Special Day [Gaku Birthday]
PLAKK
Suara tamparan yang mendarat di pipi pemuda berambut keabuan itu menggema di seluruh mansion megah milik pengusaha ternama di Tokyo.
"Sampai kapan kau akan terus menguji kesabaranku dengan semua kalakuanmu itu? Balap liar, berkelahi di sekolah, tawuran, bolos mata pelajaran. Aku tidak menyekolahkanmu untuk menjadi seorang berandalan, Gaku!" Bentak Yaotome Sousuke. Kepala keluarga itu tak habis fikir dengan kelakuan putra semata wayangnya ini. Untuk kesekian kalinya, ia di panggil oleh pihak sekolah karena kelakuan Gaku. Anak itu terlibat perkelahian yang menyebabkan lawannya masuk rumah sakit.
Untung saja Gaku tidak ditahan polisi karena ada beberapa saksi yang mengatakan bahwa putranya ini melawan hanya untuk membela diri.
Sejak kematian sang istri, sifat Gaku memang berubah 180 derajat. Anak itu jadi lebih pendiam dan sering pulang malam, bahkan akhir-akhir ini anak itu jarang pulang. Prestasi di sekolahnya pun menurun, entah apa yang membuat putranya itu berubah hingga seperti ini.
"Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang me-..."
"Kau yang membuatku seperti ini." potong Gaku tajam. Setajam tatapan matanya yang kini memandang sang Ayah yang diam terpaku.
"Jaga bicaramu, Yaotome Gaku! Aku tidak mendidikmu untuk menjadi anak yang kurang ajar!"
"Cih! Seperti kau pernah mendidikku saja."
"KAU!"
Tangan Sousuke kembali terangkat hendak menampar Gaku untuk kesekian kalinya.
Meskipun akan merasakan kembali tamparan dari sang ayah, tatapan Gaku tidak berubah. Manik abunya tetap menatap tajam Sousuke tanpa rasa takut sedikit pun.
"Ada apa? Ayo tampar lagi, Ayah." Gaku berucap begitu mendapati tangan sang Ayah hanya menggantung di udara.
"Dari dulu kau memang tidak pernah peduli, kan? Bagimu orang-orang hanya produk, pendukung, atau saingan. Kau hanya memikirkan uang dan ambisi. Alasanmu merawatku juga karena kau pikir aku bisa menghasilkan uang. Karena apa? Karena hanya aku anakmu satu-satunya yang bisa meneruskan perusahaan milikmu itu." Gaku mendecih kesal. Ia merasa muak dengan semuanya. Entah itu Ayah, ataupun dirinya sendiri.
Sousuke terdiam mendengar perkataan putranya itu. Seperti itu kah ia di mata Gaku? Sungguh, ia tidak bermaksud seperti itu. Apakah sikapnya sehari-hari begitu buruk? Sehingga putranya sendiri meragukannya seperti ini.
Di balik sikapnya yang terkadang acuh dan terlalu sibuk bekerja, Sousuke juga mempunyai perasaan sedih yang mendalam ketika hal-hal buruk menimpa anak dan keluarganya. Contohnya ketika ia melihat Gaku yang seolah tidak bernyawa ketika tau bahwa ibunya sudah meninggal. Tangis Sousuke mungkin tak terlihat, tapi jika kalian melihat dari sorot matanya, kesedihan tampak jelas di mata abu milik pria paruh baya itu.
Semua orangtua sangat menyayangi anaknya, begitu juga dengan Sousuke. Sikapnya mungkin begitu kaku sampai membuat Putranya sendiri tidak nyaman. Seringkali Gaku memilih menghindar atau menjaga jarak dengannya.
Tapi percayalah, kalau Sousuke sungguh-sungguh menyayangi Putranya itu. Ia hanya tak seperti mendiang sang Istri yang bisa menunjukan ekspresinya dengan lepas. Nyatanya, kasih seorang Ayah sama besarnya dengan Ibu, buktinya ia rela bekerja keras demi membahagiakan keluarganya.
Hey, Ayah mana yang tidak menyayangi anaknya? Singa yang ganas sekalipun tidak akan menyakiti anaknya, bukan? Begitu pula Sousuke. Namun tampaknya, Gaku memiliki pandangan yang berbeda terhadap Ayahnya itu.
Melihat sang ayah yang masih terdiam membuat Gaku mendengus dan memilih melangkah meninggalkan Sousuke setelah sebelumnya menyambar jaket dan kunci motornya yang tergeletak di sofa ruang tamu.
'Brak'
Suara pintu yang ditutup dengan kasar menyadarkan Sousuke dari lamunannya. Pria paruh baya itu menghela nafas begitu menyadari Gaku sudah tidak ada di hadapannya.
.
.
.
.
.
.
Desir angin membelai surai keabuan milik Gaku. Mata yang biasa menyorot tajam itu kini memandang sendu sederet nama di atas batu nisan yang ada di hadapannya.
Hari menjelang sore begitu Gaku tiba di tempat ini. Sebuah pemakaman tempat mendiang Ibunya disemayamkan.
"Ibu, bagaimana kabarmu?" tanya Gaku lirih seraya berjongkok di dekat makam sang Ibu. Pria itu terlihat begitu rapuh sekarang. Seolah title berandal yang disandangnya selama ini tidak pernah ada.
Gaku memaksakan sebuah senyum. Tangannya terangkat mengusap nama sang Ibu. "Hari ini ulang tahunku. Dan teman-teman di kelasku merayakannya. Aku bahagia karena mereka peduli padaku. Mereka adalah orang asing, namun entah kenapa orang asing bahkan terasa seperti keluarga jika dibandingkan dengan keluargaku sendiri."
Terdiam sesaat.
"Ayah juga memberiku hadiah, kok. Yahh, walaupun itu sebuah tamparan di pipi." Gaku terkekeh parau, "Ibu, aku hanya membela temanku. Dia hampir saja dilecehkan oleh bajingan itu. Ibu sendiri yang bilang, bahwa kita harus melindungi orang yang kita sayangi, kan? Orang itu juga menghina Ibu. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja."
Tangan Gaku terkepal erat begitu ingatannya berputar pada kejadian di sekolahnya tadi pagi.
Flashback
"Aku tidak bisa, Mido-san."
"Oh? Kau menolakku karena si bajingan itu, kan?"
Sayup-sayup Gaku mendengar percakapan dua orang yang kini berada di depan sebuah gudang tak terpakai ketika ia menunggu teman-temannya. Dari jauh tentu Gaku sudah tau siapa kedua orang itu. Mereka adalah [Full Name] dan juga Mido Torao.
Alis Gaku seketika menukik. Sedang apa gadis itu di tempat sepi seperti ini dengan Torao? Apa yang mereka lakukan?
Oke, Gaku memang berandalan, tapi ia tidak se-brandal Torao yang merokok dan juga mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Itu sebabnya ia merasa sedikit khawatir melihat [Name] berdekatan dengan pria itu.
Karena rasa ingin tahu yang besar, Gaku terus memperhatikan mereka hingga manik abunya melebar begitu melihat apa yang hendak Torao lakukan pada gadis yang sudah mencuri hatinya sejak kelas 1 SMA.
Tanpa pikir panjang, Gaku segera berlari menghampiri keduanya dan lantas meraih kerah belakang seragam Torao sebelum melayangkan pukulan ke wajah pria bersurai coklat itu.
Bugh
Torao sedikit terhuyung sebelum melihat siapa orang yang telah mengganggu privasinya. Pria itu mendecih begitu mendapati Gaku kini berdiri menjulang di depannya.
"Are? Lihat siapa yang menjadi pahlawan kesiangan." ujar Torao sinis seraya mengusap darah di sudut bibirnya. 'Sial. Pukulannya kuat juga.'
"Berhenti bertingkah menjijikan, Torao." ucap Gaku tajam, setajam tatapannya yang kini balik menatap Torao.
"Aku? Bukankah kau yang menjijikan? Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya. Anak yang menjijikan lahir dari rahim seorang wanita yang menjijikan pula. Menyedihkan."
"Tutup mulutmu, brengsek."
Tanpa ragu, Gaku kembali melayangkan pukulan pada wajah Torao, membuat wajah tampan itu kembali dihiasi luka lebam. Gaku tidak membiarkan Torao untuk membalas, ia sudah dibutakan oleh rasa marah karena Torao berani menghina ibunya.
Semua orang boleh menghina dirinya, tapi tidak dengan Ibunya. Gaku akan dengan senang hati memberi orang itu pelajaran dan membuatnya pergi ke alam baka sekalian.
Torao memang seolah memiliki dendam pada Gaku. Hal itu terjadi karena dulu Torao pernah kalah balapan darinya, ditambah Gaku menolak ketika Torao mengajaknya bergabung dengan geng pria berambut coklat itu.
Mungkin karena sakit hati, Torao jadi melabeli Gaku sebagai musuhnya. Dia akan mengusik orang-orang yang berada di sekitar pria bersurai abu itu. Torao sangat tahu, Gaku memang tidak peduli pada apa yang menimpa dirinya sendiri. Meskipun pria itu dihadapkan dengan kematian sekalipun.
Tapi tidak dengan orang-orang di sekitar Gaku. Seperti kedua sahabatnya, atau gadis yang disukainya. Terlebih, jika hal itu menyangkut Ibunya yang sudah meninggal. Gaku akan mengeluarkan reaksi yang ditunggu-tunggu Torao, yaitu kemarahan dan hasrat ingin membunuh.
Lidah memang lebih tajam daripada pedang. Dan rasa sakit yang ditimbulkannya pun tidak mudah untuk dihilangkan. Meskipun Torao tidak bisa membuat Gaku merasakan rasa sakit karena luka fisik, setidaknya ia puas melihat adanya luka yang terlihat jelas di mata abu itu.
Di sisi lain, [Name] melihat pemandangan di depannya dengan mata melebar. Matanya kembali berair, lidahnya kelu, dan kakinya seolah terpaku di lantai yang ia pijak. Melihat perkelahian antara Gaku dan Torao, membuat [Name] seolah kembali ke masa lalu ketika ia melihat Ibunya dipukuli oleh Ayahnya sendiri.
'Tidak. Kau tidak boleh seperti dia, Gaku'
[Name] baru saja akan mengambil tindakan saat Tenn dan Ryu akhirnya datang untuk menghentikan aksi brutal yang Gaku lakukan.
"Gila ya?! Kau mau membunuh orang, hah?!" Tenn berteriak pada Gaku setelah berhasil melepaskan Torao dari cengkraman sahabatnya itu.
Sedangkan Ryu, pria itu menghampiri Torao yang kini sudah tidak sadarkan diri.
"Dia pingsan. Kita harus membawanya ke rumah sakit." ucap Ryu seraya menatap kedua temannya yang masih saling menatap tajam. Pemuda jangkung itu menghela napas sebelum beralih pada sosok lain yang berdiri bagai patung di belakang tubuh Gaku.
"[Name]? Daijoubu?" tanya Ryu khawatir.
Gaku yang mendengar Ryu menyebutkan nama [Name] segera tersadar dan menoleh pada gadis bersurai [hair color] itu. Tatapan yang tadinya tajam bak mata pedang, kini berubah sangat lembut meski raut khawatir kini mendominasi wajah tampan pemuda bersurai abu itu.
Langkah kaki Gaku membawanya lebih dekat dengan [Name]. Tangannya terangkat dan segera bergerak untuk menghapus airmata yang kini membasahi wajah cantik gadis di depannya.
Gaku merasa bodoh. Ia tahu trauma yang dialami [Name], namun dirinya malah membuat gadis itu kembali menyaksikan kejadian yang sama namun pada waktu dan oleh orang yang berbeda.
"Maaf harus membuatmu melihat semuanya."
Flashback End
"Aku baru tau seorang berandal sepertimu bisa mellow juga."
Gaku tersentak. Pria itu segera menoleh ke asal suara hingga manik abunya mendapati dua laki-laki dan satu orang perempuan yang mengenakan seragam seperti dirinya.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Seorang laki-laki berambut putih kemerahan mengangkat bahunya cuek, "Entahlah. Piknik, mungkin." jawabnya asal.
Gaku mendengus seraya bangkit dari posisi jongkoknya sebelum berjalan menghampiri ketiga temannya itu, "Hanya orang bodoh yang piknik di pemakaman, Tenn."
"Dan kau juga orang bodoh yang bergalau ria di pemakaman."
"Aku tidak galau."
"Ya, kau galau."
"Tidak."
"Iya."
"Tidak."
"Iya."
"Tidak."
"Sudah, sudah. Sekarang kalian malah bertengkar di pemakaman. Konyol."
"Gaku yang duluan, Ryu."
"Dasar tukang fitnah." Gaku mencibir. Tangannya terangkat untuk mengapit leher Tenn hingga pemuda bermata kucing itu berteriak kesal dan mengeluarkan sumpah serapah.
Ryu hanya menggeleng melihat kelakuan kedua temannya itu, "Kalian membuat [Name] menyaksikan tingkah bodoh kalian."
Mendengar kalimat Ryu, seketika Gaku dan Tenn memisahkan diri. Tenn masih mengeluarkan sumpah serapahnya meskipun dengan suara pelan, sedangkan Gaku, pria itu menoleh pada [Name] yang kini tengah menatapnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"M-maaf. Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu."
Gaku menghela napas, "Aku baik-baik saja. Harusnya kau mengkhawatirkan dirimu sendiri."
"Aku juga baik-baik saja. Terimakasih sudah menolongku. Jika kau tidak datang, mungkin aku ...."
"Sudahlah. Tidak usah kau ingat-ingat lagi. Yang penting semuanya sudah baik-baik saja." Gaku tersenyum seraya mengusap puncak kepala [Name], membuat gadis itu sedikit salah tingkah dibuatnya.
Tenn dan Ryu saling bertukar pandang. Untuk sesaat mereka serasa seperti obat nyamuk di antara dua sejoli itu. Mereka tahu, dari dulu Gaku memang menyukai gadis berambut [hair color] itu. Namun menyaksikan "kemesraan" itu secara langsung membuat keduanya tidak nyaman juga.
Alhasil, Tenn segera mengambil tindakan.
OHOK!
Gaku segera menarik tangannya dan menoleh pada Tenn yang tadi terbatuk.
"Kau kenapa? Tersedak biji karet ya?"
"Tersedak cintamu, Gak."
Gaku bergidik, "Kau membuatku merinding, Tenn."
"Lebih merinding lagi jika kita tetap di sini. Hari sudah mulai gelap, lebih baik kita segera pulang. Lagipula, kau belum men-traktir kami tahu. Aku bahkan tidak makan siang karena kupikir kau akan men-traktir kami waktu jam istirahat."
"Kau bahkan tidak memberiku hadiah. Kenapa aku harus men-traktirmu?" Seringai Gaku muncul saat melihat Tenn yang kini tampak kesal. Menggoda si tsundere yang satu ini memang selalu menyenangkan banginya.
"Oh? Kau mau hadiah? Baiklah..."
Sreeettt
Nyuutt
"Itu hadiahmu. Ayo kita pergi, [Name]." Tenn segera menarik tangan [Name] yang hanya bisa cengo di tempat, meninggalkan Gaku yang sibuk mengaduh kesakitan karena Tenn baru saja menginjak kakinya dengan kekuatan maximal.
"Sialan kau pinky boy. Tunggu pembalasanku, aku ak-...." kalimat Gaku terhenti, begitu pula langkah kaki Tenn dan [Name] begitu mereka mendapati seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Ayah?" ucap Gaku lirih. Untuk apa Ayahnya datang kemari?
"Kami akan menunggumu di depan. Selesaikanlah dulu urusanmu dan Ayahmu di sini." Kalimat Tenn membuat Gaku menoleh pada pemuda mungil itu.
"Hah? Untuk apa? Aku tidak punya urusan dengan ...."
"Gaku, kami tau kau berada di sini pun dari Ayahmu." Ryu menatap Gaku dengan tatapan yang sulit diartikan, "Itu bukti bahwa Ayahmu peduli dan mengerti dirimu dengan baik."
Gaku terdiam seraya menundukkan kepalanya.
"Gaku-kun, aku memang tidak tau masalahmu. Tapi tidak ada salahnya mendengar Ayahmu berbicara." ucap [Name] disertai senyum tipisnya. Gadis bermata [eye color] itu memang tidak tahu masalah pribadi Gaku dengan Ayahnya, karena memang hubungan mereka tidak sedekat hubungan antara Gaku dengan Tenn dan juga Ryu. Mereka berdua adalah sahabat Gaku sejak SMP.
Namun entah apapun masalah Gaku dan Ayahnya, [Name] berharap semoga hubungan Ayah dan anak itu bisa kembali membaik.
Kehilangan kasih sayang Ibu sudah cukup buruk, maka jangan sampai Gaku kehilangan kasih sayang Ayahnya juga.
Mendengar nasihat ketiga orang itu, akhirnya Gaku hanya bisa menghela napas. "Terserah kalian sajalah."
Ryu, Tenn dan [Name] lantas tersenyum mendengar kalimat Gaku. Meskipun terdengar malas, namun mereka yakin Gaku menerima nasihat mereka.
Ketiganya segera berjalan meninggalkan pemakaman. Membungkuk sesaat ketika sampai di depan Yaotome Sousuke sebelum kembali melangkah meninggalkan Ayah dan anak tersebut.
Hening. Hanya desau angin yang mengiringi langkah kaki Sousuke yang kini menghampiri makam sang Istri dengan Gaku yang masih tercenung di tempatnya berdiri.
Pria paruh baya itu meletakkan satu buket bunga Lily di samping bunga serupa yang ia yakini pastilah dari putranya itu.
"Tidak terasa, sudah tiga tahun Ibumu pergi meninggalkan kita." Sousuke membuka suara tanpa mengalihkan pandangannya dari pusara sang Istri, "Gaku, apakah kau ingat? Ketika kecil, kau bernaung di dalam pelukan Ibumu, membiarkanku melindungi, mengarahkan, mengajarkanmu hal-hal yang perlu kau tahu dalam menghadapi dunia ini. Aku berusaha memberikan cinta dan perhatian kepadamu, meski terkadang kau tidak dapat mengerti caraku melakukannya. Pada akhirnya, kau percaya bahwa kau akan aman selama aku ada bersamamu, karena aku yang memberi kehidupan kepadamu. Bahkan, kau menganggapku superhero-mu."
Gaku masih terdiam dalam posisi membelakanginya. Namun Sousuke tau, bahwa putranya itu pastilah mendengarkan setiap kata yang ia ucapkan.
"Saat beranjak dewasa, kau mulai memiliki pendapatmu sendiri. Seringkali, pendapat kita bertentangan dan mulai terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil. Katamu, aku tidak dapat mengerti era yang sedang kau jalani. Kau mulai melakukan semuanya dengan caramu sendiri. Di satu sisi memang aku merasa kecewa, karena aku tidak lagi dapat mengarahkan bayi kecilku dalam menjalani hidupnya. Namun di sisi lain aku juga merasa senang dan bangga, karena bayi kecilku mulai dapat memegang prinsipnya sendiri, siap menjadi manusia yang mandiri."
"Sejak saat itu, perlahan matamu mulai terbuka bahwa aku tidak sesempurna yang kau harapkan. Kau mulai menyadari bahwa aku juga dapat melakukan kesalahan. Mungkin awalnya hanya kesalahan-kesalahan kecil karena aku tidak dapat mengertikanmu. Namun kemudian, ternyata aku juga melakukan beberapa hal yang kujadikan larangan untukmu. Parahnya, aku juga dapat melakukan hal-hal yang tabu dan bahkan ketika kau sekadar membicarakannya saja dapat membuatku marah. Aku tidak lagi menjadi orang tua yang baik bagimu." Tatapan Sousuke yang biasanya tajam kini tampak menyendu,
"Di saat itu, aku tahu kau hancur. Aku tidak sempurna. Aku bukan superhero seperti yang kau percayai. Ternyata aku hanya manusia, sama sepertimu. Aku hanya manusia yang memiliki berbagai kelemahan, yang dapat termakan oleh godaan, yang dapat mengingkari perkataanku, yang dapat kehilangan kendali akan diriku sendiri. Hal lain yang menyedihkan bagimu adalah realita bahwa kau tidak bisa terus bersandar padaku lagi, bahwa kau harus mulai mencari jalanmu sendiri dan bertahan di dunia yang kejam ini."
"Untuk semuanya itu, aku ingin meminta maaf padamu. Maafkan aku, yang telah membuatmu percaya bahwa aku adalah superhero-mu, hanya karena aku ingin membuatmu merasa aman dalam dunia yang kejam ini. Maafkan aku, yang telah menyembunyikan kemungkinanku untuk melakukan kesalahan, hanya karena aku ingin menjadi figur yang dapat kau percayai. Maafkan aku, yang telah memasang lapisan-lapisan 'aku selalu benar', dan lupa mengajarkan padamu untuk menciptakan versi 'benar' yang dapat menjadi kekuatan bagi dirimu sendiri. Di atas semua itu, maafkanlah aku karena membuatmu marah dengan menghancurkan ekspektasi tinggi yang selama ini kubangun dalam dirimu."
Sousuke membalikkan tubuhnya sehingga ia bisa melihat Gaku yang kini semakin menundukkan kepalanya. Seraya tersenyum khas seorang Ayah, Sousuke kembali berkata, "Pada akhirnya, di atas segala keburukanku, aku ingin kau tahu bahwa aku bersyukur telah membawamu ke dunia dan memilikimu hingga saat ini."
Mendengar kalimat akhir Sousuke, Gaku kini menyadari bahwa selama ini ia juga keliru pada pemikirannya terhadap sang Ayah.
Pembawaan dan wibawa sang Ayah memang tak selembut dekapan ibunya, yang mungkin selalu menjadi rumah bagi Gaku. Tapi sebenarnya, bukan berarti Sousuke tak bisa menyayanginya. Ayahnya itu hanya menunjukkan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda.
Ah, mungkin memang sudah saatnya memperbaiki hubungan mereka.
.
.
.
.
.
.
.
.
Plak
Tenn kembali menepuk pipinya yang baru saja dicium nyamuk. Hari sudah mulai petang, namun Gaku belum juga keluar dari area pemakaman.
"Hey, apa sebaiknya kita susul saja? Aku takut Ayah dan anak itu baku hantam di sana." usul Tenn seraya menggaruk lehernya yang mulai gatal karena diciumi nyamuk dari tadi.
Ryu menggeleng. Tatapannya tetap terfokus pada pintu masuk pemakaman. "Kurasa tidak perlu. Mereka sudah keluar tuh."
Tenn segera menoleh. Dan benar saja, di sana ia mendapati Gaku tengah mengobrol ringan dengan Ayahnya.
"Kurasa hubungan mereka sudah lebih baik. Syukurlah." [Name] tersenyum tulus melihat keakraban yang terjalin di antara Gaku dan Ayah pria itu.
"Pokoknya aku mau minta Gaku traktir kita makan di restoran mahal. Badanku sudah habis digigiti nyamuk karena menunggunya di sini."
Mendengar kalimat Tenn, Ryu dan [Name] hanya bisa tersenyum maklum. Iyain sajalah. Kasihan juga tubuh kecil pria pinky itu habis dibabat nyamuk.
Sabar ya, Tenn. Yang penting Gaku bahagia di hari ulang tahunnya kali ini.
**************
Aku ga tau ya, ini feel nya dapet atau kagak, nyambung atau kagak :"
Di sini aku cuma pengen nunjukin sisi lain dari Papa Mertua. Karena aku yakin sejahat-jahatnya seorang Ayah, pasti dia peduli sama anaknya. Dan menurutku, Papa Mertua ga jahat2 banget. Itu terbukti pas mau gelar konser amal buat sebuah sekolah yang ternyata dulunya sekolah itu adalah sekolah Papa Mertua. Scene itu ada di vibrato episode 2 kalo ga salah. Dan Gaku dkk malah udah su'udzon duluan xD wkwkwk
Oke, aku juga mau ngucapin Selamat Birthday buat Ayang Gaku, sang husbu tertjintahhhh. Dari dulu umurnya segitu mulu masa, tambah tua dong. Biar kita menua bersama, eaaaaakkkk
Oiya, jangan lupa mampir ke Nistagram dan Roleplay ya. Di sana juga update khusus ulang tahun suami terlope-lope
Sekian, dan terima husbu :*
Bonus xD
"Semakin dewasa, pukulannya juga semakin terasa." lol
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro