Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu

"Kamu pasti tidak akan percaya dengan berita ini."

Marrisa nyaris menumpahkan tehnya ketika Kania masuk ke bilik ruang kerjanya begitu mendadak. Seakan tidak menyadari kesalahannya, Kania mengguncangkan bahu Marrisa. Matanya mengerling bersemangat.

"Nia, sudah kubilang jutaan kali, datanglah dengan tenang. Lagipula, kita tidak boleh berbincang selama jam kantor. Kamu ingat aturannya, kan?" kata Marrisa sambil meletakkan cangkir tehnya di meja dan berfokus pada lembar kerjanya di komputer

"Aku sudah tak tahan," sahut Kania sambil menyingkirkan tumpukan kertas di lantai agar dirinya bisa duduk di sana. "Setelah ribuan purnama, Tuan Es telah kembali lagi. Aku sempat melihat mobilnya di restoran seafood lampu merah saat aku keluar makan siang. Oh, jangan melihatku dengan mencemooh begitu. Mobil McLaren itu hanya orang kaya yang punya. Siapa di daerah sini yang punya mobil itu, selain dirinya?"

Marrisa mengembuskan napas dan matanya tetap pada komputer. "Oke. Kamu benar soal mobil itu. Tapi, jangan memanggilnya dengan sebutan Tuan Es. Itu terdengar menyedihkan dan menggelikan."

"Dia memang menyedihkan dan menggelingkan. Meninggalkan seseorang begitu saja, tanpa kejelasan," kata Kania sambil memutar kedua bola matanya sebal. "Harusnya kita tidak bekerja pada orang jenis itu. Akhirnya, mungkin sekarang waktu yang tepat untuk kita bisa mencari pekerjaan lain, Ris."

"Jangan mengada-ada. Mencari pekerjaan itu susah," sahut Marrisa.

"Susah karena kita belum mencobanya lagi."

Marrisa berpaling ke Kania. "Kita pernah mencobanya dulu. Berkali-kali. Sebelum Richard datang dan menolong kita. Jadi, jangan memanggil dia Tuan Es lagi."

"Dia meninggalkan seorang perempuan tepat di hari pernikahannya. Tanpa perasaan bersalah dan menghilang bagai ditelan bumi. Nama itu layak bersanding dengannya," kata Kania lagi.

Marrisa mengembuskan napas resah. Tiga tahun lalu, pernikahan Richard menjadi sorotan. Diam-diam, hatinya hancur berkeping-keping.

Richard sangat tampan dan baik dengan menolongnya. Memberi pekerjaan dan membayarkan sewa rumah sebulan untuk dirinya dan Kania. Marrisa memujanya diam-diam. Ia berusaha selalu terlihat sebagai perempuan cerdas dan tangkas. Oh, tentu Richard sadar. Tapi, berita pernikahan itu tampaknya memperjelas kalau Richard tidak memperhitungkannya ke daftar 'perempuan yang layak dinikahi'.

Lalu, mendadak muncul kabar kalau Richard tidak hadir di acara pernikahannya sendiri. Setelah kejadian itu, harapan di dada Marrisa bersemi kembali. Ia masih memiliki kesempatan untuk mencintai seseorang yang belum menjadi pasangan siapa pun. Walau setelah kejadian itu, Richard pergi entah ke mana.

"Itu urusan pribadinya."

"Tapi, kita mengenal mempelai perempuannya. Bagaimana bisa hal itu tidak menjadi urusan kita?"

Marrisa bergeming. Ia dan Kania sama-sama mengenal mempelai perempuannya karena mereka pernah berada di satu panti asuhan yang sama. Rara. Nama perempuan pintar, pikir Marrisa. Meski Marrisa senang dengan kabar batalnya pernikahan, Marrisa tetap bersimpati dengan Rara.

"Karena kita tidak bisa menghakimi keputusan orang lain."

Kania berdiri dan mengambil cangkir teh Marrisa sambil menyeruputnya. "Jangan bilang kamu masih menyukai Tuan Es. Astaga. Sudah bertahun-tahun berlalu."

"Ya, itu benar," gumam Marrisa. Sudah bertahun-tahun berlalu dan perasaanya tidak berubah.

"Ya. Nggak heran kalau mukamu merah begitu aku memberitahu kembalinya Tuan Es," kata Kania sambil mengembalikan cangkir teh ke tempat semula. "Aku memberitahumu soal Tuan Es kembali supaya kita bisa sama-sama membuat surat pengunduran diri."

"Hidup kita sudah lebih baik sekarang. Aku dan kamu bahkan bisa menyisihkan gaji untuk menabung. Aku paham kegelisahanmu dan ingin turut pergi dari kantor ini selayaknya yang dilakukan Rara. Kamu bersimpati pada Rara. Oke, aku mengerti. Tapi, itu bukan urusan pribadi kita," jelas Marrisa panjang lebar.

Kania menggelengkan kepala dan bersiap pergi. "Bukan urusan kita atau kamu tidak ingin jauh dari Tuan Es? Oh, Risa. Kita berdua tahu apa yang dilakukan oleh Tuan Es ke Rara. Orang-orang seperti kita, tidak pernah cukup pantas bersanding dengan orang kaya."

Marrisa tidak suka pemikiran tersebut dan ingin menyangah. Sayangnya, Kania sudah beranjak pergi dan kembali ke biliknya di pojok ruangan. Ia memang anak panti asuhan. Jenis orang yang tidak tahu asal usulnya. Tapi, masih ada masa depan untuknya. Masa depan yang lebih baik. Mungkin maksud Kania, masa depan yang tidak ada Richard di dalamnya.

Ah, lebih baik aku makan siang, pikir Marrisa. Kania saja sudah makan siang lebih dahulu darinya. Sejak berita kembalinya Tuan Es, ia jadi tidak fokus pada pekerjaanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro