53. Love and struggle
30k-nya goal nih. Terima kasih ya buat kalian pembaca setia dan yang udah maraton. Aku liat banyak yang maraton akhir-akhir ini.
EKHEM ... dah Follow aku belom nih?
Btw... MOHON MAAF LAHIR BATIN YA. Maafkan atas air mata kalian yang sudah tercurah dalam work-ku ini. Kekesalan alur yang bikin mood kalian anjlok seharian (katanya ada yang kena mental kek gini. Kan aku jd ga enak).
Pokoknya maaf.
Buat kalian reader yang suka ga sopan aku maafin juga kok. Santuy sama aku mah. Hahaha.
Btw akhir2 ini aku banyak pangkas scene ya ... siapa tau suatu hari nanti kalian bisa peluk versi cetaknya jadi akan detail di sana (gpp ya mimpi dl).
Happy reading ... Vote ya jangan lupa
Sudah Yoongi duga bahwa tidak akan mudah meluluhkan hati Jihye. Ucapan menohok sore kemarin tatkala dirinya memberanikan diri melingkarkan tangan di tubuh wanita itu jelas merontokkan hatinya.
Apa sebegitu rendahnya aku di matamu hingga kau berani memelukku seperti ini? Cerita kita sudah tamat Tuan Min, kau bukan siapa-siapa aku lagi.
Suasana yang digadang-gadang akan mengundang desir serta kroma merah muda itu kandas begitu saja.
Lantas, Yoongi harus memutar otak kembali lantaran bukannya semakin dekat, Jihye malah semakin menjaga jaraknya. Jangan lupakan panggilan telepon dari seseorang yang Jihye panggil sebagai oppa, jelas membuat hatinya gelisah setengah mati.
Sementara itu di sisi lain, Jihye bahkan dibuat pening atas gempuran sikap semanis gula sang mantan suami terhadapnya. Hasrat hati ingin menolak habis-habisan, tetapi di sudut hati masih ada desir yang selalu muncul dengan tidak elitnya. Bahkan saat ini adalah makan malam terakhir mereka di Santorini. Pria itu menyewa seluruh restoran hotel hanya untuk mendapatkan suasana privasi di antara mereka. Berlebihan, ya, sangat berlebihan, termasuk senyum yang terus mengembang di wajah pucat itu. Jihye nilai itu sangat berlebihan. Argh! Sialan.
Alunan musik yang terdengar dari seorang pianis di ujung ruangan menjadi backsound kedua pribadi itu duduk berhadapan. Keduanya terlihat larut dalam kepingan masa lalu yang walau berjalan singkat, tetapi mampu menyita seluruh atensi dalam hidup mereka.
"Kau terlihat semakin cantik saja malam ini, terima kasih mau menerima undanganku." Manik pria itu menyorot bagaimana dress hitam yang dikenakan Jihye menguarkan aura dewi si pemakainya. Barangkali Aprodhite tengah memberikan berkah pada wanita di depannya itu.
"Bukankah aku tidak punya pilihan?" jawab Jihye mengedikkan bahu tak acuh.
"Memang, karena aku akan terlihat bodoh duduk di sini sendirian kalau kau tidak datang."
Jihye terkekeh lantas mengalihkan atensi pada lampu-lampu yang bekerlip di sekeliling ruang terbuka itu. Lobus frontalisnya kemudian mengingat sebuah reminisensi manis di masa lalu tatkala pria itu menyematkan sebuah cincin berlian di jari manisnya pada makan malam yang tak kalah indah seperti saat ini. Tanpa sadar wanita itu menyentuh sang jemari yang tidak lagi memeluk cincin lalu mengembuskan napas pelan. Fokus Seo Jihye.
"Aku ingin meminta maaf atas sikap lancangku memelukmu tempo hari. Aku tahu itu terlalu cepat, maafkan aku yang terlalu merindukanmu."
Jihye hanya mengulas senyum tipis sebagai reaksi. Ini adalah malam terakhir mereka di Santorini dan besok mereka akan berpisah dan menjalani hidup masing-masing di tempat berbeda. Jihye masih enggan membuka hati dan memilih menjaga jarak, tetapi bersikap lebih manusiawi setidaknya kata teman akan terdengar lebih baik daripada kata musuh.
"Kau sudah melihat liputan Seo Jihye Technology Dome?"
Wanita itu mengangguk.
"Kau harus melihat isinya. Itu adalah proyek Min Geum Corp dan aku mendedikasikan untukmu."
"Kenapa repot-repot?"
"Karena aku mencintaimu."
Rungu Jihye sepertinya sudah digempur oleh kata cinta luar biasa beberapa hari ini dan itu sangat menganggu. Mungkin pria di depannya itu harus diedukasi dengan baik perihal makna dari cinta itu sendiri. Kenapa diobral sekali, sih?
"Menurutmu cinta itu apa?"
Pria itu tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Menerima, menghargai, percaya?"
Jihye mengangguk. "Sayangnya, kau tidak pernah percaya padaku saat kita bersama dulu dan itu menunjukkan bahwa cintamu tidak sebesar itu padaku. Kau tahu? Cinta yang besar itu tidak egois dan mampu melepaskan. Aku selama ini mencoba melepaskanmu dalam hidupku, tolong hargai usahaku."
"Hye ...." Terlihat binar ketakutan dalam denyar obsidian pekat itu. Ada sebuah permohonan seiring tangan yang kembali melingkari jemari Jihye. "Kalau aku memang benar-benar tidak mempunyai harapan, izinkan aku meyakinkan satu hal?"
"Apa itu?" tanya Jihye menelengkan kepala.
"Biarkan aku menciummu."
Wanita itu terkekeh geli, berusaha menghiraukan desir yang menghangat dalam relungnya. Sial memang karena dopamin itu masih saja bercokol di sana sekuat apa pun Jihye menyangkal.
"Jangan mengada-ngada, Tuan Min. Kau tahu aku ini sedang bekerja."
Keduanya lantas hening, tepatnya Jihye yang memilih diam dengan segera menghabiskan makanannya. Kesal sih sebenarnya bagaimana pria itu membahas tentang sebuah ciuman yang bahkan tidak terbesit sedikit pun di benaknya. Ciuman, ya? Susah untuk berbohong, seolah seperti diingatkan, sedikit di sudut relung dia masih mendamba hal semacam itu.
"Hye, setelah pulang dari sini apa yang akan kau lakukan?" tanya Yoongi memecah keheningan
"Melanjutkan hidup tenangku," jawab Jihye masih berusaha mempertahankan roman kelewat datarnya.
"Boleh tidak aku melanjutkan perjuanganku untuk mendekatimu?"
Bukan main, pertanyaan-pertanyaan bernada seduktif itu harus segera dihindari, jika tidak, Jihye akan mlenyot dan berakhir mengibarkan bendera putih tanpa perlawanan berarti. Ini sedang perang ego, lho. Jihye bahkan terlampau bingung tentang konversasi yang dibangunna ini dengam sang mantan suami.
"Sudah malam, udara semakin dingin. Aku tidak mau terlambat karena jadwal penerbangan kita besok pagi sekali." Jihye sedang berupaya berkelit dengan mulai berdiri hendak pergi saat menyadari pribadi dalam balutan mansuit hitam itu telah menelusupkan tangan ke leher jenjangnya dan dengan kurang ajar mendaratkan pagutan semanis madu yang begitu lembut dan memabukkan.
Ini namanya double sialan karena kewarasan yang coba dipertahankan Jihye hilang seketika bersama cecapan dari bibir tipis Yoongi yang semakin dalam. Kedua tangan Jihye kini bersandar di dada Yoongi bermaksud ingin mendorongnya sekasar mungkin, tetapi terkalahkan oleh berjuta remang di sekujur tubuh dan berakhir memilih pasrah dengan sesekali merespons atas kenikmatan yang diberikan pria itu.
Arrghh, dia benar-benar sialan! Bagaimana ini?
Segala emosi yang selama ini meletup-letup seakan lenyap tatkala sentuhan lembut Yoongi benar-benar menaklukkannya.
"Kau sialan, Min Yoongi-ssi," ucap Jihye sesaat setelah wajah pucat itu menjauh.
"Aku tidak keberatan menjadi sialan asal terus bersamamu, lagi pula kau merespons ciumanku walau dirimu terus menerus menyangkalnya," ucap Yoongi menarik sudut bibirnya tipis. Tatapan yang saling mengunci, diikuti denyar yang sekonyong-konyong hadir kembali memporak-porandakan pertahan Jihye. "Kalau aku tidak salah, saat ini aku merasakan detak jantungmu begitu cepat, Hye." Yoongi kembali mendekatkan wajah berniat untuk mencium kembali bilah wanita itu.
Tidak ingin kembali pada kenikmatan semu yang ditawarkan sang pria, Jihye menangkup mulutnya, mendorong Yoongi sekuat tenaga dan berlalu dalam umpatan yang tak segan-segan dia perdengarkan
"Kau akan kuperjuangkan Seo Jihye!"
***
Pada akhirnya apa yang mereka lakukan tadi malam benar-benar membuat Jihye pening bukan main. Kembali merasa terhina dengan label murahan yang sempat tersemat yang kini terpampang nyata.
Wanita itu kini terduduk di luasan pesawat jet pribadi yang akan membawanya kembali ke Korea. Sungguh tamu VIP royal yang memanjakan sang pemandu jika mereka dalam keadaan normal tanpa sedikit pun melibatkan emosi di dalamnya.
Jihye memilih tempat duduk di belakang mencoba menghindari Yoongi sejauh mungkin dengan cara menempatkan tas yang dibawanya di kursi kosong. Yoongi dibuat gemas setengah mati melihat apa yang dilakukan wanita itu, bagaimanapun ada sebuah keyakinan yang kini bercokol di benaknya bahwa harapan itu masih ada, terbukti dari sang wanita yang merespons pagutan lembutnya kemarin malam.
"Hye, kau tidak ingin duduk di sampingku?" tanya Yoongi dengan desibel yang cukup membuat Jihye salah tingkah.
Wanita itu menggeleng singkat dan mengarahkan pandangan ke segala arah. Menarik napas panjang, mencoba rileks saat deru mesin pesawat sudah memulai mengambil ancang-ancang untuk take off.
Sial lagi, karena titik-titik peluh kini mulai berkumpul di pelipis pun dengan getaran di setiap inci tubuhnya. Ini bukan soal udik kemungkinan besar porsi tangguh Jihye yang kelewat besar itu menjadikan Tuhan memberikan setitik kekurangan padanya.
Pelupuk Jihye terpejam begitu erat, tangannya mengepal di atas pangkuan dengan rahang mengerat sempurna. Namun, perasaan ngeri yang melemahkan itu lagi-lagi hilang tatkala untuk kedua kalinya pagutan Yoongi menyedot kewarasannya.
Untuk seseorang yang telah menempati level berengsek di hati Jihye, Yoongi benar-benar melakukan perannya kelewat baik. Teknologi bibir dan lidah yang sangat piawai bergerak apik hingga cecapan manis itu berhasil menghilangkan kelesah yang membadai sejak awal deru mesin itu terdengar.
Lakrimalisnya memproduksi bulir bening seolah menjadi saksi pergolakan batin antara berangsang dengan kekosongan yang mendamba belaian. Kalau selama ini Jihye berhasil menghukum Yoongi dengan ketiadaannya, saat ini kondisinya terbalik. Yoongi berhasil memporak-porandakan benteng kokoh masa bodoh yang selama ini Jihye pertahankan lewat sentuhan lembut yang sukses memunculkan jiwa kurang belaiannya berkobar-kobar.
Satu jam terakhir dari hampir sepuluh jam lamanya waktu yang mereka tempuh. Tanpa Jihye sadari kepalanya sudah bersandar nyaman di bahu Yoongi, membiarkan diri merasakan kenyamanan dari raksi favoritnya untuk terakhir kali.
Walau berada dalam kecanggungan luar biasa setelahnya, terlebih dia telah membubuhkan pola liur di lengan atas baju yang dipakai Yoongi karena terlalu lelap. Jihye akhirnya mampu ke luar Bandara Incheon, menyongsong lambaian Hoseok yang menggendong si kecil Jiyoon yang tidak kalah bersemangatnya.
"Oppa! Jiyoonie!" Jihye berlari dengan bentangan senyum sempurna. Mendaratkan banyak ciuman pada sang anak yang kali ini tertawa-tawa kegelian.
"Aigoo ... anak eomma semakin tampan saja. Eomma kangen sekali sama Jiyoon."
"Ppa ... ppa ...." jawab Jiyoon dengan reaksi bayinya. Atensi manik pekat menggemaskan itu kini teralih pada presensi yang tiba-tiba muncul. Tangan mungilnya terulur dengan tawa antusias.
"Ap ... ppa ... ppa."
Jihye stagnan di tempat sementara Yoongi menatap dalam tegun yang tiba-tiba menghangatkan pelupuknya seraya mengulurkan tangan menyambut tangan mungil itu.
"Hye ... dia anakku?"
.
.
.
SO FAR ... MENURUT KALIAN ICEBERG GIMANA CERITANYA?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro