Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mahkota

ketika aku memutuskan untuk berjuang, taruhannya hanya dua, yaitu; keberuntungan bahwa aku tidak jatuh cinta sendirian, Atau hati yang siap untuk dipatahkan.

👑

Hujan deras mengguyur ibu kota malam ini. Jizca sampai di rumah dengan selamat tanpa lecet sedikitpun meski Devin ngebut tidak tahu malu bahwa dirinya sedang membawa nyawa seorang gadis dibelakangnya.

Ponselnya berbunyi ketika Jizca menyisir rambut. Dengan cepat ia mengambilnya. Notifikasi yang muncul menandakan sebuah pesan masuk,

Bella: Ayayayayayayyy!  Jadian lo sama Devin?

Jizca mengerutkan keningnya ketika membaca pesan tersebut.

Ia kemudian menekan ikon hijau pada kontak Bella. Berniat menanyakan apa maksudnya. Tak lama setelah nada tutt... Yang membosankan, panggilannya terhubung.

***

Bella kembali melirik layar ponselnya ketika layarnya memperlihatkan panggilan masuk. Kopi yang semula akan di teguk kini ia urungkan. Setelah menekan tombol untuk menerima telepon, kini ponsel tipis miliknya sudah berada di telinga.

Apaan sih Bel ah! Lo gak cocok jadi cenayang! itu kalimat yang pertama kali Jizca ucapkan ketika panggilannya terhubung.

Bella terkekeh pelan, "cowok lo yang bilang." Ia mengangkat cangkir kopinya.

Apa?  Lo bercanda kan? 

"Ah Vin masa lo dibilang bercanda?" Jizca mendengar ada suara sesuatu yang di tepuk cukup keras, mungkin bahu seseorang.

Devin yang kala itu menemani Bella minum kopi kini sedikit terkekeh. Ralat, Devin yang meminta Bella menemaninya minum kopi.

"Gue kan bilangnya calon Bel," timpal Devin.

"Ohh masih di gantung ya? Kasian!" ucap Bella dengan nada mengejek.

"Jangan mau Ca, Devin suka bercanda!" lanjut Bella pada Jizca yang masih setia di sebrang telpon.

Hehe iya, gue juga belum mau kok.

Devin menarik ponsel yang kini ada di genggaman Bella secara paksa. Bella meringis tat kala tangannya ditarik, dan ponsel yang semula ia pegang sekarang ada pada Devin.

"Mau engga?" ucap Devin dengan suara bas khasnya.

Jizca membulatkan mata, dengan cepat ia memutuskan sambungan telpon tersebut.

"Ahh! Lagi-lagi jantung gue kaya gini!" protes Jizca yang kini memegang dadanya.

Tak lama, sebuah panggilan kembali masuk, bukan dari Bella, tapi Devin.

Jizca memejamkan mata kemudian menarik napas panjang, setelah itu ia menekan ikon hijau.

"Iya gue mau!" ucap Jizca cepat setelah menerima panggilan tersebut.

Tutt... Tut... Tut...

Jizca melirik ponsel yang panggilannya Devin putuskan secara sepihak. Ia mengerutkan keningnya sekarang,

"Apa gue salah ngomong?" tanya Jizca pada dirinya.

Devin tersenyum samar mendapati jawaban gadis itu. Telponnya sengaja ia tutup, karena kini ponsel itu ia masukan kedalam saku. Jaketnya ia pakai dan kunci motornya ia keluarkan.

"Thanks Bell udah temenin ngopi!" Devin bangkit kemudian bergegas keluar kafe, menderukan mesin motornya dan melaju dengan cepat menembus derasnya hujan.

Sementara Bella dengan wajah bingungnya masih duduk manis dengan secangkir kopi yang menemani di atas meja.

***

"Lo jadian sama Devin?" tanya Revan ketika mereka sampai di parkiran sekolah.

"Ah gak tau, Jey gak ngerti Bang, kenapa emangnya? "

"Gak apa-apa sih, asal nilai belajar lo gak turun aja, gue duluan ya, lo ntar balik sama Devin aja." Revan melambaikan tangannya.

Jizca melihat punggung abangnya menjauh menyusuri koridor gedung kelas 12. Ia pun ikut melangkah menjauh dari parkiran. Beberapa siswi berbisik ketika Jizca melewati mereka, tatapan sinis pun Jizca dapatkan pagi ini.

Gak tau diri sih ya, deket sama Kak Revan kok sekarang jadian sama Devin anak basket!

Cehotehan itu tepat menusuk pendengaran Jizca, ia geram, kenapa cewek-cewek itu? Apa yang salah jika ia dekat dengan Revan? Toh itu abangnya. Apa yang salah jika ia menjadi pacar Devin? Bukankah Devin juga mau Jizca menjadi pacarnya.

Jizca menaiki setiap anak tangga dengan lunglai. Tas yang ia gendong kini memberat entah karena apa, ia semakin sulit berjalan dan memutuskan melihat ke belakang.

Ada sebuah paku yang tertancap di dinding dan mengait pada tas, pikir Jizca pada awalnya. Namun pikirannya salah, sebuah tangan yang sengaja menahan tas nya agar menjadi berat kini terlihat. Ia mendongak untuk melihat pemilik tas tersebut.

"Ahh Bell! Ngapain sih?" ucap Jizca kemudian mendapat cengiran dari gadis itu.

"Tungguin!" Bella menyamai langkah Jizca.

"Ini dari Devin, dia gak masuk hari ini!" Bella menyodorkan paper bag kecil berwarna coklat dengan satu gambar teddy bear di tengahnya.

"Hmm, thanks! Tapi Bel, kenapa dia gak masuk?"

"Semalem tuh pas kita telponan ujan kan, gak tau deh dia ninggalin gue di kafe, mungkin mau beli itu." Bella menunjuk paper bag dengan dagunya.

Jizca menganggukan kepalanya pelan.

"Lo mau jenguk?" tanya Bella setelah mereka sampai di kelas.

"Boleh?"

"Ya boleh lah!" Bella terkekeh di akhir kalimatnya.

Jizca tersenyum sedikit,  kenapa ia merasa bersalah saat tau Devin sakit gara-gara hujan-hujanan karena membelikannya sesuatu yang belum ia ketahui apa isinya.

Ponsel Jizca bergetar ketika bel pulang selesai berbunyi. Sebuah pop up chat masuk.

Devin: enggak usah jenguk, gue baik-baik aja. Besok juga masuk.

Jizca mengerutkan keningnya.

"Lo ngasih tau Devin kalo gue mau ke rumah?" tanya Jizca kemudian merapikan bangkunya.

Bella mengangguk, "kenapa? Dia bilang gak usah ya?"

"Iya," ucap Jizca lesu.

"Lo ke rumah gue aja yuk! Gue bawa motor, jangan bete gitu dong ah!" Bella merangkul Jizca yang kini memerhatikannya dari atas sampai bawah.

"Boleh deh!" Jizca menerima penawaran sahabatnya itu.

Jalanan cukup ramai, terik matahari seakan membakar kulit. Bella beberapa kali membunyikan klakson agar kendaraan di depannya cepat melaju karena lampu merah sudah berganti hijau.

"Masih jauh Bel?" tanya Jizca kemudian mengelap keringat di dahinya.

"Bentar lagi, belokan komplek itu dikit lagi kok," ucapnya.

Tak lama setelah percakapan itu, Bella memberhentikan motornya di depan sebuah rumah bergaya klasik dengan nuansa Roman, banyak pilar-pilar berwarna putih tulang menjulang menopang bangunan diatasnya. Bella menyalakan klakson, dan tak lama seorang wanita paruh baya dengan daster berwarna jingga keluar. Sebuah lap piring tersampir di bahu kanannya.

Bella memasukan motor setelah gerbang rumahnya terbuka.

"Masuk!" ucap Bella setelah membuka sepatunya. Jizca melakukan hal yang sama, ia membuka sepatunya kemudian mengikuti Bella memasuki rumah yang bisa ia bilang 'mewah' itu.

"Duduk Ca! Gue ambilin minum!"

Jizca menurutinya, ia melihat banyak lukisan dan foto yang terpasang di dinding. Jizca kemudian tertarik untuk melihat sebuah foto yang berada di atas meja. Bingkainya berwarna putih dengan kaligrafi tulisan "my shoulder" berwarna hitam. Disana berdiri seorang gadis SMP dan seorang cowok SMP yang memakai seragam yang sama.

Jizca tersenyum kecil melihat Devin dan Bella yang terlihat sangat akrab. Devin memegang kepala Bella, sementara Bella mencebikkan bibirnya.

"CURUT LO NGAPAIN DISINI! NGABISIN MAKANAN GUE! KELUARRRR!" teriak Bella yang langsung membuat Jizca menyimpan kembali foto tersebut ke atas meja.

Seseorang dari arah dapur berlari seraya terkekeh. Langkahnya terhenti ketika mendapati Jizca sedang duduk di sofa dengan ekspresi khas orang kebingungan.

"Jey?" tanya Devin kemudian menghampiri Jizca.

"Ha- hai!" ucap Jizca kaku.

Devin kemudian duduk di sofa yang sama. Samping Jizca.

"Udah sembuh?" tanya Jizca melihat keadaan Devin yang sangat baik.

"Gue gak sakit kok, males aja sekolah terus."

Jizca menganggukan kepalanya.

"Ah iya, makasih ya gift nya!" Jizca teringat paper bag yang belum sempat ia buka itu.

"Udah diliat?" Devin mengambil toples kacang diatas meja.

"Belum, nanti aja."

Devin menganggukan kepalanya. Bella datang dengan dua gelas minuman dingin juga camilan yang menghiasi nampan yang ia bawa.

"Gak tau malu lo!" celoteh Bella pada Devin kemudian duduk di depan mereka.

Jizca tersenyum.

"Yaudah gue balik deh," ucap Devin seraya bangkit dari duduknya.

"Sana balik sana!" jawab Bella ketus.

"Mau ikut Jey?" tanya Devin melirik gadis itu.

"Jangan ih!" protes Bella.

"Ah ayo ikut!" Devin menarik lengan Jizca,

"Eh, gue disini aja sama Bella!" Jizca masih memandangi tangannya yang di tuntun Devin.

"Jangan, Bella suka gigit orang, udah ayo ikut aja ke rumah, niatnya mau jenguk gue kan?" Devin tersenyum miring melihat ekspresi kesal Bella.

"Kapan-kapan gue main ke rumah lo Bell!" ucap Jizca setelah tangannya ditarik lebih jauh, bahkan Jizca belum sempat memakai sepatunya. Ia mengenakan sendal yang entah milik siapa.

"Vin?" panggil Jizca pelan.

"Ya?" Devin mengeluarkan kunci gerbang rumah dari sakunya kemudian membuka gembok pagar tersebut.

"Emang Bella suka gigit ya?" tanya Jizca penasaran.

Devin terkekeh pelan, "iya, lo juga bakal, gue juga suka!" Devin membuka gerbangnya kemudian mempersilahkan Jizca masuk terlebih dahulu.

"Gue? Engga," ucap Jizca bingung.

"Lupain Jey," Devin tersenyum kemudian mengacak rambut Jizca. Semburat merah di pipi gadis itu kini muncul.

Sebersit pertanyaan kini melintas di benak Jizca.

Apa Devin memintanya menjadi pacar karena memang ingin mengetahui siapa yang sering meneror hubungannya, atau ada hal lain seperti; memiliki rasa yang lebih pada Jizca?

Jizca mengira-ngira dan sangat berharap, bahwa pilihan kedua lah yang benar.

ketika aku memutuskan untuk berjuang, taruhannya hanya dua, yaitu; keberuntungan bahwa aku tidak jatuh cinta sendirian, Atau hati yang siap untuk dipatahkan. ' batin Jizca

👑

Hehe up nih ya!!

Ohiya,  aku bakal nge-keep dulu cerita After "us"!  Karena mau tamatin dulu cerita ini, mungkin yang follow instagram aku udah tau ya.

Dan nanti aku ada niatan bakal bagi-bagi giftaway, horrayyyy!   caranya gampang, follow aja Instagram aku, nanti aku bikini snapgram pertanyaan ringan, kalian bisa jawab di dm, yang beruntung bisa dapet mug lucu dari akuu..!  Lumayan kan hehe.

Tapi itu nanti, insyaallah awal bulan deh, kalian bisa mulai follow ig aku dari sekarang ya ; bellaanjni

What do u think about this chapter?

Bellaanjni

Bandung, 14 April 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro