Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part Two - Beautiful Eyes


Part Two - Beautiful Eyes

Raka berjalan keluar dari kamarnya sembari memasukkan kancing lengan sebelah kiri. Kakinya menuruni tangga kemudian belok ke arah ruang makan. Meja tampak bersih, hanya ada tudung saji yang menutupi sesuatu. Raka pikir di dalamnya terdapat makanan atau secangkir kopi. Namun, begitu dibuka, ia tidak menemukan apa pun.

Rahang pria itu mengeras. Napasnya tersengal. Ia lapar dan ingin makan, tetapi tidak ada satu pun yang bisa disantap. Raka mengambil langkah lebar, menaiki tangga lagi. Bukan ke kamarnya, melainkan ke kamar yang ditempati Arsyi.

"Ma, kamu belum masak?" Raka berdiri di ambang pintu. Memperhatikan Wulan yang sedang menggendong Arsyi.

"Oh iya, belum. Arsyi nggak mau lepas, Pa. Lagian ini masih pagi, Papa belum mau pergi ke pabrik, kan?"

Masih pagi katanya? Raka mendengkus. "Buka jendelanya! Ini udah mau jam delapan. Kamu bilang masih pagi? Kan kamu bisa masak sambil gendong Arsyi?"

Wulan membalikkan tubuhnya sembari mengelus punggung Arsyi. "Aku takut kalo bawa Arsyi ke dapur, Pa. Masa Papa lupa kemarin dia hampir kena air panas gara-gara aku bawa ke dapur?"

"Ya kamu bisa taruh dia di kursinya! Kenapa kamu pandai cari alasan? Sudah aku tawarkan kamu sewa pembantu atau baby sitter, tapi kamu nggak mau, kan?"

"Ya jelas aku nggak mau lah! Aku nggak suka ada orang asing di rumah ini."

"Ya terus gimana? Siapa yang masak kalau kamu sibuk sama Arsyi?!" Raka sudah tidak tahan lagi. Suaranya meninggi. Persetan dengan Arsyi yang masih berada di gendongan istrinya.

"Kok kamu jadi marah-marah sih? Emang kamu pernah bantuin aku urus Arsyi? Nggak kan? Kalo gitu nggak usah protes kalo hari ini aku belum masak!"

Raka tertegun. Benar, ia jarang menyentuh Arsyi, bahkan nyaris tidak pernah mengajak bayi itu komunikasi. Kata orang, hadirnya anak bisa menambah keharmonisan keluarga. Akan tetapi kenyataannya Raka tidak merasakan itu. Sejak Arsyi lahir sampai sekarang, Wulan memusatkan hidupnya ke bayi itu. Awalnya Raka mengerti, memberi ruang untuk istrinya. Namun, makin hari Wulan justru semakin jauh. Raka benar-benar kehilangan Wulan.

"Oke, fine! Aku sarapan di pabrik aja!"

Raka menutup pintu kamar anaknya. Ia mengalah. Hanya cara ini yang bisa ia lakukan.

"Kak, malam ini nggak lembur, kan?"

Bagas menggigit roti buatan istrinya sebelum menjawab pertanyaan itu. Sementara Shana masih sibuk menuangkan air putih ke gelas milik suaminya. Di rumah ini memang ada pembantu, tapi untuk melayani Bagas, Shana tidak mau pembantu tersebut yang melakukan. Bagas sempat protes, tapi Shana berhasil memenangkannya. Toh, itu memang tugas seorang istri, bukan?

"Maaf ya, Sayang. Hari ini aku ada beberapa kunjungan ke luar kota. Mungkin bisa sampai malam."

Shana duduk di kursinya, mendesah kecewa. "Ya udah kalo gitu aku juga lembur di toko bunga. Adil, kan? Kita sama-sama nggak di rumah."

"Hai, hai." Bagas meraih tangan istrinya. "Jangan ngambek dong, Sayang. Aku usahakan malam ini pulang cepet. Kamu tunggu di rumah, ya. Jangan di toko terus, aku nggak mau kamu kelelahan."

"Kalo gitu aku mau kita jalan-jalan. Pergi ke suatu tempat yang cuma ada kita berdua."

"Kalo sekarang nggak bisa, Sayang. Aku benar-benar nggak bisa meninggalkan pekerjaan. Gimana kalo akhir tahun? Kamu mau ke mana?"

"Ke Swiss. Aku mau menikmati musim dingin di sana."

"Good, girl! It's brilliant. Sebelum itu kita ke dokter buat bahas program anak. Aku udah nggak sabar pengin punya anak dari kamu."

Shana tersipu malu. Sedikit melupakan kekecewaan yang sempat datang.

Setelah sarapan, Shana mengantarkan Bagas menuju mobilnya. Bagas tidak langsung masuk. Ia masih menatap lekat-lekat wajah cantik istrinya seraya menggenggam tangannya.

"Ayo berangkat! Kalau telat gimana?"

"Biarin, kan aku bosnya."

Shana mencubit pinggang Bagas hingga pria itu mengaduh kesakitan. "Jangan gitu, ah."

"Iya, Sayang. Aku berangkat, ya. Kamu ikut aja gimana?"

"Kalau di sana boleh kerja, dengan senang hati mau ikut, Kak. Tapi kan sama Kakak nggak boleh, mending di toko bunga aja."

Gemas, Bagas mencubit hidung pesek istrinya. "I love you."

"I love you too."

Siang ini Bagas berkunjung ke pabrik Raka. Di sana ia melihat-lihat para pekerja sekaligus bertemu dengan Raka.

"Diminum, Bro. Ini kopi enak langganan gue." Raka menyuguhkan cangkir berisi kopi di meja. Mata Bagas membulat.

"Kok repot-repot sih lo. Udah kayak sama siapa aja."

Raka duduk di seberang Bagas.

"Kabar anak lo gimana?" tanya Bagas setelah menyesap kopinya.

Raka terhenyak. Pertanyaan Bagas mengingatkannya pada keributan tadi pagi. "Baik. Kapan-kapan lo main ke rumah gue biar ketularan."

Bagas tertawa sebentar. "Bener juga. Lo tau sendiri kan gue tuh udah pengen banget punya anak, biar pas tua nanti ada yang ngurus kantor. Lo tau sendiri kan gue sebatang kara."

"Santai aja kali. Baru tiga tahun. Asal kalian sehat mah masih ada kesempatan. Tapi nanti pas punya anak, lo pasti bakal ngerasain apa yang gue rasain."

"Emang lo kenapa?" Bagas melirik Raka. "Lo baik-baik aja gitu."

"Itu si Wulan. Dia sejak punya anak nggak pernah ngurusin gue. Tadi pagi gue mau sarapan, nggak ada satu pun makanan di meja. Ribut lah."

"Lo nggak nyoba bantuin dia?"

"Gimana mau bantuin, anaknya aja nempel terus sama ibunya. Gue udah suruh cari baby sitter, tapi Wulan nggak mau. Makanya sebelum lo mutusin punya anak, mending pikir-pikir dulu deh. Biar nasibnya nggak sama kayak gue."

Bagas kembali menyeruput kopinya. "Lo tenang aja, gue sama Shana emang udah sepakat untuk punya anak. Gue rasa kalo dua-duanya sepakat, jalannya akan mulus. Ya walaupun gue tahu realita nggak seindah yang dibayangkan, tapi gue percaya Shana nggak seperti itu orangnya. Hatinya emas. Gue sampai nggak punya alasan untuk nggak percaya sama dia."

Raka terdiam. Dari mulut Bagas, ia bisa tahu jika Shana memang menarik tak hanya dari fisik saja. Bagas beruntung.

"Lo masih mau baikan sama Wulan, kan? Coba deh lo rayu dia, pake bunga misalnya. Kebetulan Shana punya toko bunga. Lo tanya bunga yang romantis, dia juaranya. Gue kasih alamatnya."

Raka merasa mendapat angin segar. Ia merasa jalan untuk bertemu dengan Shana dipermudah oleh Tuhan.

Raka benar-benar datang ke toko bunga Shana. Usai turun dari mobil, ia melepas kacamata hitam, menyelipkannya di kantung kemeja. Raka melangkah. Ketika membuka pintu, lonceng di atasnya berbunyi. Sontak seorang wanita yang sedang menata bunga dandelion menoleh. Saat itu juga Raka terpaku.

Shana tampak cantik, terutama bagian matanya yang kecil.

Debaran halus datang tanpa permisi. Raka mengunci rapat mulutnya. Terlebih saat Shana berjalan menghampirinya.

"Mas Raka, ya?"

Suaranya terdengar lembut di telinga Raka, hingga pria itu menatapnya tanpa kedip.

Shana yang kebingungan karena Raka diam saja melambaikan tangan tepat di depan wajah pria itu. Raka terkesiap.

"Hai." Raka tersenyum. "Aku dapet rekomendasi tempat ini dari suamimu."

"Oh, Mas Raka tadi ketemu sama Kak Bagas, ya?"

"Iya. Dia datang ke pabrik."

Shana manggut-manggut.

"Panggil Raka aja. Jangan ada embel-embel lain."

Shana tersenyum kikuk. "Nggak enak kalo cuma panggil nama aja."

"Nggak papa. Aku nggak keberatan."

Shana mendadak kikuk ditatap terus-menerus oleh Raka.

"Kenapa kamu kerja? Bukannya Bagas sudah mencukupi semua kebutuhan kamu?"

"Aku kerja bukan karena uang, tapi mau mengisi waktu luang."

"Bagas jarang ada di rumah ya?"

Shana tersenyum tipis. "Ya gitu deh."

"Sayang sekali kalo begitu. Dia ninggalin istri secantik kamu."

Tanpa diperintah pipi Shana memanas. Ia menunduk. Kemudian kembali mendongak setelah perasaannya berhasil dikendalikan. "Kamu ke sini mau beli bunga, kan?"

"Ah, iya." Raka salah tingkah. "Tolong carikan bunga yang menurut kamu paling romantis."

"Oke, sebentar." Shana mengambil beberapa tangkai bunga tulip. "Bunga ini melambangkan cinta yang sempurna."

Raka menatap bunga digenggaman Shana. Kemudian beralih menatap pemiliknya. "Ternyata benar kata Bagas, kamu memang juaranya memilih bunga yang romantis."

Lagi-lagi Shana merasakan pipinya memanas. Perasaannya mulai tak karuan. Ada apa ini?

"Aku bungkus dulu bunganya." Shana berbalik. Mulai membungkus bunga tersebut menggunakan kertas. "Mau pakai kartu ucapan?"

"Nggak usah."

"Oke." Shana memutar tubuhnya. Memberikan bunga yang sudah dibungkus kepada Raka.

"Sebelum pergi, boleh minta nomor hp kamu?"

Shana terdiam sejenak. Memberikan nomor ponsel ke teman suaminya tidak apa-apa, kan? "Boleh."

Detik berikutnya, terjadilah pertukaran nomor ponsel. Raka tersenyum penuh kemenangan. Setelah ini ia bisa mengobrol dengan Shana.


Pelajaran yang bisa dipetik dari bab ini: jangan pamer bojo ke temen. Kena tikung, hancur sudah 😭

Tapi pasti ada yang mikir kenapa istrinya Raka kubuat begitu. Sengaja kok. Tapi yang mau aku tekankan di bab ini adalah, komunikasi itu penting. Jangan adu ego, apalagi otot. Bukannya nemu jalan keluar, malah lari ke jalan pintas 😭

Nis, kok Anda sok iye sekali padahal belum nikah? Kan ada gugel, Sayang. Bisa searching tanpa harus mengalami dulu 😭

Oh, iya. Ini kan tema event ini cerita di balik lagu, ya. Nah, lagu yang aku ambil adalah lagunya Afgan yang judulnya Ku dengannya Kau dengan Dia. Deg-degan akoh baru kali ini nulis songfict.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro