T U J U H +
"Eh, Tuan Puteri kita sudah bangun dari bobo siangnya? Sini, duduk di sini, Sayang. Habis bobo pasti lapar, terus minta pesankan makanan, habis makan, ngantuk, terus tidur lagi. Gitu aja terus sampai satu minggu ke depan. Tinggal dibalik aja, lo yang bayar gue ya, Tuan Puteri," ceramah panjang Sultan kala menyambut kehadiran Fara di depan pintu kamar. Sultan sediri tetap tidak bergerak dari posisi duduknya di sofa. Sejak tadi dia memang memilih menikmati acara televisi di sofa sambil menikmati semilir angin.
Fara hanya nyengir polos. Tingkahnya memang keterlaluan. Setelah adegan panas di kolam renang berakhir dengan suara keroncongan perut Fara, Sultan segera memesan makanan. Fara sendiri langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi pagi. Setelah mandi, Fara digiring Sultan menikmati aneka sarapan pesanan Sultan. Seperti malam sebelumnya, Sultan memesan banyak menu.
Setelah mereka selesai sarapan, Sultan memilih membakar kalori dengan berenang sendiri, beberapa gerakan dan putaran singkat dirasa mampu mengembalikan stamina. Sementara Fara yang merasa kekenyangan memilih merebahkan diri di tempat tidur. Rasa lemas dan kantuk menjadi satu. Hingga akhirnya dia benar-benar nyenyak tidur sampai beberapa menit yang lalu dia bangun. Benar-benar menikmati makna liburan, yaitu istirahat.
"Lo kayak lagi balas dendam ya, gak pernah tidur nyenyak?" Fara lagi-lagi hanya diam sambil tersenyum malu. Dia tak mau membalas ucapan Sultan, khawatir Sultan lebih emosi lagi.
"Sini, duduk! Cengar-cengir aja. Nggak luluh gue!" geram Sultan yang sedang berusaha tak terpancing menatap wajah lugu Fara yang sedang tersenyum manis.
"Nggak mau minta maaf? Sadar gak kalo udah seenaknya aja sejak kemarin? Atau mau gue tukar aja, ya? Ganti orang lain. Balikin duit gue!" Fara langsung menggeleng panik, dengan berani Fara segera duduk di sebelah Sultan. Menarik lengan Sultan sebagai reaksi ucapan Sultan. "Jangan ditukar! Iya, saya salah. Saya minta maaf. Setelah ini tidak akan terulang lagi. Saya janji enggak akan ketiduran lagi."
"Lepas!" Sultan menampik tangan Fara, tapi Fara tetap tak mau kalah. Dia bahkan dengan berani berpindah posisi duduk, di meja di hadapan Sultan. "Maaf," ucap Fara sedih. Sultan diam tak membalas, hanya terus menatap wajah Fara. Menyimak ungkapan maaf Fara tulus atau hanya alasan semata.
"Maaf sekali lagi. Saya terbawa suasana. Biasanya kualitas tidur saya, tidak lama. Dapat waktu empat jam saja sudah untung." Fara menunduk takut, tatapan mata Sultan seolah ingin menghabisinya tanpa ampun.
"Emang lo ngapain aja cuma punya jatah empat jam tidur dalam sehari?" Sultan penasaran juga. Ada sisa waktu dua puluh jam dikerjakan Fara.
"Ya, kerja lah. Pagi aku cuci baju di rumah tetangga, terus jemur. Abis itu berangkat sekolah, pulangnya kerja lagi rapiin baju setrika. Terus sore sampai malam saya jadi pelayan di restoran besar. Kalau weekend, ambil kerja sama wedding orginizer. " Sultan mengangguk saja, niat hati mau tanya lebih dalam, tapi sepertinya bukan ranah dia untuk lebih tahu lagi. Bukan urusan dia.
"Itu juga dapat tawaran untuk temanin kamu liburan karena dapat info loker dari teman-teman di restoran."
"Oh, gue kira circle pertemanan lo cabe-cabean aja."
"Sembarangan." Mendengar ungkapan tak terima Fara, Sultan tersenyum geli. Kalau dilihat dari gelagat Fara, jelas Fara amatir dalam hal main-main liburan. Bukan hanya amatir, kampungan, norak, tapi bodoh dan polos, aji mumpung juga termasuk.
"Emang temen lo nggak ada yang halangin lo terima tawaran gue?"
"Teman hanya sebatas rekan kerja. Urusan pilihan hidup kita gak pernah saling ikut campur."
"Kok, gitu? Nggak sehat dong temenan gak saling bantu?"
"Urus masalah diri sendiri aja sudah pusing, ngapain urus masalah orang."
"Emang orangtua lo gak kasih biaya?"
"Udah gak ada," jawab Fara cepat dan datar. Sultan memilih memainkan gelas di depannya, kembali menenggak minuman bersoda. Tak mau memperdalam pertanyaan, khawatir melebar kemana-mana.
"Kamu, sih, enak. Anak orang kaya, mau apa aja tinggal dikasih. Keluarin duit lima ratus juta buat bayar perempuan temani liburan aja tanpa pikir panjang," celoteh Fara berusaha santai, nadanya bahkan terdengar sok kenal nilai kehidupan Sultan. Terlalu memukul rata.
"Jangan sok tahu, kebahagiaan gak bisa lo nilai dengan materi."
"Tapi kenyataannya gitu. Uang bisa disuruh berbicara, bisa juga disuruh tutup mulut. Ayolah, realistis aja."
"Tapi nyatanya gue keluarin duit buat bayar lo malah gak bahagia. Bikin kesel, iya. Nyusahin, ngerepotin. Gue kayak punya kerjaan baru, ngurus lo. Harusnya sekarang gue lagi puas dapat kenikmatan, tapi yang ada gue balik lagi kayak di rumah. Sendirian nikmatin hidup. Gue buang-buang duit bayar lo buat cari kebahagiaan seminggu aja. Susah banget. realisasinya." Fara tak bisa membalas ejekan Sultan, karena yang Fara lihat Sultan sedang meluapkan isi hatinya. Fara lihat, Sultan juga seperti dirinya, ingin lari dari kenyataan hidup. Luapan marah, kecewa, tak dianggap seolah sedang Sultan utarakan.
Apa sekarang saatnya dia melakukan tugas seharusnya? Tugas yang memang sudah ditulis dalam perjanjian awal saat Fara menerima bayaran. "Ayo!" ajak Fara nekat.
"Mau ngapain?" tanya Sultan terkejut saat tangan lembut Fara dengan berani meraba pipi Sultan, ingin menepis tapi Sultan penasaran. Apalagi saat Fara bangkit untuk mendekati Sultan, menarik tangan Sultan untuk sama-sama berdiri berhadapan. "Hei, mau ngapain?" cecar Sultan tak sabar.
"Mau buat kamu bahagia." Fara mengucapkan tanpa takut, apalagi gugup. Matanya lurus menatap Sultan. "Biar uang yang kamu keluarkan untuk saya tidak percuma." Rasanya Sultan tak puas mendengar penjelasan Fara, pada akhirnya semua karena materi. Fara sama saja dengan semua orang yang dia kenal.
"Lo beneran siap?" Sultan menarik pinggang Fara untuk lebih intim dengannya. Jika memang Fara tak menolak, dia akan lampiaskan semuanya saat ini juga.
"Yakin?"
Kenapa Sultan malah membuat Fara bimbang lagi. "Saya tahu diri untuk tidak menolak lagi," ucap Fara bergetar, tapi sekuat mungkin harus Fara hadapi. Pada akhirnya, peristiwa ini akan terjadi juga.
"Lapar?" Fara menggeleng dengan senyuman terpaksa. Sudah selesaikan saja eksekusinya, selanjutnya pasti akan terbiasa. Isi hati Fara terus merapalkan kata penyemangat untuk dirinya.
"Ayo!" ajak Sultan menggandeng Fara ke dalam kamar. Sultan sendiri juga dilanda demam panggung mendadak, ini juga pertama kali baginya.
***
"Hiks..hiks.."
"Udah, jangan nangis! Kan, gue gak paksa lo." Fara sedang tiduran memunggungi Sultan sambil terus terisak. Sultan sendiri duduk bersandar di kepala ranjang menatap tak tega Fara. Masih sama-sama polos tanpa helai benang, hanya berbagi selimut menutupi tubuh mereka. Canggung, serba salah, tak enak hati, merasa aneh, bahkan menyesal dengan apa yang baru saja sedang mereka perbuat. Baru beberapa menit yang lalu mereka menyudahi aktifitas di ranjang berdua. Sentuhan dan beberapa gerakan asing yang sungguh intim baru saja terjadi. Keduanya sama-sama gugup, Sultan sendiri tak bisa menutupi jika aktifitas itu belum bisa dia kuasai sepenuhnya. Terlebih saat bertindak, wajah Fara dan tak lupa gerak tubuh Fara jelas memperlihatkan ketakutan. Tak heran pengalaman pertama bagi mereka berakhir dengan datar. Tidak puas dan menimbulkan rasa bersalah.
"Udah, dong! Gue juga belum sampe tembus, kan." Sultan memberanikan diri mengusap kepala Fara. Eksekusi tadi memang gagal, tidak sampai menembus mahkota Fara. Kondisi Fara yang memang masih rapat dan sulit ditembus, tubuh Fara yang juga tak mengajak kerja sama, ditambah reaksi Sultan yang terburu-buru, jelas tak akan bertemu letak kepuasannya. Sebenarnya Sultan berhasil menyelesaikan kepuasan, buktinya dia bisa mengeluarkan dengan cepat di sekitar luar bagian intim Fara. Tapi tetap saja dia merasa bodoh karena gagal menembus. Ternyata jam terbang berpengaruh pada hasil akhir.
Sultan yang memang belum pernah melakukan, mendadak seperti bingung ingin memulai darimana. Antara menikmati setiap inci tubuh Fara atau sama-sama mencari kepuasan dari dua belah pihak. Nyatanya, Sultan terkesan terburu-buru, menikmati bukit indah Fara dengan rakus, lalu turun ke bawah tanpa aba-aba, kemudian kembali lagi, begitu terus tanpa bertanya bagaimana reaksi lawan mainnya. Padahal jelas-jelas Fara belum rileks. Namanya pemula dan haus akan mencari klimaks kenikmatan, akhirnya Sultan tak bisa mengatur waktu semburan perdananya di tempat yang seharusnya berada di dalam. Dia tak bisa memprediksi. Kalau ingat, Sultan merasa bodoh. Sungguh pemula yang tak tahu malu.
"Fara.." Baru kali ini Sultan memanggil namanya.
"Hmmm.." jawab Fara berusaha menyudahi isakan. Walau sulit.
"Gue minta maaf." Fara bisa merasakan deru nafas Sultan di belakang telinga, belum lagi tubuh mereka kembali bersentuhan. Sultan ikut merebahkan diri di sebelah Fara, merapat dengan hati-hati, lalu memeluk pinggang telanjang Fara dari dalam selimut. Fara menggigit bibirnya, menghalau rasa takut yang tak bisa dia bendung. Apalagi, rasa nyeri di bagian pinggul hingga bagian intimnya kembali dia rasakan. Perasaan linu, seperti otot tertarik, Fara tak tahu rasa apa ini, apakah karena ketakutan membuat tubuhnya bereaksi seperti ini? Yang jelas semakin membuatnya takut.
"Kalau boleh jujur, gue juga belum pernah, jadinya buru-buru," bisik Sultan lembut. Sultan sadar Fara gugup, Sultan bisa rasakan keringat dingin di tubuh Fara. Semua dimaklumi, gadis itu masih amat polos, dan dia yang secara sadar mau merusaknya.
"Gue harus gimana biar lo mau maafin kesalahan gue?" Fara semakin terisak. Tidak ada yang perlu disalahkan, Sultan tidak salah, ini pilihannya. Hanya saja saat melewati prosesnya ternyata tidak semudah itu diterima. Dia merasa kotor, hina, dan murah.
"Kalau lo mau, gue bisa pulangin lo.." Fara langsung diam mendengar ucapan Sultan. Bukan ancaman, tapi dia diberikan pilihan. Fara menggeleng. Mengatur nafas pelan, Fara memberanikan diri balik badan. Sambil mencari posisi nyaman dengan selimut yang diusahakan menutupi bagian dada, Fara membalas tatapan Sultan. Sekilas Sultan terlihat kacau, sama seperti dirinya.
"Nggak perlu, gue juga minta maaf bertindak konyol. Malah nangis, hiks," ucap Fara berusaha tenang tapi tetap tak bisa menahan air mata. Sultan tersenyum getir, mereka memang sudah terlambat untuk membatalkan. Salahkan rasa penasaran ala jiwa muda, tapi mereka bukan bagian dari anak muda dengan pergaulan bebas. Kebetulan mereka terjebak dengan harapan berbeda.
Sultan terus menatap Fara, tangannya terulur menghapus air mata di pipinya. "Keberatan kalau gue peluk lo?" izin Sultan sopan. Fara awalnya mengangguk, dan saat tangan serta tubuh Sultan semakin merapatkan tubuhnya, tangan Fara menahan. "Saya mau pakai baju dulu, kamu juga!"
"Siap." Sultan terkekeh menyadari keadaan mereka masih polos. "Gue ambilin." Sultan duduk dan mengambil pakaiannya yang memang mudah dijangkau. Sultan menyerahkan kaus miliknya ke Fara, sementara Sultan mengambil celana pendek santai miliknya. Memang di tempat tidur hanya tersisa pakaiannya, karena pakaian yang dipakai Fara terlempar di lantai saat awal mereka masuk ke kamar, dan sepanjang jalan menuju tempat tidur mereka memilih berciuman mesra.
Untuk di tahap berciuman, mereka memang sudah mulai lihai.
"Pakai baju gue aja, kalau gue cukup pakai celana." Fara duduk dan dengan cepat memakai baju milik Sultan, sementara Sultan sempat berdiri memakai celana. Fara tidak menoleh ke arah Sultan. Masih belum siap melihat pria itu masih polos tanpa penutup baju.
"Sudah?" tanya Sultan kembali duduk di sebelah Fara, dan melihat Fara mengangguk, segera saja tubuh Fara dia dekap erat dan membawanya rebah agar lebih nyaman.
"Gue sadar udah gegabah atur liburan kayak gini. Gue cuma merasa muak sama keadaan sekitar gue. Semua orang munafik di hadapan gue," ucap Sultan bercerita tanpa malu. Fara memilih diam, mencoba meresapi kehangatan tubuh Sultan, orang asing yang terasa tak asing di posisi ini.
"Dan lo jadi perantara. Gue tau, lo terpaksa karena membutuhkan duit."
"Kita berdua salah, jangan salahin diri kamu aja." Fara juga tak mau seenaknya menyalahkan Sultan. Dia juga punya andil, secara sadar menerima.
"Gue cuma mau buktiin kalau masalah kebahagiaan gak selalu bisa diselesaikan dengan cinta. Dan gue pikir, senang-senang kayak tadi bisa selesain rasa kesepian gue. Ternyata enggak. Sekarang gue malah semakin merasa bersalah. Bersalah sama lo." Fara terus mendengarkan, sepertinya Sultan bukan anak orang kaya kebanyakan. Mungkin kesan pertama berjumpa bisa dia nilai seperti kebanyakan, tapi mendengar ucapannya sekarang, Fara yakin ada sisi baik di keseharian Sultan. Sisi baik yang tak pernah terlihat, atau jangan-jangan tidak pernah diperlihatkan, apalagi diperhatikan.
"Gini aja, gimana kalau seminggu ini lo temani gue liburan. Benar-benar liburan. Layaknya teman. Mau?" Kali ini Fara memilih menatap Sultan.
"Sekarang, kita bahas liburan berdua, sebagai teman baru. Kita jalan-jalan keliling kota dan tempat-tempat seru."
"Terus mengenai kebutuhan biologis kamu?" tanya Fara harap-harap cemas.
"Jangan bahas urusan kebutuhan biologis gue lagi. Bisa diatur di kamar mandi." Baik Fara mau pun Sultan saling membalas tawa.
"Terus uang yang udah dikasih mau kamu ambil lagi? Kalau saya gak mau balikin, gimana?" tanya Fara lagi dengan wajah polos. Sultan menaikkan alisnya. Satu hal yang dia pelajari sedikit tentang tingkah Fara. Merusak suasana memang keahliannya.
***
10-04-21
Mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro