46. Don't find me
Selama bulan puasa aku up-nya malam ya.
Ayo dong ramaikan dengan komen dan vote biar cepet updatenya. Kalo ga rusuh mood boosternya dikit hehe.
Happy reading.
❄❄❄
Jihye bahkan tidak ingat bagaimana tubuhnya bisa terbaring di atas lautan busa empuk itu. Rasanya sudah begitu lama tatkala sang raga menggeliat nyaman di ranjang mewah. Tidur di sauna sungguh membuat tubuhnya terasa kaku, walau sering kali Jihye memberikan sugesti pada sang tubuh agar tidak manja, sebagai bentuk antisipasi bilamana hal buruk terjadi seperti saat ini. Tetap saja, sepertinya dia sudah terbiasa hidup nyaman.
Lamat-lamat wanita itu menggerakkan pelupuknya, menatap plafon putih dengan cahaya lampu yang mendirus retinanya begitu menusuk. Mencoba menggerakkan tubuh, Jihye harus mendengar bilahnya memekik lirih tatkala mendapati tangan kirinya dipasangi selang infus.
"Astaga, aku kenapa?" monolognya menatap jarum yang menancap di sana lantas mengedarkan pandangan pada luasan kamar bernuansa cream mewah dengan perabotan berwarna senada.
Perlahan, wanita itu mengingat kembali apa yang terjadi padanya. Teriakkan yang sekonyong-konyong hadir lantaran perutnya terasa sakit membuatnya meremang setengah mati.
"Sayang, kau tidak apa-apa, 'kan?" ucapnya ketakutan seraya mengusap perutnya lembut.
Suara samar diikuti tawa di luar ruangan yang langsung terdengar begitu jelas tatkala pintu berayun, menampilkan sosok Hoseok dan seorang pria muda berjas putih yang dapat Jihye pastikan seorang dokter.
"Dia harus banyak istirahat dan meminum obat penguat kehamilan dengan teratur, kau yakin dia bukan siapa-siapa? Dia cantik, pacarmu, ya?" ucap sang dokter dengan kekehan.
"Ey, dia itu teman seperjalananku."
Konversasi di antara keduanya terhenti manakala mereka melihat Jihye yang sudah terbangun. "Ah, Hye-ssi, kau sudah bangun. Syukurlah." Hoseok tersenyum lebar dan mendaratkan bokongnya di tepi ranjang.
"Kau sedang hamil muda, ya? Apa perutmu masih sakit?"
Jihye menggeleng dengan senyuman lirih, menatap Hoseok dengan campuran rasa bersalah dan takut secara bersamaan. "Maaf sudah merepotkanmu," ucapnya pelan.
Hoseok mengedikkan bahu. "Kau masih menjadi teman seperjalanan yang mengasyikan, kok, tidak usah khawatir. Maaf aku membawamu ke rumahku karena ini jarak paling dekat."
Alih-alih menatap Jihye penuh penghakiman, pria ceria itu justru memperlihatkan hal sebaliknya tanpa sedikit pun menunjukkan roman kelewat kepo dan Jihye bersyukur akan hal itu.
"Apa bayiku baik-baik saja?" tanya Jihye pada sang dokter.
"Kau hanya mengalami keram di awal kehamilan dan itu biasa terjadi, tetapi kalau sampai pingsan, berarti tubuhmu terlalu lelah dan harus banyak istirahat," terang dokter muda itu menenangkan.
"Tapi bayiku baik-baik saja, 'kan?"
Dokter muda itu mengangguk ramah. "Kau tidak perlu khawatir, selama tidak terjadi pendarahan. Bayimu tidak apa-apa. Aku yakin, si jabang bayi dan ibunya sangat kuat."
Kekehan mengakhiri konversasi mereka. Saat jam di dinding menunjukkan pukul 07.00 malam, Hoseok mengantar dokter muda itu ke luar ruangan.
Jihye kembali dihinggapi rasa tidak nyaman. Bagaimana bisa dirinya berakhir merepotkan orang lain seperti ini? Jika tidak karena kepalanya yang kembali terasa pening, mungkin wanita itu sudah membungkuk dalam dan pergi menuju sauna terdekat untuk bermalam.
"Hye-ssi, kau bermalamlah di sini Jangan khawatir aku tidak tinggal sendiri di rumah ini. Ada beberapa pelayan juga," ucap Hoseok dengan kepala menyembul di balik pintu. Pria itu seperti tengah menjelaskan agar Jihye tidak memulai memupuk ketakutan akan pria asing seperti dirinya.
Jihye mengangguk penuh rasa syukur.
"Makanlah masakan yang sudah aku siapkan di atas meja, sesudah itu kau istirahat, ya. Kasian bayimu."
Setelah debum lirih terdengar, Jihye kembali menghela napas panjang. Dari beberapa hal menyesakkan yang terjadi dalam hidupnya, Jihye selalu yakin akan ada hal-hal indah dan patut disyukuri seperti saat ini. Tuhan itu adil, mempertemukannya dengan orang baik di saat yang dibutuhkan.
Belum begitu nyenyak Jihye tertidur, istirahat seperti yang dianjurkan dokter dan Hoseok justru terasa sulit tatkala kedua netranya enggan terpejam kembali setelah dirinya bermimpi tentang Yoongi. Iya, Yoongi si pria yang saat ini menempati kedudukan sebagai pria sialan di hati Jihye.
Tahu tidak? Wanita itu benar-benar tidak habis pikir, bagaimana mungkin Yoongi masih saja mengganggu hidupnya dengan hadir di dalam mimpi. Saking kesalnya Jihye sampai menggunduli habis rambut pria itu. Tidak bisa bohong sih, Jihye merindukannya dan lagi-lagi ia harus mengesat air mata yang sekonyong-konyong jatuh. Ini bawaan orok, dalihnya.
Mencoba menetralkan deru napasnya, dan cukup kesal karena tidak mendapati air minum di atas nakas karena sudah dia tandaskan semua. Jihye segera beranjak setelah mati-matian menghalau pening yang masih saja bercokol di kepala.
Tertatih, menganyunkan tungkai keluar kamar, Jihye bahkan dibuat kebingungan dengan luasnya rumah milik Hoseok itu, hingga sebuah foto yang menempel gagah di tengah ruangan membuat wanita itu bergeming.
***
Yoongi akhirnya menyadari, bahwa menurunkan ego dan amarah yang meledak-ledak adalah sebuah keputusan paling baik. Hubungan yang terjalin tidak harmonis dengan Jimin selama ini akhirnya berakhir, tetapi dengan kasus baru yang yang lebih besar. Ya, urusan hati memang paling meresahkan daya rusaknya. Pria itu benar-benar kehilangan nafsu makan. Kekhawatiran akan Jihye dan kandungannya jelas membuatnya gila.
"Jeonju? Kenapa kau berpikir ke sana?" tanya Yoongi dengan gurat harapan baru dalam romannya.
"Jihye pernah berkata padaku bahwa setelah wisuda, dia pergi ke sana dan kehilangan ponselnya hingga dia loss kontak dengan teman-teman semua termasuk aku." Jimin nyaris saja memukul mulutnya sendiri karena dari apa yang dia kemukakan tentu akan menimbulkan asumsi lain dari Yoongi. "Kau tahu 'kan kami teman lama," imbuh Jimin dengan penekanan dalam kata teman agar sang kakak tidak curiga.
Yoongi hanya mengangguk, dia bahkan tidak peduli perihal hubungan Jimin dan Jihye dahulu kala. Yoongi hanya ingin Jihye berada di sisinya saat ini dan memeluknya erat.
Gempuran masalah yang terjadi akhir-akhir ini jelas menjadikannya pribadi bodoh yang begitu impulsif. Yoongi salah dengan membiarkan wanita sempurna seperti Jihye terlepas begitu saja dan memilih pergi. Bodoh hingga rasanya seluruh maaf di dunia tidak cukup untuk mengembalikan Jihye padanya.
"Kalau kau tidak sehat seperti ini, bagaimana bisa kau mencari Jihye dan anakmu, Hyung? Setidaknya, makanlah agar dirimu kuat. Kita para pria terlalu sering terpuruk sendirian padahal di sana, bisa saja wanita yang kita cintai sedang menunggu untuk dijemput. Aku yakin Jihye noona pun seperti itu."
Bila dalam keadaan normal, pastilah Yoongi akan menatap Jimin dengan tatapan maut diikuti kekehan penuh cemooh. Yoongi pikir Jimin itu siapa? Kekasih saja tidak punya, sok-sokan bercerita tentang menjemput wanita yang dicintai.
Untuk diketahui, malam tadi Yoongi kembali bersemangat mencari Jihye ke jembatan Banpo, tempat di mana cincin berpermata biru itu mengukir takdir mereka. Hasilnya nihil, Yoongi kembali ke apartemen dengan rasa frustrasi semakin dalam dan kembali ambruk.
"Gomawo, Jimin-ah," ucap Yoongi lirih.
Tahu tidak, Jimin nyaris saja berjingkrak bahagia atas perubahan sikap sang kakak tersebut dan menahan diri untuk tidak melihat ke luar jendela, siapa tahu hujan angin, kan?
***
Ada sebuah pemahaman yang kini benar-benar Jihye genggam dengan sangat kuat. Tidak selamanya kesedihan berakhir tragis, itu hanya tergantung dari cara kita menyikapinya. Buah dari kesabaran itu, Tuhan akan benar-benar menunjukkan karunianya.
Di antara semua orang yang bisa dipintai tolong untuk memotret, Tuhan malah mempertemukannya dengan Hoseok yang saat ini memeluknya begitu erat.
Setidaknya, butuh waktu dua jam untuk keduanya melakukan konversasi serius perihal foto yang terpajang di sana. Hoseok begitu antusias mengenai hal ini dan tampak lega karena apa yang dia cari selama ini akhirnya menampakkan diri.
Foto yang terpajang gagah di dinding itu menunjukkan Seo Ilguk--ayah Jihye--dan seorang wanita yang diketahui sebagai Seo Inhyun--ibu Hoseok. Mereka bersaudara dan Hoseok setiap tahun pergi ke Jeonju dengan harapan sang paman akan berkunjung ke sana.
"Kisahmu sungguh luar biasa, Hye. Aku bahkan tidak menyangka Bibi Eunhee dan Eunji bersikap seperti itu padamu." Hoseok menggeleng lirih, benar-benar tidak habis pikir. "Dan apa kau yakin dengan keputusan meninggalkan suamimu? Maksudku, anakmu akan tumbuh tanpa ayah."
Jihye menghela napas kelewat panjang karena lagi-lagi merasakan getir pada rongga dadanya sebelum berujar. "Aku tidak bermaksud menghukumnya, hanya sekadar memberi jarak pandang yang luas padanya, agar dia bisa lebih bijak bersikap di kemudian hari. Kau tahu 'kan setiap orang yang hadir dalam hidup kita pasti mempunyai perannya tersendiri. Dan peranku, mungkin untuk menyadarkan bukan untuk mendampinginya sampai akhir." Intonasi yang keluar dari bilah Jihye semakin lama semakin mengecil lantaran bibirnya bergetar hebat.
"Sudah, tidak usah memaksakan diri. Ada aku sekarang dan orang yang tinggal bersamaku tidak boleh bersedih."
"Gomawo, Oppa."
***
Pada akhirnya, Yoongi menuruti apa yang Jimin kemukakan. Di bawah langit pagi dengan mentari yang malu-malu membagi sinarnya. Dalam keadaan masih kurang fit, pria itu bertolak ke Jeonju. Berbekal harapan dan berkas yang telah dikumpulkan Pak Ong mengenai beberapa keluarga bermarga Seo di Jeonju.
Yoongi berharap pencariannya kali ini akan berbeda. Jujur, ucapan Pak Ong tempo hari mengenai Jihye yang memang tidak ingin ditemukan terdengar sangat menakutkan dan menamparnya begitu keras.
Pukul 10.40, Mercedez Benz yang dikemudikan Pak Ong sudah menapak jalanan Kota Jeonju. Mereka sedang menuju sebuah rumah mewah seseorang bermarga Seo.
Sementara di waktu yang bersamaan, Jihye menghenyakkan tubuhnya di jok belakang mobil, setelah memasang wajah sendu dengan mata berfokus pada rumah mewah di belakangnya.
"Maafkan aku memaksamu untuk pergi sekarang, padahal seharusnya kau masih istirahat. Andai saja urusan perusahaanku bisa diselesaikan jarak jauh," ucap Hoseok meminta maaf.
"Tidak apa-apa, Oppa. Aku baik-baik saja."
"Aku jamin kau akan bahagia di sana. Serahkan semuanya pada Oppa-mu ini."
Mobil yang Jihye naiki mulai melaju. Jihye tahu bahwa dirinya sudah pergi sangat jauh meninggalkan semuanya, mungkin tidak akan ada kata kembali. Dengan jari-jemari yang terus mengusap perutnya lembut, tanpa dia sadari, dirinya berpapasan dengan Yoongi yang saat ini duduk sama sendunya di dalam mobil hitam yang melintas.
Semuanya akan baik-baik saja, ucap Jihye.
Hye, aku mohon kembalilah, ucap Yoongi.
❄❄❄
MAU
HAPPY ENDING
ATAU
SAD ENDING
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro