Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

d e l a p a n b e l a s

Pahami lah sayang, bahwa terkadang kau perlu berhenti sejenak untuk berjuang, lalu percaya bahwa semesta tidak melulu tentang luka.

***

J

una baru saja keluar dari kamar mandi, ketika menemukan Mamanya duduk di sisi tempat tidur. Walaupun memunggunginya, Juna dapat melihat bahwa wanita itu sedang terfokus pada beberapa benda.

"Liat apa sih, Mama sayang?" Annisa menoleh saat merasakan pelukan putranya. Lengan Juna kini melingkar di tubuhnya, sementara rahang tajamnya berpangku pada bahunya. Lembut, di usapnya lengan Arjuna.

Sudah lebih dari dua belas tahun semenjak Juna menjadi bagian dari hidupnya. Segala bentuk perhatian anak manis itu, kadang membuat Annisa terlena hingga lupa, bahwa tidak ada darahnya yang mengalir di dalam tubuh Juna.

Juna mengecup pelipis Annisa lembut, sedikit rasa bersalah menyusup dalam rongga dadanya, saat menyadari bahwa yang Mamanya sedang tatap adalah sebuah jurnal bersampul cokelat. Disanalah, kehancuran Juna terjabar dalam bentuk kata-kata.

"Kamu nggak bilang kalau kamu suka nulis puisi?" tanya Annisa seraya membuka lembaran lainnya. Di sana, terdapat foto keluarga lamanya bersamaan dengan beberapa baris kalimat.

Katamu, tak apa kau menghilang, asal aku tetap bernapas.

Katamu, biar saja kau terluka, asal aku tetap melangkah.

Katamu, soal mencinta adalah urusanmu, sementara bagaimana aku padamu, terserah padaku.

Lalu Bunda, apakah rinduku bukan lagi perduli mu?

Di antara kalimat-kalimat di sana, terjabar kesepian yang nyata, ada setumpuk kesakitan tentang pedihnya kehilangan. Beberapa dari baris aksara itu bahkan meluntur, kemungkinan besar karena air mata. Sadar bahwa tulisan itu tidak seharusnya di baca oleh Annisa, tangan Juna bergerak menutup bukunya.

"Itu bukan puisi kok, Ma, cuma tulisan iseng tengah malam."

Annisa menghela napas, lalu mengusap lembut punggung tangan Juna. "Sayang, Mama sama Papa nggak pernah meminta kamu melupakan Bunda kamu, kami mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang terkasih."

Selaput bening melapisi mata Annisa, wanita itu tidak pernah lupa, betapa hancurnya ia kala ia harus kehilangan buah hati pertamanya sebelum sempat mereka saling berjumpa. Bagaimana dia dulu kacau dan berantakan, ketika Dokter mengatakan bahwa rahimnya harus diangkat. Bagaimana dulu ia harus meratap setiap harinya, hanya demi mengingat bahwa ia tidak akan pernah menjadi seorang Ibu.

Sampai suatu hari, temannya bercerita, tentang seorang anak yang tinggal di panti asuhan. Anak itu memiliki masa kecil sekelam malam. Anak itu hancur berkali-kali, kehilangan berulang kali, namun berusaha bangkit setiap kali. Anak itu bernama Langit.

Mulanya, Langit menolak untuk di adopsi, sampai sebuah berita duka kembali menghampirinya. Namun ia tidak lagi hancur tanpa daya. Anak berumur delapan tahun itu berdiri tegar, tegak bagai karang. Tidak ada air mata, hanya sebuah keputusan untuk berhenti menunggu.

Dan sejak hari itu, Langit resmi menjadi bagian dari keluarga Pranaja, menanggalkan kisah pelik masa lalunya, walaupun Annisa tau, tegaknya hanyalah topeng dari kerapuhan yang abadi.

"Tapi sayang, kamu punya Papa, kamu punya Mama, apapun yang terjadi, kita tetap keluarga, kamu tetap anak kami." Setetes air bening luruh dari sudut mata Annisa.  "Karena keluarga bukan hanya tentang darah, tapi juga tentang cinta."

Juna mengusap air mata di pipi Annisa, lantas mengecup lembut bekasnya. "Juna sayang Mama."

Seperti anak kecil, pemuda itu membenamkan kepalanya pada pelukan Annisa. Mamanya benar, selamanya mereka keluarga.

***

Saka mengerutkan dahinya saat Juna tiba di apartemennya. Bukan karena cowok itu masuk tanpa mengucapkan salam, tapi karena sebuah kotak besar berwarna cokelat yang berada dalam pelukan Juna.

"Bantuin gue, gembel." Juna melirik pintu yang masih terbuka, membuat Saka tersadar, cowok itu meraih kotak cokelat tersebut, sementara Juna menutup pintu dan melepaskan sepatu.

"Lo minggat?" Saka menggaruk kepalanya bingung sembari meneliti kotak yang sudah tergeletak di atas lantai.

"Gue nitip."

"Apaan nih? Koleksi foto panas dari cabe-cabean FISIP? "

Juna berdesis, "Rio, Fabian apa Deva yang laporan sama lo?"

Beberapa waktu lalu, memang Sandra mengumpulkan formulir himpunan yang ditujukan pada Juna. Namun, berbeda dengan mahasiswa baru lainnya, foto yang di kumpulkan bersama formulir itu kelewat sensasional. Alih-alih, pas foto 3x4, Sandra mengumpulkan potret selfie dirinya, mengenakan blazer super ketat, dan bibir berlipstik merah menyala.

Arjuna sampai shock dibuatnya.

"Lumayan tau, dia kan jadi inceran anak teknik."

"Inceran laki-laki otak sampah kali maksud lo?" Saka hanya tertawa mendengar seloroh Juna.

"Tapi serius, ini apaan, kan bahaya kalo tau-tau ini narkoba atau semacamnya." Saja berceloteh, seraya membuka penutup kotak, namun gerakannya sontak terhenti ketika menemukan gambar berbingkai yang tergeletak di sana.

"Ini kan..."

"Hm, gue nggak bisa menyimpan barang-barang itu di rumah gue terus-menerus, kasihan kalo nyokap gue lihat."

Saka mengeluarkan jurnal cokelat Juna, lalu membuka lembarannya. Pada lembaran terakhir jurnal tersebut, terdapat foto seorang anak kecil, dengan sebaris kalimat di bawahnya.

Terima kasih telah bertahan begitu lama, pada rembulan, ku sampaikan rindu yang menggebu.

Tentang cinta, juga sedikit keputus asaan.

Istirahatlah yang tenang, karena kau terlalu sempurna untuk terluka.

Saka menghela napas, lantas meletakan kembali jurnal tersebut. Juna benar, Rembulan terlalu rikuh untuk terluka lebih dalam. Saka membongkar benda lainnya, lantas menemukan sebuah amplop besar, yang masih merekat penutupnya.

"Ini identitas mereka kan?"

Juna menoleh, lantas berdeham kecil. "Hm."

"Masih belum lo buka?"

"Buat apa? Bulan udah nggak ada."

"Memangnya lo nggak berniat mengunjungi makamnya?"

Juna tersenyum kecil, lalu meraih amplop tersebut dari tangan Saka,  meletakannya kembali ke dalam kotak. "Nggak usah, anak itu pasti marah-marah di sana kalau lihat gue nggak bisa jadi pilot."

"Bukan," kalimat Saka membuat Juna mengangkat kepalanya. "Bukan karena itu, tapi lo masih belum berani menghadapi kenyataan, kalau dia udah nggak ada."

Juna menggelengkan kepala. "Ingatan terakhir gue tentang Bulan adalah ketika dia sedang sekarat, itu lebih menyakitkan dari pada mengingat bahwa dia sudah tidak lagi tersentuh, tapi biar bagaimanapun Bulan berhak bahagia, takdir hanya kejam pada orang-orang yang masih bernapas."

Saka terdiam.

***

Malam sudah larut, tapi Kiana dan Dimas belum juga bisa pulang. Hujan yang mengguyur kota Jakarta menahan keduanya di pelataran sebuah ruko. Selain mereka, tidak ada lagi yang berteduh di sana.

Tangan Kiana terulur untuk menyentuh hujan, sesekali gadis itu menyirpratkan air ke arah wajah Dimas.

"Ki, basah ih!" Dimas menyentakan kepalanya, saat Kiana lagi-lagi memercikan air.

"Ih, Dimas, air ujan itu bagus tau, alami, berasal dari langit."

"Setiap pelajaran IPA lo cabut terus sih ke kantin, hujan itu terjadi karena panas matahari yang menyinari bumi menyebabkan penguapan hingga..." kalimat Dimas terputus karena telapak tangan Kiana yang terbentang di depan wajahnya.

"Nggak usah sok Einstein di depan gue, intinya air hujan itu alami, baik untuk kulit, nah lo kan item tuh, siapa tau aja gue siram air hujan jadi putihan dikit."

"Item-item gini juga lo sayang," celetukan itu meluncur begitu saja dari bibir Dimas, namun tidak ada kecanggungan setelahnya. Kiana justru terkekeh geli, menyetujui.

"Hehe, iya sih, lo doang soalnya yang rajin jajanin gue."

Kiana kembali melempar pandangannya pada hujan, senyumnya mengembang dan matanya tampak menerawang. Gadis itu tidak sadar, bahwa ada rasa yang menjalar dalam tubuh Dimas, bersamaan dengan senyum hangat Kiana.

"Gue pernah dengar, kalau hujan itu sebenarnya romantis," kata Kiana tanpa mengalihkan pandangannya. "Mereka tetap kembali, walaupun tau rasanya jatuh berkali-kali."

Tanpa sadar, tangan Dimas terulur, meraih telapak tangan Kiana yang sedang menangkap hujan. Kiana menoleh, menatap Dimas, tapi tetap tidak menyadari bahwa rangkuman tangan itu ada wujud dari keputus-asaan atas sebuah penantian, bahwa genggaman tangan Dimas merupakan sebuah usaha untuk menyampaikan sejumput perasaan.

"Bukan hujan yang romantis, tapi bumi yang terlalu cinta, karena bumi selalu menerima hujan kembali, sekalipun hujan datang dan pergi sesuka hati."

***

Malam itu, langit Jakarta menjadi saksi. Tentang tiga orang yang dinanti oleh lukanya masing-masing.

Dimas tidak tau, sampai kapan ia akan menunggu Kiana menyadari perasaannya, baginya terlalu dini untuk menyatakan, karena ia pun belum siap akan kehilangan. Namun, yang Dimas tau, ketika hujan mereda dan mereka kembali melaju di jalanan ibu kota, kepala Kiana yang bersandar di punggungnya, membuat Dimas berharap, ia mampu menghentikan waktu.

Seperti bintang, bulan dan matahari, kelak  ketiganya akan saling menyakiti, menghancurkan satu sama lain karena terlalu mencintai.

Kiana tidak terlelap, ia hanya meletakan kepalanya di punggung nyaman Adimas. Matanya tidak terpejam, justru bergerak acak menatap langit malam.

Hujan menelan bulan, juga bintang-bintang, tapi masih ada setitik cahaya yang tampak diantara pekatnya awan. Tersenyum, dalam hati ia berujar;

"Kan bener gue inget dia setiap ngeliat malam, kak Juna lagi apa ya?"

Mereka kelak akan jatuh berkali-kali, dihantam luka hingga pada akhirnya tidak mampu lagi berdiri.

Jauh dari tempat Kiana dan Dimas berteduh, Juna menatap sebuah jurnal berwarna biru langit, belum banyak goresan tinta di sana, hanya sebaris nama di halaman pertama.

Ia sudah memutuskan untuk kembali menulis jurnalnya. Namun, bukan lagi bercerita tentang kepedihan, karena seseorang telah masuk ke dalam hidupnya, perlahan membuatnya percaya; bahwa ia juga berhak bahagia.

Juna mengambil selembar foto Kiana yang baru saja ia cetak. Foto itu merupakan foto Kiana yang ia ambil diam-diam ketika mereka menanti hujan meteor.

Ditempelkannya foto itu di lembar kedua bukunya, lalu di tuliskan ya sebaris kalimat.

She's a miracle.

Hanya dua kata, namun mewakili segalanya, matanya beralih pada satu-satunya kenangan yang masih ia bawa. Selembar foto yang tersimpan manis dalam dompetnya.

Juna tersenyum menatap sosok-sosok di sana, lalu berujar dengan nada rendah.

"Jangan khawatir, Langit akan bahagia."

----

A/n: Hi! Yay bisa update, gue nulis if only sekarang kayak tahu bulat yang digoreng dadakan soalnya, nggak pake stock :( wkwk
Di mulmed ada moodboardnya Juna. Maap yang nggak suka Korea, kalian bebas kok membayangkan seperti aapa sosok Juna, Kiana dan Dimas, tapi kalo bayangan gue sih itu.
Yaudahlah, intinya suka ya, anyway, main tebak-tebakan yuk, di akhir cerita Kiana jadi sama siapa?

Dimas?

Atau...

Juna?

Aku tunggu jawabannya, siapa tau bisa jadi pertimbangan untuk endingnya muehehe

Semoga suka.

Aku syg kalian,

Naya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro