Part Three - Hurt Feeling
Part Three - Hurt Feeling
Raka pikir ketika tiba di rumah ia disambut baik oleh istrinya, tapi kenyataan justru sebaliknya. Wulan masih sibuk menidurkan Arsyi dalam gendongannya meski meja makan sudah ada nasi, ikan gurame goreng, dan secangkir kopi. Saat Raka menyesap cairan itu, ternyata sudah dingin sekali. Entah sudah berapa lama kopi ini didiamkan. Harusnya Wulan tidak lupa kalau suaminya tidak suka kopi dingin. Selera makannya jadi hilang.
"Sayang, aku bawain bunga buat kamu." Raka masih berusaha mencairkan suasana. Mungkin Wulan akan sedikit luluh setelah melihat bunga yang dibawakannya.
"Taruh aja di meja, Pa. Jangan berisik!"
Raka mengatup bibirnya. Meletakkan buket bunga itu di meja, seperti yang diperintahkan istrinya. Wulan masih mengabaikannya. Dan itu membuat Raka kecewa.
Tak mau ambil pusing, Raka bergegas menaiki tangga menuju kamar dan masuk ke kamar mandi. Usai melepas pakaian, ia menyalakan shower lalu berdiri di bawahnya. Membiarkan rambutnya diguyur air agar rileks. Saat matanya terpejam, bayangan wajah Shana tiba-tiba terlintas. Sontak Raka membuka mata dan terhenyak agak lama.
Kenapa di saat seperti ini bayangan Shana selalu hadir? Kenapa bukan Wulan?
Raka segera menyelesaikan mandinya. Mengenakan handuk, ia beranjak keluar, membuka lemari, mengambil kaus dan celana pendek, menutup pintu lemari kembali, lalu mengenakan pakaian tersebut. Sampai detik ini belum ada tanda-tanda Wulan masuk ke kamar, itu artinya Arsyi masih menguasai.
Pria setinggi 175 sentimeter itu menutup pintu kamar. Kakinya beranjak memasuki sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk bekerja. Raka mengempaskan diri di sofa panjang. Badannya benar-benar lelah. Dulu sebelum Arsyi ada, Wulan akan senang hati memberi pijatan dan berakhir dengan adegan ranjang. Dulu ia bisa menghabiskan malam bersama Wulan tanpa terganggu dengan siapa pun. Dulu tanpa diminta pun, Wulan selalu menyiapkan baju ganti saat Raka sedang mandi.
Kini semuanya telah hilang. Raka merasa asing di rumah sendiri.
Besok hari ulang tahun Wulan, semoga saja nasib baik masih berpihak pada Raka.
Shana tampak gelisah di kamarnya. Sudah jam setengah sepuluh malam, tapi Bagas belum pulang juga. Tadi sore suaminya bilang kalau ada sedikit kendala di salah satu cabang dan akan segera kembali jika sudah seleksi. Namun, sampai kapan Shana harus menunggu?
Shana merapatkan jubah piyamanya. Lantas membuka pintu dan beranjak keluar. Kaki jenjangnya menuruni tangga pelan-pelan sembari berpegangan pada tiang. Sesekali ia menyelipkan anak rambutnya ke telinga.
Dapur menjadi tujuan Shana. Niatnya ingin mengambil air putih, tapi ternyata di sana masih ada Mbok Sumi, asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak orang tua Bagas meninggal. Shana berinisiatif membantu wanita itu.
Bisa dibilang Mbok Sumi yang menyaksikan pertumbuhan Bagas. Tidak heran jika Bagas sangat menyayangi beliau. Di sini Mbok Sumi tinggal bersama dengan suami dan satu anak perempuan yang masih duduk di bangku kuliah. Tidak usah ditanya lagi siapa yang membiayai hidup bahkan sekolah anaknya Mbok Sumi. Inilah yang membuat Shana jatuh hati pada Bagas. Suaminya itu tidak tanggung-tanggung jika membantu sesama.
"Mbok, kenapa belum tidur?" Shana sudah berdiri di samping wanita itu. Meraih piring dan lap kering.
"Lho, Non juga kenapa belum tidur?"
"Kak Bagas belum pulang, Mbok. Gimana bisa tidur?"
"Yang sabar ya, Non. Dari dulu belum berubah juga. Kalau sudah kerja lupa sama segalanya. Mbok jadi gemas."
Shana tersenyum kecil. Kehadiran Mbok Sumi sedikit menghibur Shana yang sering ditinggal Bagas. Shana yang awalnya tinggal bersama ibu menganggap Mbok Sumi seperti ibunya sendiri. Statusnya tidak menghalangi mereka.
"Untung ada Mbok. Kalo nggak ada, aku pasti kesepian setiap malam."
"Nanti Mbok coba bilangin ya, Non. Kasian Non ditinggal terus."
Shana menumpuk piring yang sudah dielap. "Nggak usah, Mbok. Aku nggak papa. Lagian Kak Bagas bukan keluyuran nggak jelas. Seenggaknya masih berfaedah."
"Pantas Den Bagas milih Non jadi istri, wong orangnya baik. Masih bisa berpikir positif padahal udah sering ditinggal sendirian."
Lagi-lagi Shana hanya bisa tersenyum kecil. Memang itu yang bisa ia lakukan. Hatinya sedikit terhibur mengingat Bagas berjuang membahagiakan dirinya, meski hadirnya tidak ada.
Di tangan Shana kini ada segelas air putih. Ia bawa ke kamar. Setelah menutup pintu, ponselnya berdering dan menyala. Shana segera meraih benda itu. Awalnya mengira Bagas yang menghubunginya, tetapi nama Raka yang terlihat.
Shana menimang-nimang ponselnya. Haruskah ia angkat telepon dari Raka? Detik berikutnya, Shana memilih untuk tidak mengangkat, tapi bukan tombol merah yang tergeser, melainkan tombol hijau. Shana gelagapan. Telepon sudah tersambung.
Dengan ragu, Shana menempelkan ponsel ke telinga. "Halo, Raka."
"Kok lama angkatnya? Kamu udah tidur, ya?"
"Belum. Tadi aku habis dari kamar mandi." Shana memilih berbohong.
"Kenapa belum tidur?"
"Kak Bagas belum pulang. Aku nggak mungkin bisa tidur kalau dia belum ada di rumah."
"Jadi, sampai sekarang Bagas belum di rumah?"
"Belum, Raka. Barusan, kan, aku bilang dia belum pulang."
"Bagas ini gimana, masa dia biarin istri secantik kamu sendirian di rumah. Kalau aku jadi dia, udah pasti aku cepet-cepet pulang. Nggak mau bikin kamu sendirian."
Shana memilih duduk di pinggir ranjang, menghadap ke pintu kamar mandi. "Kamu sendiri kenapa belum tidur?"
"Aku nggak bisa tidur. Nemenin Wulan yang masih mengasuh Arsyi. Maklum anak kecil masih butuh ibunya malam-malam."
Bulu kuduk Shana meremang. Beruntung sekali Wulan memiliki suami yang pengertian seperti Raka. Sementara dirinya? Sampai sekarang Bagas belum tiba.
Shana menghela napas dan didengar oleh Raka.
"Kamu kenapa?"
Shana tergagap. "Nggak papa."
"Kamu kalau ada masalah jangan sungkan cerita sama aku, ya. Kali aja kamu butuh teman curhat."
"Aku nggak papa kok. Terima kasih tawarannya."
Terdengar suara gesekan sepatu beradu dengan lantai. Spontan Shana bangkit dan tersenyum semringah. Di hadapannya sekarang, Bagas sedang berjalan menghampirinya. Shana segera mematikan ponselnya tanpa pamit dengan Raka.
"Hai." Bagas langsung menarik tubuh mungil istrinya ke pelukan. Mengusap kepalanya dan mengecupnya beberapa kali. "Maaf aku terlambat."
Shana mengambil jarak, meraih tangan sang suami untuk dicium. "Nggak apa-apa, Kak. Aku ngerti."
Bagaimana bisa Shana protes? Bagas begini karena dirinya. Ya, Shana tidak mungkin meminta lebih. Ia tak mau dicap perempuan yang tidak bersyukur.
Namun, jujur saja, hatinya menginginkan Bagas selalu ada di sampingnya. Berbagi keluh kesah seperti saat masih pacaran dulu. Shana merindukan momen melihat senja bersama laki-laki itu. Shana begitu merindukan pelukan hangat dari Bagas saat tidur. Kebiasaan yang kini memudar. Shana merasa kehilangan.
Bisnis yang dikelola Bagas berkembang pesat. Mau tidak mau ia harus selalu berada di luar, meninggalkan Shana bersama sepi. Shana memilih mengalah. Toh, Bagas tidak menyimpang. Ia bekerja demi bisa membahagiakan istrinya. Namun, Shana khawatir, apakah hatinya cukup kuat untuk bertahan dalam keadaan seperti ini?
Bagas mulai bersih-bersih diri di dalam kamar mandi. Shana menyisir rambutnya, memakai wewangian sembari menunggu Bagas selesai. Lima belas menit kemudian, Bagas keluar. Wajahnya tampak segar. Shana kemudian bangkit, menghampiri sang suami. Memasang senyum terbaiknya.
"Kakak capek?"
"Iya nih. Tadi jauh banget perjalanannya."
"Mau aku pijetin, Kak?"
"Nggak usah. Aku mau istirahat aja. Siapa tau besok pagi hilang capeknya."
Kemudian Bagas mengambil posisi telungkup di kasur. Lama-lama terdengar dengkuran halus dari bibir tebal laki-laki itu. Shana yang masih berdiri mendesah kecewa. Lagi-lagi Bagas mengabaikannya.
Alhamdulillah, tiga bab sudah selesai. Sampai ketemu di bulan Februari, ya.
Happy New year, everyone! 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro