Dua
Saat pulang, Kania dan Marrisa sudah tak membahas hal di kantor tadi. Tapi, percakapan itu terus mengganjal di benak Marrisa bahkan ketika waktu tidur malamnya tiba. Ia berbaring di dipan dan menatap langit-langit kamarnya yang muram.
Sudah sering Kania mengeluhkan ingin resign. Marrisa selalu mencegah karena hasratnya berhenti kerja didorong oleh simpati oleh Rara. Marrisa tahu, Kania bahkan belum mencoba melamar ke perusahaan lain sebagai cadangan jika nanti keluar.
Marrisa sudah mendengar ratusan cerita, betapa Kania dan Rara begitu dekat. Mereka sering bersama di panti asuhan. Lalu, Marrisa baru datang ketika Rara sudah mendapat orangtua asuh. Hubungan mereka jadi tidak terlalu akrab karena hanya berkenalan secara singkat. Sejak Rara pergi dari panti asuhan, Marrisa yang bersama Kania hingga dewasa.
Ketika mereka merasa menjadi kupu-kupu yang siap terbang bebas, Marrisa dan Kania mencoba melamar pekerjaan. Tidak mudah. Apalagi mereka tidak memiliki pengalaman bekerja sebelumnya. Sampai di perusahaan yang Richard pimpin.
"Saya melihat potensi dalam diri kalian, serta tekad untuk berkembang," kata Richard saat pertama kali bertemu di wawancara yang menggelisahkan. "Kalian bisa bekerja di bagian data entry dan saya akan mengamati perkembangan kalian."
Marrisa ingin menangis bersyukur detik itu juga. Ia tidak pernah mendengar kata-kata seindah itu. Marrisa sendiri tidak pernah tahu bagaimana Richard menilai dirinya sebagus tersebut. Sementara Kania tampak biasa saja, mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Setelah hari itu, Marrisa bertekad untuk bekerja keras. Ia membuktikan diri ke Richard bahwa ia memang orang yang sebagus tersebut. Marrisa ingin atasannya bangga pada dirinya.
"Saya bangga pada progressmu," kata Richard saat mereka bertemu di pantry.
Richard memang tidak menjelaskan lebih detail, tapi Marrisa berbangga hati karena diperhatikan. Walau perhatian itu lama-lama dikikis waktu. Atau perhatian itu dialihkan ke Rara.
Begitulah yang terjadi jika menyukai seseorang diam-diam, batin Marrisa sambil menghela napas lelah. Richard sangat berjasa di kehidupannya. Ia menarik dirinya dari tempurung panti asuhan. Serta membantunya menggeliat keluar dari kepompong untuk terbang serupa kupu-kupu.
Sedanngkan bagi Kania, kebaikan itu sudah tercemar dengan yang dilakukan Richard ke Rara. Walau Marrisa berulang kali memberitahunya untuk tidak mencampur adukkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Sekarang, Richard kembali lagi. Cerita ia meninggalkan pernikahannya sendiri sudah digilas zaman dan mungkin sudah dilupakan oleh orang-orang.
Marrisa menarik selimutnya hingga dagu. Kedatangan Richard kembali pasti membuat hari Seninnya lebih berwarna lagi. Walau itu artinya ia harus mendengar keluhan Kania untuk resign.
Kania harus belajar menerimanya, pikir Marrisa muram. Tidak ada yang bisa memaksakan perasaan orang lain. Mungkin Richard belum siap. Dan siapa Kania sampai berani menghakimi pilihan hidup lelaki tersebut? Ah, Kania.
Marrisa menenguk ludah susah payah. Wajah seperti apa yang akan ia berikan nanti saat bertemu? Sikap seperti apa yang harus ditunjukannya setelah sekian tahun berjarak? Ah, ia bukan siapa-siapa. Walau dalam hati kecilnya, Marrisa ingin Richard mengenalnya.
Pemikiran itu mengantarkan Marrisa tertidur pulas. Ia baru bangun di keesokan paginya karena dering telepon yang mengejutkan. Dengan terkantuk-kantuk, Marrisa langsung mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat namanya. Siapa yang menelpon di Sabtu pagi?
"Saya bertemu temanmu di Journey Kafe. Kami nyaris bertabrakan di pintu dan dia seolah ingin menumpahkan seluruh isi gelasnya ke kemeja biru saya. Apa Kania perlu memakai kacamata agar dari dalam kafe, dia bisa melihat saya sedang berjalan masuk?"
Marrisa langsung beranjak duduk. Suara itu begitu familier. Ia yakin tidak salah mendengar. Tentu saja Marrisa membayangkan percakapan di telepon seperti ini, tapi tidak dengan topik percakapan masalah begini. Walau bertahun-tahun bekerja, tak sekali pun mereka berbincang di telepon. Bahkan Marrisa sengaja tak menyimpan nomornya agar tidak terdorong rasa ingin menghubungi lebih dulu.
"Pak Richard?" tanya Marrisa tanpa menahan keterkejutannya.
"Menurutmu siapa lagi?"
"Oh," kata Marrisa sambil menutup mulutnya. "Pak, saya minta maaf dengan yang dilakukan Kania. Saya juga tidak tahu dia sudah keluar ke kafe di pagi hari ini."
"Mungkin sebaiknya kamu mulai memerhatikannya. Bukankah dulu kalian selalu bersama ke mana pun?"
Marrisa meringgis. "Ada momen kami bersama. Ada saat kami lebih senang jalan-jalan sendiri."
"Oke," sahut Richard singkat. "Dan ketika saya memberitahunya soal memerhatikan langkah saat berjalan. Kania bilang, mungkin tak lama, saya tidak perlu lagi merasa terbebani secara moral oleh kehadiran kalian di kantor. Apa maskudnya? Kalian mau pindah kota?"
Marrisa langsung memijit pelipisnya. Andai pikiran Kania bisa disaring dulu sebelum dikatakan. Saat temannya itu kembali, mungkin Marrisa harus menengurnya lagi.
"Saya pikir, dia cuma salah bicara," dusta Marrisa. "Kadang-kadang, Kania asal ngomong saja."
"Secara teknis, saya tidak merasa terbebani oleh keberadaan kalian di kantor. Kerja kalian bagus dan hal itu membantu."
Marrisa tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya. "Bapak melihat progress kerja kami?"
"Pertanyaan retoris."
Marrisa memejamkan mata. "Maaf, Pak."
"Saya punya pertanyaan yang sama anehnya dengan pertanyaanmu," sahut Richard.
"Pertanyaan apa, Pak? Kalau soal Kania, Pak Richard tidak perlu khawatir, saya akan memberitahunya untuk hati-hati dan—"
"Bagaimana kalau kita makan siang hari ini?" potong Richard langsung.
Untuk pertama kali di hidupnya, Marrisa merasa waktu berhenti berputar. Ia menggaruk telinganya. Yakin tak salah mendengar. Marrisa menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap benda itu seolah percakapan tadi tidak nyata. Tapi, detik waktu menelpon itu terus bergerak.
"Halo?"
Marrisa buru-buru mendekatkan ponsel itu ke telingannya lagi. Ia berusaha mengontrol dirinya. "Tapi, Bapak atasan saya."
"Ya, dan kamu karyawan saya. Astaga. Ini hanya makan siang biasa. Proyek yang dipimpin Riko berhasil. Riko bilang, kamu banyak membantu mereka dengan membelikan kopi. Sebagai gantinya, saya ingin membelikanmu kopi juga."
Oh, Marrisa mengerti. Proyek Riko sudah berbulan-bulan lalu, mereka merancang iklan yang menarik dan mencoba jauh dari kata membosankan. Semua bekerja keras. Marrisa tergelitik untuk sesekali membelikan mereka kopi dan donat saat Riko dan karyawan lain lembur.
Marrisa menganggap hal itu biasa. Tapi ia tak percaya, efeknya bisa luar biasa. Bahkan Richard saja bisa mengetahui hal remeh seperti itu.
"Tapi, bukankah harusnya Bapak merayakannya dengan tim Riko?"
"Ya. Kami sudah merayakannya di restoran seafood dekat lampu merah, dan tanpa kamu. Saya ingin yang terlibat di proyeknya mendapatkan reward. Ya ampun, apa begitu sulit untuk sekadar makan siang?"
Kania pasti tidak suka gagasan ini, pikir Marrisa. Tapi, ini juga kesempatan emas untuk dekat dengan seseorang yang ia sukai. Marrisa tidak pernah memimpikan akan makan siang dengan Richard. Karena rasanya hampir mustahil. Sekarang, kesempatan itu ada dan Marrisa harusnya senang.
Tapi yang keluar dari mulut Marrisa justru kontradiksi dengan batinnya. "Saya khawatir orang-orang akan menggosipkan kita, Pak. Apalagi kita hanya makan siang berdua."
"Apa kamu cuma cari alasan-alasan untuk menolak? Apa karena kamu sudah berpacaran, jadi mencoba menjaga perasaan orang lain?"
Pipi Marrisa memerah tanpa bisa ia cegah. "Tidak. Saya belum pernah berpacaran."
"Bagus. Itu artinya kamu tidak perlu khawatir. Tolong kirim alamat rumahmu dan saya akan jemput jam 11 nanti," katanya singkat.
Sebelum Marrisa sempat menyanggah, hubungan telepon sudah terputus. Ia menatap ponselnya takjub seolah ia mendengar Richard mengatakannya secara langsung. Marrisa tidak benar-benar mengenal atasannya sendiri karena terlalu malu untuk mendekat.
Namun, sekarang tidak ada jalan berputar untuk mundur. Ini hanya makan siang sejenak. Meski Marrisa berdebar luar biasa dan ia membanting lagi tubuhnya ke dipan dengan senyum terulas. Ia akan makan siang dengan Richard.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro