tapi tentu saja Kiana tidak merasa bersalah, cewek itu malah memamerkan senyumannya, membuat Dimas terpaku sesaat.
Padahal wajah Kiana memerah karena sinar matahari, belum lagi rambut berantakan dan menempel di sepanjang dahi berkat keringat, namun tetap saja senyum Kiana mampu membuat Dimas terpesona.
"Gue lagi kena hukum nih," Kiana mulai mengadu, bibirnya tertekuk, membuat pipinya mengembung.
"Sama, gue juga, itu minuman yang lo tenggak, aturan jadi hukuman terakhir gue biar gue bisa ikut materi."
Mata bulat Kiana menatap botol yang hanya tersisa separuh, lalu mengangkatnya. "Lo cuma disuruh beli ginian aja sampe mau lumpuh? Memang di suruh beli dimana? Bogor? Bekasi? Apa Papua?"
Gemas dengan Kiana, Dimas mendorong dahi cewek itu dengan jari telunjuknya.
"Lo tuh ya, bilang makasih kek, terharu kek, apa kek." Kiana terkekeh, lalu tersenyum manis, matanya mengerjap, membuat Dimas lagi-lagi meleleh.
"Makasih ya Dimas sayang," kata Kiana sok imut, tidak sadar bahwa kata terakhirnya mengguncang dunia Dimas.
"Duh, Ki, untung temen, kalau nggak gue udah tembak lo."
Tentu saja, kalimat barusan Dimas ucapkan dalam hati, jadi Kiana tetap saja seperti biasa. Polos dan clueless.
"Oh iya!" seru Kiana membuat Dimas berjenggit, takut kalau cewek itu membaca isi pikirannya.
"Dimas... gue boleh minta tolong nggak?" Tiba-tiba saja mata bulat Kiana berbinar, senyum merekah di bibirnya, Kiana seperti baru saja menemukan oasis di Padang pasir. Di tatap seperti itu, Dimas memundurkan kepalanya horor.
"Ki, jangan yang aneh-aneh." Dimas menatap Kiana curiga, dengan gerakan kilat Kiana mengacungkan dua jarinya, membentuk huruf V.
"Nggak kok, nggak aneh-aneh, Kiana suwer deh!"
Dimas langsung menyentakan kepala, "nggak, lo udah manggil diri lo pake nama, itu artinya bakal jadi permintaan yang aneh."
"Nggak kok, ini nggak akan nyusahin lo,"
"Memangnya lo pernah nggak nyusahin gue?" Kiana melirik Dimas lalu memanyunkan bibirnya.
"Yaudah sih, kan minta tolong." Melihat Kiana yang kini menunduk sambil merenggut membuat Dimas akhirnya menyerah.
"Yaudah apa?"
Dan seperti biasanya, mata Kiana langsung kembali berbinar.
"Nah, gitu kek! Tolongin temenin gue ke gedung fakultas lo dong!" Mendengar permintaan Kiana, Dimas sontak melotot.
"Nggak! Ngapain lo ke sarang penyamun?!"
"Kan penyamunnya ada yang kayak elo, jadi ada yang lindungin gue," ujar Kiana, tapi Dimas tetap menggeleng tegas.
"Di sana itu banyak laki-laki nya Kiana!" seru Dimas tidak setuju.
Kiana mencebikan bibirnya lagi. Sebenarnya ia sudah tau tanggapan Dimas, sejak dulu Dimas tidak pernah suka kalau Kiana menghampirinya ketika sedang bersama teman laki-lakinya. Dimas melarang keras Kiana berada di gerombolan laki-laki.
Bagi Dimas, tempat terbaik bagi Kiana adalah di rumah bersama orang tuanya, atau di samping Dimas. Dimas bahkan masuk ke SMA yang sama dan bimbel yang sama dengan Kiana, tapi sepertinya Kiana tidak mengerti mengenai beberapa hal terakhir. Cewek itu bersikeras untuk ngekost, dan kuliah di jurusan komunikasi.
Kesadaran Dimas bahwa ia tidak bisa selamanya mengikuti jejak Kiana, tapi juga tidak bisa jauh-jauh dari cewek itu, membuat Dimas akhirnya kuliah di kampus yang sama dengan Kiana namun dengan jurusan yang sesuai dengan passion-nya.
"Gue lagi di hukum, Dimas! Nih, gue disuruh nyari yang namanya Arjuna Pranaja, minta tanda tangannya, terus foto bareng!"
Wajah Dimas tambah keruh mendengar penuturan Kiana.
"Senior lo apaan sih, norak banget!"
"Emang! Tapi itu nggak penting, yang penting sekarang gue mau cari itu orang, siapa tau dia anak fakultas lo."
"Sini, biar gue yang cari, terus mintain tanda tangannya!" Kiana sontak menggelengkan kepalanya, lalu memeluk bukunya erat-erat.
"Nggak mau! Lo aja belum selesai di hukum, ngapain ngerjain hukuman gue?"
"Yaudah, kalau gitu nggak usah."
"Kok lo yang ngatur sih?!"
"Kiana, udah sini biar gue yang mintain."
"Nggak mau!"
"Kiana!"
"Nggak mau!"
"Ki..."
"Nggak mau, nggak mau, nggak mau," Kiana menggeleng-gelengkan kepala seraya menutup telinga, berpura-pura tidak mendengar.
"Kiana!" Dimas mendesis geram, lalu menakup wajah Kiana, hingga wajah gadis itu mengarah padanya.
Kiana cemberut, lalu menghempaskan kedua tangan Dimas.
"Ah, yaudah, kalau lo nggak mau nolongin, gue ke sana sendiri aja!" Kiana bangkit dari duduknya, hendak berjalan menuju gedung fakultas tehnik.
"Oke! Gue temenin!" Teriak Dimas frustrasi.
Dalam sekejap, raut badmood Kiana lenyap, digantikan oleh wajah sumringah. "Kalo gitu, lets go, captain!"
Dimas menggelengkan kepalanya lelah, lalu menggandeng tangan Kiana menuju gedung fakultasnya.
***
Kiana berjalan di belakang bahu Dimas, sesekali wajahnya menyembul untuk melihat orang yang mereka lewati, siapa tahu ada yang mukanya ke-
Arjuna-Arjunaan.
"Kemana aja lo? Beli minuman di Bogor?!" Kiana berjenggit ketika mendengar suara menggelegar, dahinya terantuk pada punggung Dimas, karena cowok itu tiba-tiba saja berhenti melangkah.
Takut-takut, Kiana mengeluarkan kepalanya, melihat siapa yang berdiri di depan Dimas. Menemukan Kiana di balik tubuh Dimas, cowok tinggi dengan rambut di kuncir itu pun menaikan alis tinggi-tinggi. Wajah cewek seimut Kiana, tidak mungkin berasal dari fakultasnya.
"Lo abis nyulik Maba dari mana?" tanya cowok tadi, kali ini suaranya lebih lunak.
Melihat sorot tertarik dari mata seniornya, Dimas langsung mengeratkan genggamannya pada pergelangan tangan Kiana, menarik tubuh cewek itu hingga semakin tenggelam di balik tubuhnya.
"Nggak usah takut, gue nggak ngebentak cewek," ujar senior yang Dimas tau bernama Marra. "Tapi lo harus jelasin, Maba mana yang lo culik, biar jurusan kita nggak kena masalah."
Dimas baru mau membuka mulutnya ketika sebuah suara muncul dari balik punggungnya, menjawab pertanyaan Marra.
"Saya Kiana kak, anak Komunikasi, saya ke sini mau minta tolong Dimas nyari kating* yang namanya Arjuna Pranaja, ada nggak kak?"
Dimas hanya menghela napas, ketika tahu-tahu Kiana sudah berdiri di sampingnya. Marra mengerutkan dahinya bingung, lalu menggeleng kan kepala.
"Setau gue, nggak ada anak tehnik yang namanya Arjuna deh, satu-satunya Arjuna yang gue tau, justru kakak tingkat di jurusan lo." Kiana menggelengkan kepala.
"Kata yang ngehukum saya, Arjuna bukan anak fakultas saya, coba deh, kakak inget-inget, nama panjangnya Arjuna Pranaja." Marra otomatis terkekeh geli, mendengar Kiana.
"Lo tuh polos banget ya, udah tau lagi di kerjain, Juna anak jurusan lo yang gue maksud tuh, Arjuna Pranaja." Marra mengeluarkan ponselnya, lalu membuka profile pictures akun Line seseorang dan menunjukannya pada Kiana.
"Nih, yang ini namanya Arjuna Pranaja, kating lo di Komunikasi," Kiana melongo melihat foto yang terpampang di layar ponsel milik Marra.
"Dia anak HMJ kok," ujar Marra seraya memasukan kembali ponselnya.
Kiana rapatkan giginya menahan geram, sedangkan tangannya sudah menggenggam botol jus hingga penyok pada bagian atasnya.
"Jadi, empat jam gue keliling cuma buat nyari itu setan?" desis Kiana membuat Marra menatap cewek itu horor. Kiana berbalik, berderap meninggalkan Marra dan Dimas yang masih menatapnya.
Namun, baru beberapa langkah, Kiana kembali berbalik.
"Ini kak, hukuman dari Dimas tadi, dia udah beli kok, dan makasih informasinya." Kiana menyerahkan botol jus tadi pada Marra, lalu berderap kembali dengan langkah kaki yang dihentak-hentakan.
Setelah Kiana menghilang dari pandangan, barulah Marra tersadar, ia menatap botol penyok yang masih terisi setengah, lalu beralih pada Dimas.
"Jadi, minuman yang lo beli seabad bentuknya kayak gini?" tanya Marra turut menyadarkan Dimas.
Dimas menghela napas, lalu meringis. Selamat datang, neraka selanjutnya.
***
A/n: Hi, meets Adimas, gue inshaAllah akan update cerita ini Rabu-Sabtu, sedangkan kalau Crush Selasa-Jum'at, dari sini sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi sama Dimas dan Kiana? Yuhu, Dimas itu memang friendzone muehehe, yaudah ah w bawel amat.
Comment ya, gue mau tau respon kalian :3
Cupscups,
Naya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro