Strong Will part 1
"Eh?"
Bola mata berwarna merah bersia jingga melebar beku. Informasi yang baru disampaikan membuat sel otak nya berhenti sejenak.
Dia perlu waktu untuk mencerna.
Riku yang duduk di bangku pemeriksaan tidak melepas pandangan nya dari sosok dewasa berjubah putih-saling berhadapan.
Dokter kembali melihat hasil catatan medis. Pasien satu ini rutin melakukan pemeriksaan dua minggu sekali terlebih, jika sering kambuh. Hari ini seharusnya seperti biasa, berharap hasil pemeriksaan tetap sama tapi ....
Tidak.
Riku datang melakukan pemeriksaan karena merasa tubuhnya kurang sehat beberapa hari ini.
Asmanya kambuh?
Bukan.
Kurang tidur?
Bukan.
Kecapekan?
Itu dia pertanyaan nya.
Riku selalu merasa mendadak lelah dan tak bertenaga bahkan ketika tidak melakukan apapun. Manajer mereka telah mengatur jadwal kerja dengan baik agar tak ada satupun yang memaksa kan diri hingga overworking. Lantas, kenapa?
Barulah diketahui hari ini.
Jauh di lubuk hati terdalam milik Riku.
Dia tidak mau menerima nya.
"Riku-kun, kau menderita penyakit yang disebut Pulmonary Artery Stenosis."
"..."
Riku masih diam mematung.
"Pul ... man, apa?"
"Pulmonary Artery Stenosis. Penyakit ini terjadi karena penyempitan pembuluh arteri paru-paru. Karena pembuluh darah arteri menyempit, paru-paru tidak mendapatkan jumlah darah yang dibutuhkan. Penyakit ini menyebabkan Cyanosis, penurunan tekanan darah."
"..."
"Untuk menyembuhkan nya bisa dengan operasi."
"Opera ... si ...."
Riku mendadak panik.
"A-apa, apa aku tidak bisa menyanyi lagi dokter? Apa aku tidak bisa menari lagi?!"
Dokter dengan segap namun lembut menyentuh bahu Riku. Memberikan tatapan meyakinkan.
"Riku-kun, penyakit ini bisa sembuh dengan operasi. Begitu sembuh, kau bisa kembali menari dan bernyanyi. Memang, hanya asma yang tidak dapat sembuh tapi, Pulmonary bisa disembuhkan!"
"..."
"Kau kenal Takigawa-sensei'kan?"
Riku tersentak mendengar nama yang disebutkan oleh dokter berusia empat puluh tahun ini.
"Kenal! Takigawa-sensei yang pernah merawatku dulu ketika sakit dan orang tuaku harus bekerja."
"Ya, dokter itu pernah melakukan operasi untuk Pulmonary. Jika kau siap dan ingin melakukan operasi-ah tidak, aku akan segera menghubungi nya. Takigawa-sensei saat ini ada di Sapporo."
"Eh?"
Dokter itu terkekeh kecil.
"Tenang, demi pasien dia akan kemari. Karena itu putuskanlah dengan baik-baik. Begitu Takigawa-sensei sudah dapat dihubungi dan menetapkan jadwal, aku akan menghubungi mu."
"Ah ... uhm."
"Juga, segera bicarakan hal ini dengan orang tuamu, kemudian manajer serta Sachou agensi mu. Bagaimana pun juga, kau harus dirawat sebelum terlambat."
"Uhm ... baiklah."
"Jika gejala semakin parah segera ke rumah sakit."
.
.
.
Riku melangkahkan kaki pelan memasuki pintu asrama.
"Aku pulang."
PYAARRR-!!
"Uwah?!"
"RIKU~~"
"Momo-san?!"
Tidak ada aba-aba Momo memeluk Riku yang masih berdiri di depan pintu. Otak kembali dibuat berhenti sejenak untuk mencerna. Merasa hari ini tidak ada janji berpesta, kenapa anggota Re:Vale satu ini meletupkan balon berisi serpihan kertas warna-warni?
Lalu, bau bir.
"Mo-Momo-san, kok di sini??"
"Untuk melihat junior manizku~~muuuuuuu~~"
"!!"
Momo hendak mencibir pipi Riku sebelum ditarik oleh penjaga setia.
"Momo-san tolong jaga sikap."
Izumi Iori.
"Ioriii juahaaat!! Ueeee Yuki~~"
Momo melepaskan diri berlari menuju ruang tengah.
Iori menghela nafas lelah.
"Ko-kok Momo-san bisa ada di sini?"
"Ah, itu karena kita libur hari ini. Kebetulan, TRIGGER dan Re:Vale selesai kerja. Mereka datang untuk-"
"Oh, Riku, Izumi Iori."
Riku menoleh dan terbelalak kaget. Kali ini, ZOOL yang datang.
"Touma-san?! ZOOL juga?!"
"Oh, Nanase kau tampak sehat."
"Yo."
"Selamat malam."
"Eh? Lho??"
Sungguh Riku bingung dengan situasinya sekarang.
"Nanase-san, selamat datang kembali, lalu selamat datang, Zool. Terima kasih sudah mau datang."
"Tidak, Yuki-san merengek meminta kami datang. Asumsi ku, mereka sedang mabuk bukan?" Ucap Minami sembari menepis poni nya kesamping telinga.
Iori menghela nafas.
"Benar."
"Eh? Heh??"
Iori menarik Riku dan mempersilahkan ZOOL untuk masuk.
"Wah ramai."
"Selamat malam. Maaf mengganggu."
"OHHH!! ZOOL DATANG! YEY!!!"
"HORAAYY!! MARI KITA TAMBAH SAKE NYA!"
"ADA ZOOL KYAH-!"
"AAHAHAHA MAEDO AHAHAH~"
"Soucchan, berhentilah berteriak seperti gadis."
"Hik ... mana bir nya? Tambah~~"
"Oh my, such a chaos ...."
"Yuki, Yuki hiks tadi, tadi, aku ingin memberi Riku ciuman kasih sayang ... hiks tapi, ditepis Iori uwaaaa~~"
"Momo~ tak apa. Kita culik saja nanti Rikunya."
"Maaf para senior, rencana jahat kalian terdengar jelas."
"Ten-kun juahaat~ aku juga ingin memanjakan Riku~~"
Riku tercengang.
Ramai dan sungguh kacau.
Yamato, Mitsuki, Sougo, Gaku dan Ryuu mabuk berat.
Begitu juga Re:Vale.
Tamaki yang mengawasi Sougo, Ten dan Nagi berada di kursi pojok sambil minum jus.
Oh, Mido Torao akan ikut bergabung untuk minum sake.
"Ten-nii."
Ten menoleh.
"Riku. Kau sudah pulang."
"Kenapa semua berkumpul di sini?"
"Menjenguk mu."
"Heh?"
Iori mendatangi Ten dan Riku usai menutup pintu dan menyiapkan tempat untuk anggota ZOOL.
"Sebenarnya, alasan kenapa hari ini kita libur, manajer menyadari bahwa kau kelihatan kurang sehat akhir-akhir ini. Sehingga semua memutuskan untuk ikut istirahat."
"Ah ...."
Riku mulai merasa bersalah. Dia belum memberitahu kan hasil pemeriksaan hari ini tapi, lihat? Dia sudah membuat orang cemas tanpa disadari.
Bagaimana jadinya jika mereka tahu aku harus di operasi?
"Riku?"
Riku tersadar dari lamunan. Nagi memberikan segelas jus jeruk.
"Ah, terima kasih, Nagi."
"No problem. Riku, kalau kamu ada masalah kamu bisa cerita. Raut wajahmu tidak seceria biasanya."
"Nagi ...."
"Oh! Riku, sudah pulang ya~ hik!"
Mitsuki dalam kondisi mabuk sempoyongan menghampiri Riku dan merangkul nya.
"Mitsuki!"
"Hik! Uh? Riku kau ... makin kecil saja."
"Heh?"
"Mitsu, tidak kau sendiri yang mengatakan 'kecil'. Tubuhmu juga kecil. Bahahahahhaha~~"
JDAKK-!!
Sebuah kaleng bir mendarat indah di kening Yamato.
"Wow, headshot."
"Tapi, jika dilihat memang Nanase-san semakin kurus." Ucap Minami yang duduk di kursi samping Nagi.
Ten yang mendengar itu langsung menepuk lengan dan meraba pinggul Riku.
"Ahaha! Ten-nii ngapain? Geli."
"Hmm. Riku, apa kau makan dengan benar?"
"Benar kok, Mitsuki selalu membuatkan sarapan dan bento."
"Tidur mu?"
"Aku sudah pastikan Nanase-san tidak bergadang. Tenang saja soal itu."
"Natsume-san benar. Kau semakin kurus, Riku."
"..."
"Bicara soal berat badan."
Touma datang dengan membawa segelas jus jeruk. Haruka sedang berbicara dengan Tamaki. Sougo diseret Yuki dan Momo untuk bermain raja dan pelayan.
"Warna kulitmu sedikit lebih pucat dari biasanya. Apa kau jarang berjemur, Riku?"
"Ah, bukan. Uhm ...."
Riku gugup. Dia ragu untuk menceritakan semua nya sekarang apa tidak dan dia tidak mau membuat semua orang khawatir.
...
Apanya?? Bukankah jika terlambat malah lebih parah keadaan nya?
Ryuu dan Gaku yang heboh menari dan bernyanyi tak sengaja mundur menyenggol kursi, dan tas milik Riku jatuh.
Terkutuk lah, Riku lupa meletakkan tas nya di kamar.
"Hm?"
Gaku melihat ada lembaran kertas keluar dari tas Riku dan mengambil nya.
"Hmm ... ini punya Nanase?? Hik."
"Eh? Apa-apa?"
Ryuu turut melihat dan membaca kertas yang di ambil Gaku.
Itu catatan kesehatan dan hasil ronsen tadi siang.
Walau keadaan mabuk berat, Gaku masih bisa membaca dengan baik. Ryuu turut mengintip dan membaca.
"Pulmonary?"
"Apa itu?"
"Mana kutahu! Oi, Nanase."
Riku terkejut namanya dipanggil.
"Y-ya-hah ....!!"
CA-CATATAN KESEHATAN KU!!
"Kau sakit?? Puliemom itu, hik! Apa??"
"Pulmonary, Ryuu. Iya, itu apa??"
"A ... ah ...."
Riku tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya hari ini dia seperti harus dipaksa melakukan sesuatu dengan cepat.
Seperti dikejar antara waktu dan takdir.
"Nanase-san kau sakit?"
Ten menoleh ke arahnya.
Tidak hanya Ten.
Satu ruangan senyap seketika begitu mendengar utaran Gaku dan Ryuu.
"Er ... itu, uhm ...."
"Riku."
Riku menoleh ke arah Nagi yang menatap nya dengan tatapan yang sedikit ... membingungkan.
Hahh, Nagi, jangan beri aku tatapam seperti itu. Tatapan itu, yang kau gunakan ketika Yamato-san dan Mitsuki bertengkar.
"..."
"Riku, aku menyadari kesehatan mu menurun akhir-akhir ini. Kami semua tahu betul, bagaimana dirimu berfikir jika merasa sudah merepotkan orang tapi, kali ini saja Riku ayo ceritakan. Firasatku, ini bukan kabar yang bagus. Aku tak mau kau menyembumyikan sesuatu terlalu jauh."
"Nagi benar. Kau terlihat memaksakan diri akhir-akhir ini."
Yamato juga ikut buka suara.
"..."
Huft, Nagi benar-benar berbakat jadi peramal atau, karena akunya yang terlalu buruk dalam berbohong?
"..."
Riku kembali menatap teman-teman yang lain. Mereka semua menunggu jawaban nya.
"Kami datang menjenguk mu."
Ah, jadi ini yang dimaksud Ten-nii ya.
Riku mengambil nafas dalam dan dihembuskan secara perlahan kemudian duduk di kursi.
Ten, Iori, juga Nagi ikut kembali duduk di kursi masing-masing. Semua menatapnya.
Riku mengangkat kepala.
Tatapan matanya yang lurus, melembut.
Kemudian dia tersenyum tipis.
"Aku ... mulai merasa dan menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhku mulai seminggu yang lalu, ketika semua masih jam kerja dan hanya aku yang sudah selesai pulang ke asrama untuk istirahat."
"..."
"Hari itu aku memang merasa lelah dan memutuskan untuk membuat secangkir teh susu hangat. Selagi memasak air, aku mencari gula. Mitsuki lupa mengisi toples gula nya. Aku menemukan nya di lemari meja bawah, ketika hendak berdiri ...."
"Aku pingsan."
"Eh?!"
"Tunggu, kenapa kau tidak memberitahu kami??"
Riku menggeleng.
"Sayang nya aku sadar lebih cepat, sebelum ada satu dari kalian yang pulang. Begitu sadar aku tergeletak dan air teko sudah mendidih. Aku pikir aku benar kelelahan waktu itu, makanya aku tidur lebih awal."
"Tetap saja, kenapa kau tidak memberitahu kami? Waktu itu, Mezzo pulang duluan."
Sebelum Riku menjawab pertanyaan Iori, Sougo terlebih dahulu membuka suara.
"Waktu kami pulang, Riku tertidur di sofa. Aku membangunkan dan menyuruh nya untuk tidur di kamar. Aku juga berfikir dia kelelahan, Tamaki juga langsung masuk ke kamarnya. Maaf, aku tidak menganalisis lebih tajam."
"Ah, bukan, itu bukan salah Osaka-san."
"Itu benar, Soucchan, jika saja aku lebih rajin, aku mungkin bisa menyadari Rikkun sakit. Kau tidak sendiri jika ingin disalahkan."
"Uhm. Terima kasih, Iori-kun, Tamaki-kun."
Tersenyum akan interaksi MEZZO, Ten menoleh.
"Lanjutkan."
Riku mengangguk.
"Aku pikir, besok aku kembali sehat. Ternyata tidak. Aku merasa sangat pusing ketika bangun. Itu berlanjut selama dua hari lalu membaik tapi, akhir-akhir ini aku mudah sekali merasa lelah. Karena khawatir dan aku sendiri merasa ada yang tidak beres dengan kondisi tubuhku, akhirnya memutuskan untuk periksa. Kemudian kita mendapat libur hari ini jadi, aku gunakan untuk pergi melakukan pemeriksaan ke dokter."
"Iya, manajer mengatakan bahwa Nanase-san tidak terlihat baik akhir-akhir ini. Makanya kita diberi libur."
Riku tersenyum kecut. Kembali mengambil nafas dan dihembuskan.
"Dokter, awalnya mengira aku mungkin mengalami anemia. Namun, aneh. Aku berbicara jujur bahwa aku selalu menjaga pola makan. Berhubung ada Mitsuki yang ketat urusan makanan dan Iori yang patroli tiap malam. Huft."
Iori menutup mata.
Itu benar.
Mitsuki mengangguk setuju.
"Aku tidak bisa membiarkan kalian kelaparan, dan gizi seimbang itu perlu."
Ten tersenyum kecil.
"Terima kasih, kakak beradik Izumi. Kerja bagus."
"Ehehe."
"Bukan masalah."
"Enaknya, aku juga mau punya istri seperti Izumi-brother."
"Momo-san ...."
Riku melanjutkan cerita nya.
"Karena aku berterus terang, dokter yakin aku tidak berbohong, akhirnya dilakukan ronsen untuk berjaga-jaga."
"Karena itu ya, Rikkun lama sekali di rumah sakit. Semua khawatir Rikkun kambuh di jalan."
"Ahaha, tapi aku membalas pesan di grup kan? Aku baik-baik saja."
"Lalu ini hasilnya?" Tanya Gaku, sembari mengangkat selembar kertas.
"Ya, dokter menemukan penyebab menurunnya kesehatan ku."
Riku menutup mata.
"Pulmonary Artery Stenosis. Penyempitan pembuluh darah arteri di paru-paru."
"!!"
"Eh?! Pembuluh darah?! Heh?!"
"Na-nanase-san, kau-"
Riku mengangkat tangan kanan nya, meminta keheningan sejenak untuk melanjutkan.
"..."
"Penyakit ini, menyebabkan Cyanosis. Penurunan tekanan darah. Itu alasan kenapa tensi ku rendah dan aku harus di operasi."
"..."
Kali ini tak satupun berucap.
Mereka terlalu kaget.
Rasa khawatir, cemas dan takut mulai menggerogoti perlahan.
"Terus, dokter menghubungi Takigawa-sensei yang ada di Sapporo. Beliau adalah dokter yang pernah melakukan operasi pada Pulmonary. Dokter juga bilang, penyakit ini bisa sembuh."
Sedikit lega. Bahu yang tadinya menegang, kini melemas.
Setidaknya, ada kabar baik.
"Riku ...."
"Uhm?"
"Kenapa harus Riku?"
"Eh?"
Ten mengulur kan kedua tangan, menyentuh, membelai kedua pipi Riku. Kepalanya tertunduk, poni rambut menutupi wajahnya.
"Kenapa, harus Riku lagi? Tidak kah yang lain?"
"... Ten-nii."
"Satu penyakit asma tidak cukup kah? Tuhan kenapa jahat sekali?"
"..."
"Ten." Ryuu memelas melihat reaksi langka dari seorang Kujo Ten ke adiknya.
Dia pasti sangat terpukul.
Di masa lalu, dia sudah berkorban dan berjuang agar Riku bisa sembuh. Sampai rela jika dibenci. Hanya, usaha nya terhalang oleh takdir.
Riku juga salah satu yang paling memahami perasaan Ten saat ini.
Kakak kembar nya satu ini selalu menahan tangis tiap dirinya harus di rawat inap.
Kini, dia harus mendengar kabar bahwa adiknya menderita satu penyakit lagi.
Sudah terpisah cukup lama, apa nasib tidak puas menyakiti ikatan mereka?
"Ten-nii ...."
"Jangan minta maaf. Aku tahu ini bukan keinginan mu."
"..."
Ten mengangkat wajah, memperhatikan wajah Riku yang mulai pucat. Pipi nya semakin tirus.
Tuhan, aku tak sanggup. Kenapa tidak kau beri saja penyakit itu padaku?? Kenapa lagi-lagi orang berhati tulus seperti Riku yang menderita lebih dulu? Kenapa ...? Anak ini bahkan baru saja bisa melangkah ke dunia luar.
Menyadari tatapan kakak nya. Riku memanggil.
"Ten-nii, aku pasti sembuh. Hanya tinggal menunggu dokter yang melakukan pemeriksaan tadi, menghubungi Takigawa-sensei. Lalu menentukan jadwal."
Riku menghela nafas gusar.
"Sejujurnya, aku tak siap disuruh bercerita secepat ini. Aku bahkan harus memberitahu manajer, sachou, dan orang tua kita."
"Jika ..., jika dokter bernama Takigawa itu tak bisa melakukan operasi padamu, aku akan minta tolong pada Kujo-san untuk mencari rumah sakit yang bisa-"
"Eeeeit, tidak-tidak! Jangan! Di masa lalu, dia sudah membantu membayar hutang keluarga kita, aku tak mau Ten-nii meminta sesuatu dan gantinya harus Ten-nii lagi."
"Eh?"
"Aku sudah berjanji pada ayah dan ibu untuk membawamu pulang suatu hari."
"..."
"Takigawa-sensei adalah dokter yang merawat ku dulu, ketika toko kita tutup permanen ayah dan ibu harus mencari pekerjaan di luar kota. Aku dititipkan ke Takigawa-sensei selagi mereka bekerja. Takigawa-sensei juga dokter yang berbakat. Percayalah aku akan sembuh."
"Riku ...."
Riku tersenyum.
Walau, sebenarnya dia tidak yakin.
"Rikkun."
Tamaki merangkak mendekati Riku kemudian menyandarkan wajahnya di paha Riku. Memeluk erat kaki Riku.
"Rikkun, pasti sembuhkan? Jangan pergi. Jangan menyerah ...."
"Tamaki."
"Jangan jadi bintang seperti ibuku."
"..."
"..."
Satu kalimat sudah cukup menggoyahkan keyakinan mereka bahwa Riku akan baik-baik saja.
Tidak ada yang berani berucap positif. Keraguan hadir.
Begitu juga Riku.
"Ya-yang jelas, kita hanya perlu menunggu kabar dari Takigawa-sensei bukan?"
Satu orang melawan rasa takut dan ragu, berusaha menyemangati suasana hati.
"Aku yakin, pasti Riku bisa sembuh! Dokter itu ada banyak! Pasti bisa!"
"Momo-san ...."
"Jika tidak bisa, maka aku akan membantu mencari informasi!"
Yuki tersenyum melihat sikap optimis pasangan nya.
Benar, saat ini yang mereka butuhkan adalah ....
Mencari jalan keluar dan celah untuk lari dari skenario terburuk.
"Jika khawatir urusan dana, aku bisa membantu." ucap Yuki.
"Hah! Aku juga! Aku punya tabungan yang banyak untuk membantumu, Riku-kun."
"Sougo-san ...."
"Oh, aku juga bisa. Kebetulan perusahaan Mido punya cabang di luar negeri seperti Osaka. Kita bisa mencari informasi dan fasilitas."
"Me too!!! Northmare juga punya banyak dokter hebat!"
"Torao-san, Nagi ...."
"Osaka Sougo, Mido Torao, kalian ada tabungan??"
"Ada."
"Ada dong."
Gaku ingin menguji ketahanan batin nya dan bertanya,
"Berapa?"
"Etto ..."
Sougo menghitung dengan jari, sebelum menjawab,
"Saat ini, empat trilliun."
"..."
"Bagaimana dengan Mido?"
"Huh? Beda dengan Osaka yang kabur membawa uang hasil nya sendiri. Aku tidak perlu tabungan. Nih."
Mido mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya.
"Black card."
"..."
"Without a limit."
"..."
Gaku kicep.
"Katakan saja rumah sakit mana yang peralatan nya lengkap. Tinggal berangkat."
Sialan, dasar anak orang kaya.
"Yuki, posisimu tergeser."
"Jangan disebut lagi, Momo. Level mereka berbeda."
"Ouwh, Yaotome-shi tidak bertanya padaku?"
"Latar belakangmu sebagai pangeran sudah cukup menjadi jawaban."
Yamato dan Mitsuki hanya bisa menyepitkan mata.
"Dasar anak orang kaya, kenapa pula kalian bekerja sebagai idol, coba?"
"Habisnya, mandi dalam tumpukan uang terus-menerus itu membosankan. Bertemu dengan orang-orang ini lebih mengasyikkan."
Diangguk setuju oleh Sougo.
"Anu, Torao-san, Sougo-san."
Semua kembali menoleh ke arah Riku.
"Terima kasih atas tawaran nya tapi, sungguh tidak apa. Lagipula aku juga sudah menabung dari hasil gaji pekerjaan ini. Untuk aku seorang cukup kok."
"Kalau gitu, gunakan sedikit saja, sisanya biar aku sumbangin."
"Wah, Mido-san berhati mulia sekali dirimu."
Minami menyindir. Torao tahu itu, dia tak bermaksud memuji.
"Ya, anggap saja penebusan dosa agar masuk surga."
"Jadi karena ada maunya ya?"
"Bukan begitu, Touma bodoh!"
"Riku-kun aku juga tidak mempermasalahkan biaya, aku ingin membantu. Biarkan aku untuk menyumbangkan sisanya."
Riku berada di posisi sulit. Anak dari keluarga kaya sudah bersabda, dia tak bisa melawan.
"Ta-tapi ...."
"Dilarang menolak."
Ucap Mido dan Sougo bersamaan.
Bagus. Riku tidak bisa berkutik. Saat bersamaan Riku sangat yakin jika dunia mengetahui dirinya mempunyai teman yang rela menghamburkan uang untuk nya ... manusia di seluruh dunia akan memutuskan cita-cita seperti, 'Aku ingin punya sahabat yang kaya raya'.
"Uhhh ...."
"Ten-nii, Iori bantuin~~"
Iori hanya mengangkat bahu
"Kalau begitu, kita semua bayar saja sama-sama. Patungan. Operasi ini akan memakan biaya besar. Mungkin, bisa mencapai 30 juta lebih. Kita tanyakan dan rundingkan nanti dengan dokter nya."
"Setuju."
"Wow. Kalian semua ada tabungan? Aku miskin, traktir dong."
"Haruka, jangan mengaku miskin. Tempo lalu bukan nya kau baru saja membeli sebuah televisi dan AC untuk nenekmu?'
"Touma, diam. Sit down."
"Aku bukan anjing!!!"
"Ahaha, setidaknya dari pekerjaan kita dan rajin menabung. Semua punya uang yang cukup untuk membeli sesuatu."
"Yama-san juga ada tabungan kan? Aku pernah melihatmu memasukkan uang ke bank. Oh! Aku juga ada!"
"What?! Tamaki menabung?!"
"Yotsuba menabung??!"
"Apaan sih Nagichii dan Isumin, tentu saja aku menabung!! Aku berencana untuk membeli rumah yang besar agar bisa ditinggali kita semua dan Aya!"
"Tamaki-kun ...."
"Ahahaha, senang nya, anak-anak muda pada rajin menabung."
"Intinya, kita semua menabung. Itu wajib."
Riku tersenyum. Hah, keraguan nya tadi sirna begitu mendengar percakapan santai mereka.
"Uhm Iori ...."
"Ya? Nanase-san?"
"Nanti, temani aku untuk menjelaskan ini kepada manajer dan sachou. Aku ...."
"Aku takut dikeluarin begitu tahu kondisiku memburuk."
"Riku ...."
"Itu tidak akan terjadi. Kita akan ajukan protes jika sachou mengatakan itu. Lagipula, aku yakin sachou akan mengerti. Aku akan menemanimu Nanase-san."
"Kenapa tidak semua ikut menemani?"
"Benar. Riku-kun tidak sendiri."
"... semuanya ...."
Tak kuat.
Sudah tak sanggup.
Setetes air mata turun begitu terbendung di kelopak mata.
"Hiks ... terima kasih."
"Terima kasih. Terima kasih. Huh ...."
Rasa khawatir nya, rasa cemas. Takut, serta sakit yang ia tahan begitu mengetahui penyakit yang diderita nya, melebur menjadi satu dan meleleh bagaikan salju mencair.
Riku membenamkan wajah di bahu kakaknya, begitu Ten memeluknya.
Iori menepuk pelan punggung Riku.
Malam ini, adalah sesi curhat Center idolish7.
Dalam sunyi, doa mengalir.
.
.
.
Usai sesi curahan hati Nanase Riku, bersama ke empat grup idol, membanjiri kantor Takanashi. Dua manajer mengerjapkan mata heran karena semua berkumpul di satu tempat.
Bukankah mereka melakukan pesta untuk menghibur Riku-san?? Kenapa semua kemari??
"Anu, ada apa kalian semua??"
Riku menggenggam erat tangan Ten dan Iori, gemetaran.
Takut.
Dia takut.
Iori dan Ten yang menyadari isyarat fisik, menggenggam erat kembali tangan Riku. Membuat nya sadar bahwa ada semua di sini untuk membantu.
Riku tersenyum.
Mengambil nafas, hembuskan.
"Sebenarnya, ada yang mau aku katakan ...."
.
.
.
"Begitu ... kapan pelaksanaan operasi nya?"
Riku menggeleng.
"Belum tahu. Hanya tinggal menunggu kabar dokter soal Takigawa-sensei. Takigawa-sensei lah yang akan melaksanakan operasi nya."
"Begitu ...."
Semua sedang berkumpul di satu ruang tamu. Sachou juga hadir.
Cahaya manik bergetar. Tsumugi dan Banri merasakan cemas yang dirasakan oleh yang lain.
"..."
"Maaf ...."
"Riku-san ...."
"Aku lagi-lagi ...."
Iori segera menepuk pundak Riku pelan.
Kemudian mengusap punggung nya. Nanase Riku selalu mengkhawatirkan hal-hal seperti ini walau sudah diberitahu untuk tidak dipikirkan.
Tidak ada yang salah.
Tidak perlu menyalahkan diri.
Semua terjadi di luar kehendak.
"Tolong jangan menundukkan kepalamu, Riku-san."
Riku perlahan mengangkat kepalanya dengan manik yang bergetar menatap dua manajer dan Sachou.
"Tidak ada yang mengalahkan mu. Aku akan marah jika Riku-san terus meminta maaf. Ini terjadi, pada siapapun bisa. Aku tidak akan mengeluarkan mu hanya karena hal ini. Bahkan ..., bahkan jika ..., jika Riku-san hanya bisa berdiam di kasur pekerjaan Riku-san tetap milik Riku-san. Menghibur para fans ada banyak beribu cara, selama kita terbuka satu sama lain, pasti!"
Banri melihat perkataan Tsumugi tersenyum dan beralih menatap Riku.
"Riku-kun, apa yang manajer bilang itu benar. Aku lega, setidaknya ada jalan walau harus menggunakan operasi yang lebih utama, adalah kesehatan mu."
"Serta kebahagiaan mu."
Perkataan Banri disambung oleh kepala keluarga Takahashi.
"Sachou."
"Untuk saat ini yang bisa kami berikan kepadamu adalah dukungan secara mental. Aku mau kamu menerima kepercayaan kami dan tidak perlu khawatir soal hal-hal tentang pekerjaan atau agensi. Karena baik aku maupun manajer dan member mu, tidak ada yang berniat memberhentikan mu."
"..."
"Kau telah sampai pada detik ini. Kerja bagus, Riku-kun. Aku sangat yakin, kita semua bisa menghadapi ini semua bersama."
"Itu benar, Riku-san. Mari kita hadapi bersama-sama."
"... Ugh, hiks."
Sedari tadi, Riku sudah sekuat tenaga untuk menahan sesak di dadanya. Antara haru dan kesal. Ya, dia sangat kesal! Dia kesal karena ini harus terjadi di masa ia sangat berbahagia.
"Aku ..., aku sejujurnya kesal. Aku tidak terima. Aku tak mau ...."
Riku menutupi wajahnya dengan kedua tangan mengusap air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.
Hari ini, dia mendapatkan kabar buruk yang sanggup meruntuhkan dunia nya tapi, hari ini juga hari dia merasa gembira karena dia didukung sebanyak ini.
"Tapi ... huff, aku ..., aku lega. Karena, berkat ini juga, aku bisa ...."
Bertemu dengan kalian semua.
To be continue
Ayeeee, satu buku belum kelar tapi update baru lagi, kerjaan siapa?
Aku. (๑¯◡¯๑)
Cerita ini cerita dengan chapter yang sedikit jadi, semoga menikmati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro