34.
Jizca melihat Devin dan Natasha yang menghampiri seorang pria paruh baya dengan setelan jas yang tidak jauh berbeda dengan yang dipakai tamu lainnya, sesaat setelah itu, bunyi piring pecah langsung membuat suasana ruangan menjadi hening.
Semua oramg yang berada di dalam ruangan menatap ke sumber suara, tangan Devin terkepal dan rahangnya mengeras, ia melangkah menuju ruang belakang. Orang-orang yang menghalanginya memberikan jalan, sampai suara pantopel yang dikenakannya terasa menggema di ruangan. Setelah Devin menghilang dari pandangan kini semuanya menatap Natasha dan seorang pria di hadapannya. Natasha tersenyum kecut dan mengisyaratkan homeband untuk kembali menyalakan permainan musiknya dan mengambil alih perhatian tamu.
Musik dinyalakan, dan semua perhatian kembali pada aktivitas sebelumnya. Natasha menyusul Devin dengan langkah yang cepat. Ia masuk ke dalam dan melihat Devin yang sedang terduduk dengan dahi yang ia topang menggunakan kedua tangannya.
Jizca sempat memucat ketika dengan sengaja, Devin melemparkan gelas berisi minuman yang sedang ia pegang. Sebelumnya, Jizca tidak pernah melihat Devin dengan emosi semeluap itu. Jizca masih mematung di tempatnya, di samping Devin ketika Natasha datang.
"Gue udah bilang! Jaga sikap lo!" bentak Natasha pada Devin,
Jizca melihat situasi yang mulai kacau, sebaiknya ia pergi, karena ini merupakan masalah keluarga dan merupakan privasi keluarganya.
"Saya permisi," ucap Jizca melangkahkan kakinya, namun saat itu juga langkahnya terhenti ketika Devin menahan lengannya.
"Gue udah coba jaga sikap! Gue benci dia! Semua hal yang dia lakuin, itu salah di mata gue! Karena dia emang salah!"
Pandangan Natasha kini memburam, setetes cairan bening nan hangat itu kini jatuh dipipinya. Devin mengusap wajahnya kasa, ia tidak suka melihat perempuan menangis, kemudian ia memeluk Natasha erat.
"Maafin gue, lain kali gue coba nurutin apa yang lo mau," ucap Devin kemudian mengurai pelukannya.
Devin menarik Jizca yang kini tertunduk, jizca ikut berkaca-kaca melihat Natasha. Devin membawa Jizca ke taman belakang dari gedung tersebut. Disana ada sebuah kursi cukup panjang yang dihadapannya terdapat kolam ikan dengan air mancur di tengahnya.
"Lo bisa cerita ke gue kalo mau." Jizca memulai pembicaraan, sementara yang diajak bicara justu masih diam tidak berucap sepatah katapun.
Jizca mengalihkan pandangan dari Devin ke kolam ikan, ia menatap kolamnya, namun pikirannya berkelana entah kemana.
"Lo tau apa keberuntungan terbesar manusia di dunia ini?" Devin mulai membuka suaranya.
"Emm..," Jizca berpikir memutar matanya, "bisa nemuin air ditengah luas dan panasnya gurun pasir?" tanya Jizca setelah otaknya mendapat jawaban entah dari mana.
"Salah, lebih dari nemu air diantara gurun pasir."
"Terus apa?" tanya Jizca antusias.
"Punya penopang ketika lo sedang ambruk seambruk-ambruknya, menurut gue itu hal yang paling beruntung, karena gak semua orang punya itu!" jelas Devin.
"Hmm.... " Jizca tersenyum samar. "Lo bilang dong kalau gue yang bakal jadi penopang lo, jadi cowok gombal dikit gak haram kali!" Jizca meninju bahu Devin.
Devin sedikit terkekeh.
"Vin?"
Devin menolehnya, "selamat ya punya Ayah baru!" Jizca tersenyum, kelewat manis.
"Ya, selamat juga, punya calon mertua baru!" balas Devin dengan senyum jahil.
"Halah! Gombal! Gue gak suka di gombalin!" Jizca melipat kedua tangan didepan dadanya.
"Kan lo yang bilang mau di gombalin! Pacar gue aneh," ucap Devin menatap Jizca bingung.
Jizca menatap Devin dengan tatapan yang sulit diartikan, "Vin, gue mau jujur satu hal."
Devin menatap Jizca serius, "satu hal gak cukup bagi gue, jujur banyak hal, itu lebih baik."
Jizca menelan salivanya, "gue gak suka sama lo yang nakal, gue gak suka lo main cewek," keluh Jizca.
"Main cewek kaya gimana? Buktinya, pacar gue satu."
"Seriously?"
Devin hanya menjawabnya dengan tatapan meyakinkan.
"Tapi, bukan itu maksud gue. Gue gak suka lo sentuh sembarang cewek, gue gak suka lo cium cewek lain, gue gak suka!"
"Fine, gue gak akan lakuin itu, but, lo harus janji, jauhin Rangga, deal?"
Jizca memutar bola matanya, "deal!"
"lo cemburu gue deket sama Kak Rangga?" tanya Jizca dengan senyum jahil.
Devin mengerutkan keningnya kemudian memalingkan wajah.
"Ah lo cemburu ya?" Jizca menarik pipi Devin untuk melirik ke arahnya.
"Siapa bilang?" tanya Devin menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyum.
"Mata lo yang bilang!" Jizca terkekeh kemudian mundur beberapa senti dari duduknya yang semakin rapat dengan Devin.
Devin mencondongkan tubuhnya, "kalau gue gak boleh ke yang lain, gimana kalau ke lo aja?"
Jizca sedikit menggeser lagi tempat duduknya, "apanya? Apanya yang gak boleh ke yang lain? Apanya yang ke gue?"
Kali ini Devin terkekeh, lepas. Devin tahu kini detak jantung gadis itu berdetak tak karuan. Devin suka ketika menatap wajah salah tingkah gadis itu, ada euforia tersendiri dalam diri Devin ketika melihat Jizca dengan detak jantung tak karuannya.
"Lo iri ya gue dicium Ketlin?" tanya Devin menaikan sebelah alisnya.
"Enggak!" Jizca menggeleng dengan cepat,
"Bagus deh, bahaya kalo lo iri!"
Jizca mencebikan bibirnya, "lo gak boleh cium-cium cewek! Lo masih dibawah umur!" protes Jizca.
"Hmm, tahun depan gue legal, tunggu gue tahun depan ya? Udah gak dibawah umur, berarti boleh?" Devin hampir terkekeh, lagi.
"Engg..!" Jizca menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "tetep aja gak boleh!"
Devin mengekspresikan wajahnya seolah kecewa yang dibuat-buat, "yah.., bolehnya kapan?"
"Nanti aja, kalau gue mau!"
Tawa Devin pecah seketika, "kalo lo maunya besok? Ah atau lo maunya sekarang?"
"Ihhh! Devin lo mesum!" Jizca bangkit dari duduknya, kemudian pergi menuju gedung pernikahan itu lagi.
Devin terkekeh, "makasih Jizca, udah mau jadi air ditengah panas dan luasnya gurun pasir! Lo bahkan lebih dari air putih, lo lebih mirip kopi! Bikin kecanduan!" gumam Devin, ia kemudian bangkit menyusul langkah gadis itu yang semakin menjauh.
Jizca menghampiri Revan, yang sedang bersama Ayah dan beberapa teman Ayah.
"Nah ini, adiknya Revan, namanya Jizca!" ucap Ayah bangga ketika Jizca menghampiri Revan.
Jizca tersenyum kepada beberapa rekan kerja Ayah yang kini menatapnya aneh.
Revan menyikut lengan Jizca, "please, keluarkan drama queen lo! Gue bosen disini!" bisik Revan,
Jizca menatapnya dengan syarat. "Om, Tante, saya permisi," ucap Jizca memulai.
"Mau kemana? Cepat kali, baru saja sampai!" ucap Om-om dengan kepala pelontos itu, juga logat bicaranya yang khas.
"Dompet saya tertinggal di belakang," ucap Jizca beralibi. Tapi memang nyatanya, dompet yang Jizca bawa memang tertinggal di atas meja ruang belakang.
Jizca meninggalkan Revan, "saya juga permisi, mau mengantarkan adik saya mengambil dompetnya," ucap Revan disusul senyum, membuat beberapa orang tertawa.
Mata Jizca menangkap dompet silver yang dibawanya, dengan cepat ia mengambil dompetnya. Namun pandangannya teralihkan pada sebuah kertas merah tepat disamping dompetnya itu.
"Jauhi Devin, maka lo pemenang permainan ini!"
Jizca mengerutkan keningnya, saking terlalu fokus membaca tulisan itu, sebuah tangan mengambil alih kertas yang dipegang Jizca. Jizca menatap cowok yang mengambil kertas yang sebelumnya ia pegang itu. Cowok itu membaca tulisannya, ia kemudian memotret tulisan itu dengan ponselnya. Setelah dapat, ia meremas kertasnya dan memasukan itu ke tempat sampah.
"Sampah!" ujar cowok itu kemudian keluar ruangan, tanpa menatap Jizca. Dan kini, Jizca mematung ditempatnya.
❇
TBC..
Siapa hayo?
Bellaanjni
Bandung, 16 Mei 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro