41. Move
"Terkadang, tidak semua hal bisa diatur sekehendaknya, ada hal diluar nalar yang tidak bisa ditebak, diprediksi, maupun diramal. Salah satunya ya.., terlanjur jatuh dengan resiko mencinta."
❇
"Oh, gue kira, gue aja yang deg-degan kalo deket lo, ternyata Bella juga?" ucap seorang cewek dibelakang mereka, nadanya datar acuh. Namun, rasa cemburu jelas terselip dari ucapannya.
"Jey? hai!" ucap Devin ragu, "lo dari tadi? Kenapa enggak gabung aja?" tanya Devin menghilangkan sedikit kegugupan.
Jizca tersenyum tipis, "takut ganggu!" ucap Jizca masih dengan senyumnya, kemudian ia melangkah menuju kelas melewati mereka, Jizca merasa oksigen di tempat ini menipis, karena kini ia hanya merasakan sesak di dadanya.
Bella menatap Devin yang sama sekali terlihat tidak bersalah, sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Untuk apa Devin merasa bersalah? Toh semua yang dilakukannya tidak ada yang salah, mungkin ada, namun hanya 'sedikit'.
Gadis itu menyusul langkah Jizca yang sudah terlebih dahulu masuk kelas, bahkan kini Jizca sudah duduk rapi, memainkan ponsel dengan sebelah earphone terpasang di telinga kirinya.
"Jey! Jangan marah, serius gue ga-"
"Shut up Bell!" Jizca memotong pembicaraan gadis yang kini duduk disampingnya. "Gue gak marah, gue gak ada hak marah, hari ini gue mau minta putus, tenang aja." Jizca kemudian menyumpal telinga kanannya dengan sebelah earphone lagi.
Bella menatap Jizca nanar, ia menengelamkan kepala diatas tangannya di meja. Rasa bersalah kini menyelimuti Bella, namun, memangnya salah kalau dirinya merasakan sesuatu yang aneh ketika bersama Devin? Bella tidak bisa mengatur semua sekehendaknya, ada hal diluar nalar yang tidak bisa ditebak, diprediksi, maupun diramal. Salah satunya, jatuh cinta.
Jizca bangkit dari duduknya kemudian ia pergi keluar kelas, menuju rooftop dan membiarkan angin menembus pori-porinya, menerbangkan rambut didepan wajah dan menenangkan pikirannya.
Ia bosan dan ia malas menuju kelas, akhirnya yang ia lakukan hanyalah duduk-duduk manis seraya mendengarkan musik. Menghabiskan sisa-sisa waktu bolos untuk pertama kalinya.
Ia memandang langit, biru, luas, tidak terjangkau dan memiliki banyak misteri. Jizca tau, banyak orang yang terkadang tidak dapat menjangkau sesuatu atau memecahkan misteri. Ada yang menyerah, ada pula yang terus mengejar. Dan sekarang ia bingung untuk memilih opsi pertama atau opsi kedua.
Terkadang ia merasa seperti angin yang terus mengejar. Sementara Devin hanya sebuah batu yang tidak bergerak. Seberapa kencang angin itu terus mengejar, jika batunya tidak bergerak, maka semuanya percuma. Atau bisa jadi, angin itu terlalu kencang mengejar, sehingga batunya hilang terhempas entah kemana.
Jizca melupakan teori tentang angin dan batunya, itu terlalu berbelit dan sedikit sulit dicerna otaknya. Bel pulang berbunyi, ia menunggu sedikit lebih lama untuk masuk kelas, karena tasnya masih tertinggal disana. Setelah dirasa cukup, ia kembali ke kelas, pintu kelas tertutup rapat.
Dengan pelan, Jizca membuka pintu tersebut, ia sedikit kaget ketika melihat seorang di dalam kelasnya, ia mencoba mengabaikan gadis itu, gadis yang duduk di sebelah bangkunya. Gadis itu menenggelamkan kepala diatas tangannya, mungkin ia tertidur dan Jizca mencoba tidak peduli.
Ia mengambil tasnya tidak bersuara, kemudian melihat Bella yang masih setia pada posisinya. Ketika akan berbalik, kursi Jizca bergeser, menimbulkan suara derit yang cukup keras karena suasana hening yang ada.
Bella mengangkat kepalanya dan pipinya basah. Matanya memerah dan sedikit sembab.
Bella nangis? Batin Jizca.
Ia menatap Bella beberapa saat, sebelum memutuskan untuk melangkahkan kakinya lagi.
Bella mengusap pipinya yang basah kemudian ikut bangkit, menahan lengan Jizca yang hendak keluar.
"Don't touch me!" Jizca melepaskan tangannya yang cekal dari Bella.
"Jey please, gue tanya sama lo! Emang salah gue disini apa sih? Lo gak harus marah kaya gitu, lo bikin gue merasa bersalah tanpa gue tau dimana letak kesalahan yang gue buat!"
"Emangnya gue bilang punya masalah sama lo?" ucap Jizca datar,
"Lo gak bilang, tapi sikap lo yang nunjukin!"
"Sorry, gue gak ada waktu buat bahas yang kaya gini!" Jizca berbalik dan kembali melangkahkan kakinya.
"Jizca! Kalau gue salah, okay gue minta maaf, tapi kasih tau letak kesalahan gue dimana!"
"Lo gak salah Bel! Gue yang salah, gue yang udah masuk di kehidupan kalian! Gue yang harusnya sadar kalau Devin itu emang sayangnya sama lo! Gue orang yang gak tau diri, yang coba buat misahin Romeo sama Julietnya!" demi apapun itu, hati Jizca terasa sesak kini, ia membuka pintu kelas, dan bertepatan dengan itu, ia menemukan Devin sedang berdiri di samping pintu, menyenderkan punggungnya ke tembok dengan tangan yang ia masukan ke dalam saku celana seragamnya.
Tanpa melirik untuk kedua kalinya, Jizca melangkah dengan cepat, bahkan hampir berlari.
"Lo ngapain nangis?" tanya Devin menaikan sebelah alisnya. Devin paling tidak suka melihat perempuan menangis.
"Lo gak ngejar Jizca?" tanya Bella mengabaikan pertanyaan sebelumnya.
"Ah ngapain, dianya lagi panas, nanti aja kalo udah dingin," jawab Devin seadanya, karena ia sadar sesuatu yang dilakukan dengan emosi itu tidak akan baik ujungnya.
"Gini deh, lo pasti ada sesuatu yang mau diomongin kan? Makannya minta gue temenin makan?" tanya Bella seraya berjalan beriringan menyusuri koridor.
"Pinter!" ucap Devin kemudian menacak rambut Bella, dengan cepat gadis itu menepisnya.
"Apa?" tanya Bella penasaran.
"Lo pernah liat Jizca dapet surat?"
Bella terdiam sejenak,"ah iya pernah!" ia kemudian melanjutkan langkahnya.
"Kok lo gak bilang ke gue?"
"Emm, soalnya waktu itu kalian belum pacaran," Bella menjawab seingatnya.
"Kok bisa?"
"Ya mana gue tau!" Bella mengedikan bahu.
Devin sempat mematung, kemudian kembali berjalan. Tidak banyak informasi yang ia dapatkan dari Bella, yang ada kini ia harus memikirkan cara meluluhkan hati Jizca yang sedang meluap karenanya.
"Gue gak jadi latihan deh! Cabut ya! Bye Bell!" Devin memutar balik tubuhnya, padahal sebelumnya ia sudah berada tepat di lorong menuju lapangan basket.
"Eh kutil besok kita tanding! Lo mau main gak?" teriak Bella.
Devin hanya menaikan jempolnya tanpa melirik kembali gadis itu, sementara Bella sedikit berdecak kesal.
Ia menyalakan mesin motor kemudian melaju dengan kecepatan sedang, disela lampu merah, ia melihat kafe yang tidak jauh dari sekolah. Devin memicingkan mata untuk memperjelas penglihatannya, postur tubuh yang dilihatnya sama persis dengan cewek yang kini sedang memenuhi pikirannya.
Penasaran, Devin menyisikan motornya dan parkir di kafe tersebut. Ia masuk dan dugaannya benar, cewek yang dilihat dan ditujunya merupakan cewek yang sama. Cewek itu mengaduk mangkuk eskrim dengan tidak minat, bibirnya dikerucutkan, sementara Devin dengan tidak tahu dirinya langsung duduk dihadapan dan mengambil sendok eskrim yang dipegang cewek itu.
"Gue lagi nyari kucing!" ucap Devin kemudian memakan eskrim yang mulai mencair,
Cewek itu hanya memutar bola matanya jenuh. "Ketemu kucingnya?" tanyanya tidak minat namun penasaran.
"Enggak, gue nemu yang lebih dari kucing!" jawab Devin.
"Apa?" tanya cewek itu masih dengan nada ketus.
"Gue nemu pacar disini!" Devin tersenyum, kelewat ganteng.
Ya tuhan! Mana bisa gue marah! Ancur pertahanan gue!
"Apasih Receh!" ucap Jizca menyodorkan mangkuk eskrim yang hampir habis dimakan Devin.
"Gak apa-apa receh, udah langka, banyak yang nyari!" ucap Devin memerhatikan wajah Jizca yang mulai menjinak.
"Tapi murah!" tandas Jizca ketus.
"Iya juga ya? Gak jadi receh deh!" Devin menopang dagunya dengan kedua tangan.
"Terus jadi apa?"
"Jadi Devin aja, udah titik."
"Kenapa mau jadi Devin? kenapa ga tetep jadi receh aja? Devin kan gatau diri!" ucap Jizca sedikit sarkas.
"Soalnya Devin bisa jadi pacarnya Jizca, kalau receh kan enggak," Devin sedikit terkekeh di akhir kalimatnya.
"Udah ah gue ilfil sama diri gue yang kaya gitu!" ucap Devin meraih tangan Jizca dan meremasnya.
Jizca tidak bisa menahan senyumnya, "gue gak ilfil kok liat Devin yang receh dan gombal kaya tadi, kecuali kalo kaya gitunya ke cewek lain!" lagi-lagi Jizca menyindir cowok itu.
"Cemburu ya?" tembak Devin melihat gelagat dan ucapan gadis didepannya.
Jizca memutar bola matanya, tidak menjawab.
"Gapapa kali, cewek kalau cemburu itu keliatan. Gue juga sering cemburu, tapi gak pernah keliatan kan? Terbukti, selama inituh anggapan kalau cowok gak peka itu salah, yang ada cewek yang gak peka. Tapi aneh, semuanya cowok yang disalahin, iya ga?"
"Udah kodratnya cewek itu selalu benar!" jawab Jizca sengit.
"Salah, kodratnya itu cewek selalu ingin menang, meskipun enggak benar!" ralat Devin.
"Tapi gak apa-apa, gue suka liat cewek menang, meskipun sedikit menyalahi aturan. Karena seenggaknya kalau mereka menang, mereka bakal ketawa dan gak akan nangis kan? gue gak suka liat cewe nangis." lanjut Devin.
"Masa? Kalau gue nangis sekarang, mau lo apain?" tanya Jizca penasaran.
"Ya, mau gue peluk, terus bawa pulang,"
Jizca mengedikan bahunya ngeri, "yaudah gak jadi nangis!" Jizca tersenyum.
"Tetep aja, kalo lo senyum kaya gitu, lo lebih bahaya!" nadanya mengancam jahil.
"Dah ah males! Gue balik!" Jizca beranjak dari posisinya, sementara Devin masih duduk memerhatikan cewek itu.
Jizca melangkah perlahan, berharap Devin menyusulnya, namun Devin tidak kunjung menyusul. Ia memutar balik tubuhnya, "lo gak akan susul gue?" tanya Jizca dengan jarak cukup jauh.
"Mau gue susul?" Devin menaikan sebelah alisnya.
"Bodo amat!" Jizca menghentakan kakinya, kemudian berjalan cepat.
Devin menggeleng pelan kemudian menggigit bibir bawahnya, menahan seringai. Ia tak habis pikir dengan pola pikir cewek, terlalu rumit, berbelit, dengan gengsinya yang
selangit.
❇
TBC!!
Banyak partnyaa!!
Follow ig queen; bellaanjni
Follback? Dm aja!
Buat ending pilih mana?
Happy
Or
Sad?
Sebutin alesannya, karena itu bakal jadi penentu! Tencuu♥
Bellaanjni
Bandung, 24 Mei 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro