Part 3
"There's a story behind every person. There's a reason why they're the way they are."
-Anonym
Ruang kerja Saniharja begitu lengang pagi ini. Tak ada kegaduhan seperti tadi malam. Itu yang Saniharja butuhkan. Dia ingin sendiri dalam kesunyian untuk berpikir. Lelaki 45 tahun itu terpekur di kursi. Banyak hal memenuhi benaknya belakangan ini. Kesehatan putranya, perasaan istrinya, sikap ibunya, dan yang paling meresahkannya adalah Flora.
Putrinya yang masih remaja itu telah banyak berubah. Ataukah dirinya yang memang tak terlalu mengenal kepribadian anaknya? Ayah macam apa dia?
Saniharja masih ingat benar. Dulu Flora adalah gadis kecil yang manis, lemah lembut, dan sopan. Dia seolah masih bisa mendengar suara manja Flora yang memanggilnya penuh sayang. Lantas gadis kecilnya akan berlari dengan riang, menghambur dalam pelukannya. Namun kini, jangankan memeluk, menatap matanya saja, gadis itu tak sudi. Memanggil namanya pun kini seolah enggan. Ada sebentuk jurang menganga lebar dan dalam di antara mereka.
Saniharja menyadari, puncak kesalahan terletak pada dirinya. Seandainya saja waktu itu tak membiarkan keduanya pergi. Lelaki itu menggeleng. Bertahun-tahun membenamkan diri dalam penyesalan, dia tahu itu percuma. Apa yang sudah terjadi tak ada gunanya disesali.
Dia siap menanggung kebencian dan sakit hati putrinya. Bahkan merasa pantas menerimanya. Akan tetapi, Saniharja tak sanggup melihat Flora menjerumuskan dirinya sendiri. Sebagai ayah, sudah kewajibannya memperbaiki itu. Meski harus diakui, caranya sedikit terlalu keras, sementara putrinya selalu memberontak.
Saniharja kehabisan cara. Karena itulah dia memutuskan mengambil langkah tak biasa. Satu-satunya yang bisa terpikirkan demi membuat putrinya berubah. Bukan agar gadis itu mau memandangnya seperti dulu, melainkan untuk membuatnya kembali.
"Kamu yakin dengan tindakanmu, Sani?"
Saniharja mendongak.
Johana berdiri di ambang pintu dengan raut wajah datar. Perempuan 65 tahun itu melangkah mendekati putranya yang tampak tengah dilanda kegundahan. Dia paham apa yang membuat putranya begitu.
"Maaf Bu, saya ingin sendirian saat ini."
"Tapi Ibu perlu bicara."
Karena ibunya sudah berkata begitu, Saniharja akhirnya membiarkan. Pun, lelaki itu tak ingin menghabiskan energi yang tinggal tak seberapa hanya untuk melawan kehendak ibunya. "Apa yang ingin Ibu bicarakan?"
"Tentang rencana pertunangan putrimu."
"Kita sudah membahas itu beberapa hari yang lalu, Bu," balas Saniharja dengan nada lelah, tidak ingin ada perdebatan lagi.
"Ibu hanya ingin memperingatkanmu sekali lagi. Melihat reaksi putrimu tadi malam, rasanya itu bukan pertanda baik. Ibu tidak ingin kamu mengambil langkah keliru. Terlebih lagi, sepertinya kamu memilih orang yang salah."
"Ibu tidak perlu khawatir, Flora akan setuju. Dan mengenai Dicko, menurut saya dan Cecilia, dia orang yang tepat."
Johana mendengkus. "Bagaimana mungkin kalian bisa berpikir begitu? Dengan latar belakang keluarganya, apa menurutmu dia pantas untuk putrimu?"
"Jika yang Ibu maksud adalah orang tuanya yang telah bercerai, saya rasa itu bukan masalah besar. Kami memilih Dicko karena sifat serta sikap yang dia tunjukkan. Lagi pula, saya dan Rossa juga bercerai."
Johana terdiam. Dia benci fakta itu. Sangat. Setelah beberapa jenak, dia berkata, "Justru karena itu, orang-orang akan memberi penilaian lebih buruk terhadap keluarga kita. Dua anak korban perceraian dalam keluarga, itu memalukan! Sudah cukup, Sani. Dimulai dari Rossa, lalu kamu membawa anak itu kembali—"
"Dia cucu Ibu." Sudah berulang kali Saniharja mengingatkan fakta itu terhadap ibunya. Dan penilaian orang-orang tidaklah penting baginya.
"Dia kesalahan!" Sebuah kesalahan yang belum bisa Johana lupakan dan maafkan. Meski dia tahu cucunya tak bersalah, tetap saja, melihat anak itu membuatnya harus mengingat aib yang sempat mencoreng nama baik keluarganya.
Saniharja tersentak demi mendengar anggapan sang ibu terhadap cucunya sendiri. "Tapi dia tetaplah darah daging saya, Bu. Saya tidak mungkin membiarkannya sendirian di luar sana."
"Dan menjadi duri dalam keluarga kita? Heh, dia bahkan terlihat tak sudi menjadi bagian dari keluarga!"
"Karena dia tidak tahu yang sebenarnya, Bu." Saniharja terlihat semakin lelah.
"Katakan yang sebenarnya kalau begitu!"
"Saya tidak bisa. Sama saja dengan melempar kesalahan. Sementara saya juga bersalah dalam hal itu."
"Setidaknya dia tak lagi memandang sinis terhadap ayahnya sendiri dan keluarga ini!"
Saniharja menghela napas. Dia tak akan mengatakan kebenaran itu kepada putrinya. Hanya akan menggores luka baru dan mencoreng kenangan manis yang gadis itu miliki bersama ibunya. Lebih baik baginya menanggung kebencian Flora hingga akhir hayat.
"Ibu berusaha untuk tak mencampuri caramu dalam menangani putrimu. Tapi Ibu tidak melihat manfaat dalam rencanamu. Sia-sia saja, Sani. Pekerjaanmu tak berguna!"
"Tidak akan, Bu. Saya percaya."
Johana menatap wajah putranya lekat-lekat. "Kamu terlalu percaya, sebab itulah dulu kamu melakukan kesalahan!"
Saniharja menegang. "Itu hal yang berbeda, Bu!"
"Berbeda atau tidak, tetap saja kamu melakukan kesalahan!" Johana mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi. "Ibu akan menunggu hasil usahamu. Jangan sampai Ibu yang turun tangan, Sani. Jika itu terjadi, Ibu akan ungkap segalanya pada anakmu. Ingat itu."
***
Bonanza Café sore itu ramai oleh pengunjung. Mereka rata-rata pekerja kantoran yang ingin melepas lelah setelah seharian bekerja. Duduk-duduk santai bersama beberapa orang teman ataupun kekasih, ditemani makanan dan minuman ringan dengan latar suasana kafe yang classy. Hanya satu orang di antara mereka yang merasa salah tempat. Satu-satunya remaja berpakaian sekolah di kafe itu.
Dicko duduk di sudut ruangan, berulang kali melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Hampir satu jam menghabiskan waktu sia-sia di tempat itu. Bukan atas keinginannya, tetapi seseorang memintanya datang untuk membicarakan sesuatu yang katanya sangat penting. Jika saja tak menaruh rasa segan terhadap orang tersebut, dia pasti sudah beranjak pergi sedari tadi.
Dicko memesan lemonade kedua, berikut camilan untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan karena menunggu terlalu lama. Setelah pesanannya tiba, lelaki itu mencantolkan earphone iPod ke telinga. Untuk mengusir jenuh, pilihannya jatuh ke musik rock. Alunan musik ballad dari kafe dirasa tak cukup ampuh, justru membuatnya diserang kantuk yang membunuh.
Tahu gini mending keliling toko buku sebelah dulu. Begitu dia selesai membatin, sosok yang ditunggu-tunggu tiba-tiba terlihat berjalan mendekat. Dicko buru-buru melepas earphone lantas menyunggingkan senyum kecil.
"Maaf sudah bikin kamu lama menunggu." Saniharja membalas senyum remaja lelaki itu, lalu mengambil tempat duduk di hadapannya.
Sebenarnya, Saniharja sudah bosan duduk. Menghabiskan waktu tiga jam dalam rapat antar fraksi benar-benar membuatnya ingin mengistirahatkan punggung di pembaringan. Hanya saja dia harus bersabar hingga malam tiba karena setelah ini, jadwal lain menantinya yakni menjadi narasumber di sebuah acara stasiun televisi.
"Rapatnya molor, Om?" tanya Dicko sambil mengamati paras lelah lelaki di hadapannya.
"Yah, begitulah. Beruntung masih bisa keluar tanpa lemparan kursi." Saniharja berusaha melucu. Saraf-sarafnya terlalu tegang belakangan ini.
Dicko sedikit terkejut, tetapi tak urung kekehan kecil keluar dari bibirnya. Dia jarang bertatap muka dengan suami tantenya ini. Kalaupun mereka bertemu, Saniharja selalu menampilkan mimik wajah serius dan membosankan—menurutnya Saniharja harus sering piknik. Jadi, sungguh di luar dugaan, pria itu bisa berkata seperti tadi.
"Kamu pesan apa itu?" Saniharja melirik makanan kecil dan minuman di hadapan Dicko. Kelihatan enak dan segar di matanya. Lantas dia memberi kode pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan di depan meja mereka.
"Churros sama lemonade," jawab Dicko.
"Saya pesan yang sama dengan itu," ucap Saniharja pada pelayan seraya menunjuk pesanan Dicko.
Si Pelayan mencatat, kemudian berlalu setelah mengucapkan, "Pesanan akan datang dalam sepuluh menit."
"Om dengar, kamu diterima tanpa tes di Universitas Purwadharma?" Sedikit basa-basi sebagai pembuka.
Dicko mengangguk. "Iya, Om. Jurusan Arsitektur."
Saniharja tersenyum bangga. "Om pikir kamu akan mengikuti jejak salah satu orang tuamu."
Remaja itu terkekeh seraya menggeleng. "Aku cuma suka makan dan senang dipotret."
Mau tak mau, Saniharja tersenyum. Dia sudah lama mengetahui dari istrinya bahwa Dicko memiliki bakat istimewa dalam mendesain bentuk bangunan. Dimulai dari koleksi lego yang memenuhi suatu ruangan di rumah orang tuanya.
"Om punya teman-teman arsitek. Mereka bekerja di Malik Group. Kamu bisa belajar banyak dari mereka." Tawaran yang menggiurkan bagi remaja yang sedang haus akan pengetahuan.
"Kebetulan banget, Om. Minggu depan aku bakalan ikut workshop yang diadakan Malik Group," Dicko menjawab dengan antusias. Dia selalu berbinar-binar jika membicarakan minatnya dalam arsitektur.
"Om senang kamu suka mengikuti kegiatan-kegiatan positif. Itu bagus buat masa depan kamu. Kalau benar-benar minat di situ, fokus dan jangan setengah-setengah."
Dicko mengangguk-anggukkan kepala. "Sip, Om."
"Itulah kenapa Om butuh seseorang seperti kamu untuk menjadi contoh yang baik bagi Flora."
Binar di wajah Dicko perlahan memudar, berganti sebentuk pemahaman akan tujuan pertemuan mereka. Lantas dia tersenyum kecil sambil mengusap embun yang menempel di dinding gelas lemonade-nya. Dua hari berturut-turut ditemui oleh om dan tantenya di tempat terpisah. Dan dia yakin Saniharja memiliki tujuan yang sama dengan Cecilia.
"Aku nggak sehebat itu, Om. Om-lah yang lebih tepat menjadi teladan buat Flora. Om sosok yang disegani dan berprestasi. Dan yang jauh lebih penting, Om kan papinya." Dicko berusaha merendah, hanya saja dia baru menyadari telah mengucapkan kata-kata yang salah. "Maksud aku—"
"Nggak apa-apa. Kamu benar." Saniharja tersenyum kecut. Seharusnya tersentil atas ucapan remaja di hadapannya. Namun, dia selalu berusaha mengusir perasaan gagal sebagai seorang ayah. "Tapi sepertinya, Flora tidak menganggap begitu. Mungkin kamu sudah tahu, bagaimana sikapnya terhadap kami."
Ya, Dicko sudah lama tahu bahwa Flora bersikap sinis terhadap Saniharja dan Cecilia, yang dia duga karena pernikahan mereka. Menurutnya itu wajar. Tidak semua anak senang saat mengetahui orang tuanya menikah lagi dengan orang lain.
"Tapi hal itu tidak terlalu penting. Yang merisaukan Om saat ini adalah, alasan mengapa sikapnya berubah menjadi liar dan tak terkendali."
Dicko kembali terkejut. Dia mengira Saniharja tak terlalu peduli pada keluarganya. "Maksud Om, dulu sikapnya tidak seperti sekarang?"
Ekspresi wajah Saniharja perlahan berubah serius, seperti yang biasa Dicko lihat sebelumnya. "Ya. Itulah kenapa Om meminta kamu datang. Om akan menceritakan sesuatu tentang dia."
Dicko bertanya-tanya dalam hati, hal apa yang ingin diceritakan Saniharja tentang putrinya? Bukannya peduli, hanya saja ucapan Saniharja membuat rasa ingin tahunya tergelitik. Apakah Flora memiliki kepribadian ganda atau yang semacam itu? Dia hendak mengucapkan sesuatu saat pelayan datang membawa pesanan Saniharja.
"Om minum dulu, ya."
"Silakan, Om."
Setelah menyeruput minumannya, Saniharja melanjutkan, "Om ingin meluruskan sesuatu ke kamu. Supaya kamu bisa memandang Flora dengan kacamata baru. Om tahu bagaimana pendapat orang-orang tentang dia, termasuk kamu."
Hawa panas menyergap wajah Dicko secara tiba-tiba, seolah tertangkap basah telah melakukan sebuah kekeliruan. Salahnya, memang. Seharusnya dia selalu ingat bahwa lelaki di hadapannya adalah seorang politikus yang terkenal piawai mengenali gestur lawan. Jadi, tentu saja Saniharja bisa membaca dengan jelas bagaimana gestur tubuhnya saat berinteraksi dengan Flora.
"Aku—"
Saniharja tersenyum kecil, menenangkan. "Santai saja. Bukan salah kamu berpikir begitu. Siapa pun pasti begitu jika berhadapan dengan Flora. Tidak ada yang suka dengan sikap memberontak yang dia tunjukkan." Wajah lelaki itu berubah sedih. "Om juga begitu pada mulanya. Sudah berulang kali, Om mendapatkan laporan dari sekolah atas apa yang dia lakukan. Dan kamu juga pernah memberitahu Cecilia tentang hal itu."
Dicko terpekur. Suatu kali ibunya pernah mengatakan, selain prestasi akademik, kebahagiaan terbesar orang tua adalah saat mengetahui bahwa anaknya mampu bersikap baik, dan menyenangkan hati orang-orang. Karena itulah, dia bisa memahami mengapa Saniharja merasa sedih atas sikap putrinya.
"Tapi, satu hal yang perlu kamu ketahui, Flora tidak benar-benar seperti yang terlihat. Om berkata begini bukan bermaksud membelanya lantaran dia putri kandung Om, Om hanya ingin kamu memahami Flora dengan lebih baik. Supaya kamu bisa melakukan pendekatan personal dan membuatnya bisa mendengarkan kamu. Hal yang telah gagal Om dan Tante kamu lakukan."
"Tapi aku belum bilang setuju—"
"Dengarkan Om dulu, oke?"
Dicko menganggukkan kepala pelan sebagai jawaban.
Saniharja menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Seperti yang kamu tahu, Flora baru kembali pada kami setahun yang lalu, setelah ibunya meninggal dunia."
Suara lelaki itu tiba-tiba bergetar. "Keadaannya saat itu tidak terlalu baik. Dia terlihat tertekan dan syok. Psikolognya mengatakan itu reaksi yang wajar karena dia baru saja kehilangan ibunya. Tapi tak lama setelah dia menginjakkan kaki di rumah, sikapnya berubah drastis. Dia bukan lagi Flora yang Om kenal. Emosinya gampang meledak-ledak. Dia membangkang dan mengabaikan apa pun yang kami katakan. Om pikir itu karena dia membenci kami.
"Tapi, ternyata dia bersikap sama di sekolah. Laporan-laporan itu membuat Om tak habis pikir, ada apa sebenarnya dengan dia? Om kemudian menyelidiki ke lingkungan lamanya, saat dia masih tinggal bersama ibunya. Para tetangga mereka mengatakan, Flora anak yang manis dan baik. Tidak pernah berbuat onar. Lalu Om mendatangi sekolahnya yang terdahulu. Guru yang pernah mengajarnya juga berkata sama, dia sangat penurut dan tidak pernah berkata kasar. Tapi Om juga mendapati satu fakta bahwa Flora ... dia pernah menjadi korban perundungan dari teman-temannya."
Kali ini Dicko tercengang. Informasi ini sungguh tak disangka olehnya. Flora si perundung , dulunya adalah korban perundungan?
"Itu menjelaskan banyak hal, termasuk mengapa Flora bersikap seperti sekarang. Tapi Om masih belum mengerti, mengapa dia harus melampiaskan kemarahan dengan cara seperti itu? Om tidak bisa mendekatinya, merangkul, dan bertanya, apa yang salah, Nak? Apa yang sudah mereka perbuat sampai kamu jadi seperti ini?"
Mata Saniharja berkaca-kaca. Wajahnya menyiratkan kepedihan dan penyesalan yang dalam. "Dia membangun dinding di antara kami. Om tidak bisa membantunya, karena dia tidak mengizinkan Om melakukan itu. Sebab itulah, Om berharap kamu bisa melakukannya, Dicko. Tolong dia. Om mohon."
***
Di sebuah kelas tak terpakai, tampak sosok gadis yang terlihat pasrah dan cemas duduk di sebuah kursi dengan wajah tertunduk. Di sekelilingnya, lima orang gadis seusianya berdiri dengan ekspresi pongah. Flora Anggoro salah satunya. Dia berdiri di tengah-tengah, diapit dua orang teman satu gengnya di sisi kiri dan kanan.
Raut wajah Flora terlihat memendam berjuta dendam. Keinginan untuk melampiaskan kemarahan mendesaknya begitu kuat. Dia tak pernah leluasa untuk melakukannya di rumah. Tidak di hadapan Farrel.
Karena itulah, sekolah menjadi tempat favoritnya. Tempat yang tak seorang pun tahu kelemahannya, bagaimana dirinya sebenarnya. Yang mereka tahu, dia adalah gadis dari keluarga terpandang, kaya raya, sombong, dan perundung nomor satu.
Itulah yang dilakukannya saat ini; merundung. Meski tak menyakiti fisik korbannya, ada kepuasan tiada tara saat mengintimidasi, menakut-nakuti, mengancam, serta mencemarkan nama baik mereka. Dengan begitu, dia merasa kemarahannya tersalurkan dan kebenciannya terobati.
"Dear, Kak Dicko ...." Flora membaca sederetan kata yang menjadi pembuka sebuah surat yang sedari tadi di tangannya. Nada suaranya terdengar centil dan dibuat-buat.
"Kamu tahu? Aku mengagumimu sejak kelas sepuluh. Bagiku, kamu adalah satu-satunya cowok paling baik dan perhatian yang pernah kutemui. Kakak mungkin tak ingat lagi padaku. Tapi aku masih mengingat dengan jelas, Kakak yang telah menolongku saat aku dilempari bola basket oleh segerombolan cowok jahat. Akan kukenang selamanya jasa baik Kakak terhadapku. Dan aku mencintai Kakak sejak itu. Maaf jika pengakuanku ini tiba-tiba dan mengganggu. Dari K, pengagum rahasiamu."
Gelak tawa keji sekonyong-konyong meledak. Mengabaikan ringisan dan wajah merah padam yang tertunduk takut-takut.
"Lo semua bayangin deh, gimana ekspresi Dicko waktu baca surat cinta picisan kayak gini. Gue yakin dia bakalan mau muntah." Kata-kata Flora yang tak berperasaan itu kembali membuat keempat temannya terbahak-bahak. Sementara gadis itu justru mengucapkannya dengan ekspresi dingin.
Flora menatap lekat korbannya kali ini. Ekspresi ketakutan yang tergambar jelas pada wajah gadis di hadapannya, membuat kelebatan memori masa lalu membentang di pelupuk mata. Kebencian yang membusuk di hatinya, menjalar dengan kecepatan mengerikan, membelit tanpa ampun, menguasai nurani.
Kasihan deh lo, nggak punya bapak! Mana yang katanya anak orang kaya? Nyatanya lo cuma anak yang dibuang! Ha ha ha!
Dasar cengeng! Nangis aja bisanya! Lemah, lo!
Suara-suara keji itu memenuhi alam bawah sadarnya. Semakin lama semakin keras. Menusuk-nusuk relung hatinya dengan begitu kejam, hingga membuat darahnya mendidih seketika.
"Jangan nangis, lo!" desis Flora tiba-tiba. "Denger gue baik-baik! Kalau lo nggak mau surat ini gue kasih ke orangnya langsung berikut identitas lo ke dia, kerjain apa yang gue suruh. Lo—"
Suara pintu yang dibuka paksa membuat kata-kata Flora terhenti. Serempak, keenam kepala di dalam kelas itu menoleh ke arah sumber suara. Bagai adegan film, pemeran utama yang ditunggu-tunggu untuk menyelamatkan sandera akhirnya muncul juga.
Ekspresi Flora mendadak tegang. Dia mengumpat pelan, "Shit!" []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro