42. GTG
Halo aku hadir dengan part baru. Aku lagi seneng nih, cerpen dedek Kookie menang di lomba Hacin. Anggap aja part terbaru ini hadiah karena kalian udah baca dan meramaikan di sana.
Kalo ada yang belom baca, baca yok.
Dear, My Healer, Sorry
Cerpen ini akan berkaitan dengan next project aku dengan Jungkook sebagai castnya.
Kalo ada yang belom vote di part kmrn vote dulu ya jomplang soalnya, da baik ... pliss ... hehehe.
Jangan lupa follow.
Ig: Ranesta13
Happy reading.
.
.
.
"Anda yakin, Nyonya?" ucap Pengacara Jang, pria paruh baya itu baru saja mempertanyakan perihal keputusan yang Jihye buat.
Wanita itu mengangguk dengan keyakinan penuh. "Bisakah anda lakukan hal ini dengan cepat? Aku tidak ingin semuanya berlarut-larut. Aku percayakan semuanya padamu Pengacara Jang, seperti nenek mempercayaimu."
Pria itu tertegun lantas mengulas senyum, hatinya bahkan ikut terenyuh menatap denyar ketulusan dari manik Jihye.
"Terima kasih, Nyonya. Aku akan melakukan yang terbaik."
Mobil mewah milik Pengacara Jang berhenti di pinggir jalan yang Jihye tunjuk. Wanita itu membungkuk sebagai ucapan terima kasih dan menatap dengan manik penuh haru. Dari sana dia dapat melihat kemegahan apartemen tempatnya tinggal selama hampir enam bulan ini.
"Beberapa bulan yang menyenangkan tinggal di sini," monolognya lirih. Tungkainya mulai berayun menyongsong getir yang kian menyesakkan dada.
Hye, kalau mau menangis nanti di dalam rumah, tetapi ingat setelahnya kau harus tegar biar anakmu kuat.
Tentu saja, begitu pintu apartemennya menutup, wanita itu langsung menangis sejadi-jadinya mengeluarkan muatan yang diproduksi lakrimalis yang lebih banyak dari pada biasanya. Namun, bila kalian berpikir Jihye akan bergelung dengan memeluk kedua kakinya penuh pilu, maka enyahkan pikiran kalian itu. Menurutnya, itu bukan tangisan yang efektif.
Dalam kegiatan menangis, kedua tangannya menarik koper dan mengisi benda persegi itu dengan semua pakaian yang dia beli dengan gaji sendiri. Tak ada satu pun pakaian atau benda pemberian Yoongi yang dia bawa. Bahkan cincin berlian yang tempo hari pria itu berikan kepadanya turut dia lepas.
"Selamat tinggal semuanya!" Wanita itu menatap luasan apartemen dengan tangis yang semakin kencang, lantas membubuhkan sebuah tulisan pada kertas kecil dan meninggalkannya bersama cincin dan buku tabungan sisa uang belanja yang Yoongi berikan setiap bulan. Bagaimanapun ucapan yang telah terlontar dari bilah pria itu begitu menyakitkan dan Jihye memilih menyerah dan pergi karena rasanya percuma menjelaskan suatu kebenaran pada orang yang bahkan tidak memercayai kita.
"Mulai hari ini, ayo kita menjelajah indahnya dunia bersama. Eomma akan berusaha keras untuk kehidupan kita berdua."
Wanita itu menarik pegangan kopernya yang macet bahkan beberapa kali mengumpat karena lupa membubuhkan minyak. Sebenarnya, tentu saja dia sudah memiliki yang baru karena sang suami membelikannya, beruntung dia tidak membuang koper jelek ini. Bagaimanapun memakai barang milik sendiri itu lebih baik.
Langkahnya terhenti sebelum menoleh untuk terakhir kali. Bayangan mini-mini berlarian itu memudar bersamaan senyum getir yang terpampang di sana.
"Gwenchana, Seo Jihye. Kau terbiasa hidup sendiri. Anggap saja semua ini mimpi selama hampir enam bulan lamanya." Mengembuskan napas kelewat keras dengan beberapa kali meninju udara kosong untuk mengumpulkan semangat, Jihye pergi meninggalkan apartemen mewah itu tanpa sekalipun menoleh kembali.
Berakhir, semuanya berakhir. Cukup sampai di sini.
***
Pendar yang menyorot gagah di atas sana tidak serta-merta menghalau angin dingin yang merangsek masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Jihye memeluk tubuhnya, ada sekelumit sesal kenapa dia tidak menyahut jaket bulu angsa yang Yoongi belikan tempo hari. Astaga, jika pada permulaan saja dia sudah sedikit menyesal bagaimana nanti? Wanita itu menggeleng kuat dan memilih melanjutkan langkahnya ke sebuah kafe tidak jauh dari sana.
Suara gemerincing lonceng di atas pintu yang menandakan seseorang masuk terdengar. Jihye lekas menoleh ke arah sumber suara, melambaikan tangan dan membentangkan senyum antusias pada sosok Gaeun yang baru saja tiba.
"Hye, ada apa ingin bertemu di sini? Bukankah kau masih berkabung? Lihatlah, wajahmu saja masih kusut begitu," ucap Gaeun seraya mendaratkan bokongnya di depan wanita itu.
"Aku ingin meminta tolong padamu," jawab Jihye sembari menyimpan sebuat tas kertas di antara mereka. "Bisa kau berikan ini pada Jimin Isanim?" Jihye memberikan sebuah amplop yang berisi surat pengunduran dirinya dari perusahaan, "dan ini." Dia menyerahkan sebuah kotak dengan alamat yang tertera di sana.
"Apa ini, Hye?"
"Itu surat dan itu kotak hadiah untuk sahabatku yang bernama Jingoo, aku sudah menuliskan alamatnya di kotak itu."
"Surat apa?" Gaeun menilik amplop itu dengan kerutan yang begitu kentara. "Jangan bilang kau--" Gaeun menggantung kalimatnya, menilik roman Jihye yang kini menunduk dalam.
Wanita itu mengulas senyum tipis diiringi helaan napas panjang dengan pandangan menerawang. "Semua menjadi kian rumit sejak nenek meninggal."
"Apa kau dan sajangnim--"
Jihye mengedikkan bahu dengan kekehan. "Kau bisa menggodanya sekarang, kalahkan Bae Yuri untukku."
"Apa yang terjadi, Hye?" Tanpa sadar Gaeun meninggikan intonasinya, kaget bukan main. Wanita itu bahkan berpindah tempat duduk untuk memberikan simpati pada Jihye.
"Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, hanya memberikan waktu pada suamiku untuk berpikir jernih. Tolong sampaikan titipanku ini Eun-ah, jebal."
Gaeun mengangguk menatap surat dan kotak itu dengan hembusan napas panjang. Bukan, bukan karena tidak mau melainkan karena hatinya ikut sedih walau Jihye tidak menceritakan keseluruhan masalahnya. Wanita sebaik Jihye bukanlah orang yang pantas menyesap kesedihan.
Satu jam berlalu setelah saling melemparkan canda penuh tawa. "Aku harus pergi."
"Kau akan ke mana? Tinggal di mana? Kau bisa tinggal di tempatku untuk sementara."
Jihye menggeleng lemah lantas membentangkan senyum tulus. "Aku akan baik-baik saja, aku pergi."
Wanita itu menaiki bus, memberikan lambaian tangan kelewat semangat pada Gaeun yang sekarang bahkan menitikkan air mata. "Apa-apaan kau Seo Jihye, kenapa kuat sekali, sih?"
Jihye menghenyakkan tubuh di kursi bus seraya mengelus lembut perutnya. Sekarang kita akan ke mana? Sebenarnya ini terlalu tiba-tiba, Eomma tidak bisa pergi ke tempat paman Jingoo, karena dia selalu membocorkan keberadaan Eomma pada appa. Semoga keputusan yang Eomma buat adalah yang terbaik untuk kita.
***
Yoongi lagi-lagi menenggelamkan diri di dalam apartemen rahasianya, kembali mabuk dan menghancurkan apa saja yang bisa hancur. Astaga, Jihye mungkin akan menggeleng dengan tatapan iba dan berteriak-teriak menyayangkan barang-barang mahal itu jika melihatnya.
Lobus frontalisnya berusaha merangkum fragmen-fragmen pertemuan awalnya dengan Jihye, perlakuan wanita itu dan denyar dari maniknya yang selalu terlihat tulus di sana. Apakah semua yang Yoongi katakan pada wanita itu sudah keterlaluan? Bagaimana dengan fakta bahwa Jihye dan Yuri bersaudara? Itu sangat menyakitkan dan Yoongi tidak bisa memetakan hatinya, terlampau kecewa tatkala dia dibiarkan menjadi orang yang paling tidak tahu apa-apa. Kenapa Jihye harus menyembunyikan fakta itu. Dan kini saham nenek sudah berpindah tangan padanya, apa dia benar-benar seserakah seperti yang Yoongi tuduhkan?
Segala macam pertanyaan berputar-putar dalam otaknya menghasilkan denyutan yang berubah menjadi teriakkan keras diiringi isakkan. Ya, Yoongi hancur dan terluka.
Benar adanya dan ini memang terjadi pada banyak pria. Saat patah hati mereka akan lebih condong pada menyakiti diri sendiri, terpuruk dan akan lebih susah untuk move on. Berbeda dengan wanita, mereka cenderung akan bangkit dan lebih memperbaiki diri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Dalam kubangan alkohol yang mengikis kewarasannya hingga terlelap, ada sebuah delusi indah yang kembali menyambangi. Jihye ... wanita cantik itu menatapnya dengan tegun lembut yang diiringi kurva manis tercetak jelas di sana. Namun, pribadi yang begitu pandai menyembunyikan luka itu tiba-tiba saja menangis hingga membuat Yoongi tak kuasa mendengar sengguk pilu yang memerangkap otaknya. Tangan pucatnya terulur hendak mengapai dan mendekap tubuh yang tampak layu itu. Mencoba mengayunkan langkah, tetapi sial, bahkan koordinasi geraknya pun enggan bekerja sama hingga sebuah silabel mengalun di sana.
Bagaimana kalau mini-mini akhirnya hadir?
Kalau pun hadir, aku sangsi apakah itu benihku atau pria lain.
Perkataan itu terus bergaung diikuti suara kekehan seorang anak kecil berlarian memutari tubuh Jihye yang bergetar. Perih, sangat perih yang Yoongi rasakan, hingga dia mendengar sebuah pertanyaan.
Apakah penghakimanmu sudah benar?
Maka pada detik itu juga, Yoongi terbangun dengan deru napas memburu. Peluh yang membanjiri tubuhnya terasa kian lengket mengingat dia benar-benar kacau akhir-akhir ini.
Sebuah notifikasi terdengar dan pria itu mendapatkan sebuah pesan yang berisi panggilan ke rumah besar.
"Lagi?"
Pria itu segera menghubungi Pak Og dan memintanya untuk menjemput. Yoongi terlalu lelah jika harus menghabiskan energinya untuk menyetir.
***
Entah apa yang membawa tungkai Yoongi kembali menjejak rumah besar, meskipun keengganan meliputi hati mengingat dia pasti bertemu lagi dengan Jihye dan semua orang. Pria itu tetap memenuhi panggilan Bu Ahn di sana. Mungkin dia masih penasaran akan satu dan dua hal yang terjadi dan berharap menemukan jawaban yang benar setelah otaknya sedikit diliputi kewarasan.
"Tuan, bisakah Anda meluangkan waktu sebentar saja? Ada yang ingin aku berikan mengingat kemarin Anda pergi dengan tergesa," ucap Bu Ahn. Wanita itu tampak melaksanakan tugasnya kelewat baik, selalu sigap dan bertindak tegas dengan apa pun yang diwasiatkan Sunhee padanya.
Di sini Yoongi tentu saja mengangguk dengan raut serius.
Luasan ruang kerja Sunhee tampak rapi seperti biasa. Wanita paruh baya itu menempatkan dirinya di sebuah sofa yang berada di tengah ruangan.
"Tuan, sebelumnya aku meminta maaf jika apa yang akan aku katakan sangat menyinggung batas privasi. Namun, aku harap Anda tidak pernah sekali pun menempatkan Nyonya Seo pada sebuah penghakiman," ucap Bu Ahn sesaat setelah Yoongi menempatkan diri pada sofa di depannya.
Yoongi mendengkus sebelum berkata, "Memangnya kau tahu apa akan rasa sakit yang aku rasakan."
"Sepertinya, aku tahu banyak, Tuan. Dan ini surat yang ditinggalkan Nyonya Besar. Aku harap kau membacanya setelah pertemuan dengan Pengacara Jang, dan sekarang sepertinya beliau sudah datang. Mari ke ruang keluarga."
Mau tidak mau Yoongi harus menyesap tanya tatkala dia tidak mendapati presensi Jihye di manapun. Dan kuriositasnya semakin tinggi saat Pak Jang memulai acaranya tanpa Jihye.
"Seperti kalian ketahui, aku berada di sini untuk menyampaikan sesuatu," ucapnya dengan intonasi tegas dan lugas. "Aku di sini mewakili Nyonya Seo Jihye."
Semua orang yang berada di ruangan itu saling pandang dengan roman penuh tanya.
"Baiklah, aku mulai sekarang."
Setiap untaian kata yang mengalun dari bilah Pengacara Jang, Yoongi dengarkan dengan saksama disertai hati yang teriris perih.
"... dengan ini aku, Seo Jihye, memberikan tiga puluh persen saham Min Geum Corp pada Min Yoongi. Semoga bisa digunakan dengan sebaik-baiknya."
Hening, waktu seakan berhenti berputar. Pria pucat itu memejamkan mata, menahan sekuat tenaga agar kesadaraannya tetap di tempat. Ya, dia menyadari sesuatu, apakah sudah terlambat?
.
.
.
Kata untuk part ini?
1april2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro