21. The ring
Maaf ga bermaksud ngerjain, tapi emang lagi ngetik suka kepencet publish masa ... mungkin aku ga konsen sama tombol2 baru ini hahahha
Vote dan komen kalo sayang.
RAMAIKAN DENGAN KOMEN KALIAN YA SUPAYA MAKIN SEMANGAT AKU UP-NYA
Sehat selalu^^
Jika diibaratkan dengan game jenis MOBA--multiplayer online battle arena--mungkin tingkat pembantaian hati Jihye mencapai titik savage. Pertemuan dengan sang kakak yang sejatinya penuh haru berbanding terbalik dengan ekspektasinya yang terlalu tinggi.
Jihye bahkan tidak ingin mengingat apa saja isi dari konversasinya dengan sang kakak sore itu. Terlalu menyakitkan, terlebih kenyataan yang menghantamnya telak pada relung perihal sang suami yang merupakan mantan kekasih dari Seo Eunji.
Bila dapat memilih, mungkin Jihye ingin bertransformasi menjadi setangkai dandelion yang terburai tertiup angin dan menghilang. Hari ini terlalu berat dan tampak belum berakhir karena dia masih harus menghadapi suaminya di rumah nanti.
Jihye berdiri terpekur di pagar pembatas yang menghadap ke bentangan sungai Han di depannya, menatap penuh kehampaan pada air yang begitu tenang. Kalau aku menceburkan diri ke sungai pasti dingin ....
Cepat-cepat Jihye menggeleng, bukan begitu konsepnya. Tidak pernah terbesit dalam tempurung otaknya untuk bunuh diri, karena gadis itu meyakini bahwa kehadiran setiap individu yang hadir dalam hidupnya, baik atau buruk, mereka pasti memiliki arti tersendiri. Pun dengan Yoongi, mungkin karena pembiasaan dari empat bulan hidup bersama, membuat pria itu hampir menyita seluruh perhatian dalam dirinya. Saat ini mungkin sakit, tetapi Jihye yakin suatu hari nanti dia pasti mendapatkan hikmah dari kesakitannya ini.
Kalimat penghiburan yang sangat klise, karena sebaik apa pun pengendalian diri Jihye, nyatanya dia hanya gadis biasa yang kini tergugu, membiarkan bulir bening yang diproduksi lakrimalisnya berhamburan menghiasi kedua pipi. Ini bukan di kamarnya, dia bahkan menjadi bahan tontonan orang-orang yang berada di sekitar sana. Namun, Jihye bisa apa? Saat semuanya terasa tak tertahankan.
Dua puluh menit dia habiskan untuk menangis, berjibaku dengan cincin di jari manisnya yang masih saja susah terlepas. Jihye menyadari, mungkin kisahnya tidak akan terlalu rumit jikalau dia berhasil melepaskan benda itu sejak awal. Maka, dengan bermodal hand cream dan keteguhan hati. Dalam beberapa entakan, gerakan memutar, dan tarikan paksa, akhirnya cincin itu terlepas, meninggalkan luka pada sendi metacarpophalangeal-nya yang serta-merta membuat jari manisnya bengkak dan sulit digerakkan. Tangis Jihye semakin keras tatkala dilihatnya inisial pada sisi dalam cincin tersebut.
MYG love BYR.
Bahkan sejak awal aku tidak berhak atas benda ini. Dasar tak tahu malu.
Jihye harus mengakhiri sesi tangisnya saat merasakan sebuah tarikan lembut pada rok yang dipakainya. Seorang anak lelaki dengan mata besar berambut seperti mangkok yang ditangkupkan mengacungkan sebuah sapu tangan.
"Noona, ini untuk ail mata itu." Tunjuknya pada pipi Jihye dengan artikulasi cadel menggemaskan. "Jangan menangis, ya. Junie menangis kalau jatuh beldalah. Apa Noona beldalah?" tanya anak itu dengan mata membulat penuh rasa khawatir khas anak kecil.
Serta-merta Jihye mengukir senyuman, mengambil sapu tangan dan berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan anak berambut mangkok itu--gemas bukan main.
"Omo ... kau baik sekali, gomawo, siapa namamu anak baik?"
"Yejunie dan yang duduk di sana paman Oobin," ucapnya menunjuk seorang pemuda tampan yang mengangguk dengan binar khawatir. "Noona tidak boleh kelualkan ail, nanti habis, matanya keling, lho."
Jihye terkekeh lantas mengacak surai hitam Junie. Tangan kecil itu kini merogoh saku celananya yang menggembung. "Paman Oobin bilang, kalau minum ini Junie akan kuat sepelti ilonman. Ini untuk Noona bial kuat."
Anak berambut mangkok itu memberikan satu karton susu pisang dan kini berlari kembali pada sang paman setelah melambaikan tangan pada Jihye dengan bentangan senyum menggemaskan yang menyisakan segaris mata pada wajah gembilnya.
Mau tidak mau kehadiran anak kecil tampan itu memberikan suntikan energi baru bagi Jihye, sedikit banyak mengangkat kelesah dan menerbitkan keteguhan untuk melangkahkan tungkainya kembali ke rumah.
***
Dalam perjalanan selama dua puluh menit dalam bis, Jihye habiskan dalam lamunan, beberapa kali bilahnya mengembuskan napas panjang saat kilasan-kilasan masa lalu bersama ayah, ibu dan Eunji kembali terpeta dalam lobusnya.
Sebuah keluarga penuh tawa karena sosok sang ayah begitu humoris. Bahkan sampai detik ini Jihye masih mengaguminya, pribadi penuh tanggung jawab yang berakhir harus menelan kekecewaan saat istri dan anak sulungnya memilih pergi karena tidak kuat hidup dalam kemiskinan.
Drrt ... drrt ....
Ponselnya bergetar, menampilkan nama Kucing Salju Sialan di sana. Tanpa berniat untuk menjawab, Jihye memutuskan untuk memperpanjang lamunan menatap pemandangan yang terlewati lewat kaca jendela di sampingnya.
***
Mencoba menahan napas dan melakukan pergerakan sepelan mungkin agar tidak menarik atensi, Jihye harus pasrah tatkala lampu otomatis di depan pintu--dengan terang-benderang-- menyorot sempurna wajahnya yang tampak kacau. Netranya bergulir, melirik sepatu Yoongi yang sudah tergeletak di bawah, mengangkat lalu merapikannya di rak sepatu.
"Kau dari mana saja?" Desibel yang menyapa rungu Jihye terdengar begitu tenang, tetapi penuh tuntutan.
Gadis itu mendongak mendapati presensi Yoongi yang sedang bersedekap tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Maaf terlambat," ucap Jihye melepaskan sepatunya dan berusaha mempertahankan intonasi senormal mungkin. "Kau sudah makan?"
Yoongi masih bersedekap, memindai seluruh pergerakan sang istri.
Wajah itu kenapa terlihat begitu tenang? Apa dia tidak terganggu dengan apa yang dilakukan Yuri padaku? Apa mungkin Jihye tidak memiliki perasaan apa pun? Apa dia tidak cemburu?
"Min Yoongi-ssi, apa kau sudah makan?" ucap Jihye mengulang pertanyaannya. Kali ini menatap wajah pria itu dengan saksama seraya mengangkat keresek yang dibawanya--ya, itu keresek makanan--sepertinya dia pantas mendapatkan penghargaan sebagai istri sewaan berdedikasi tinggi. Karena sekacau apa pun dirinya, Jihye masih menyempatkan membeli makanan untuk sang suami.
"Kau dari mana saja, Hye? Kenapa tidak mengangkat teleponku?"
"Aku bertemu dengan Nona Bae, di kantor aku sudah bilang padamu, 'kan?" Jihye menatap kedua manik sepekat jelaga itu dengan tatapan teduh yang diikuti senyuman tulus. "Maaf aku pulang terlambat. Malam ini makan dengan chimaek tidak apa-apa, 'kan? Itu pun kalau kau mau makan, sih, tapi kau harus makan. Beberapa hari ini kau sering melewatkan makan malam, kalau sakit bagaimana? Omo ... maaf kalau aku mengganggumu dan terlalu banyak bicara, aku hanya khawatir."
Yoongi memicingkan mata bertanya-tanya dalam hati apakah gadis di hadapannya itu sedang berusaha sok kuat dengan terus-menerus mengatakan sesuatu, karena Jihye tidak biasa secerewet itu.
Tidak mendapatkan respons dari Yoongi, Jihye memilih bergegas ke arah dapur guna memindahkan chimaek yang dia bawa ke dalam piring.
"Hye ...."
"Ah ... aku hampir melupakan sesuatu!" potong Jihye, "tunggu sebentar."
Apa dia benar baik-baik saja? Atau sedang berusaha terlihat baik-baik saja?
Jihye memasrahkan punggungnya dibalik pintu, meremas blus di dada kirinya, mati-matian menahan gejolak yang meronta. Lantas mengambil kotak cincin biru yang tergeletak di laci nakas.
Sebaiknya aku berikan sekarang.
Jihye mengayunkan kembali pintu kamarnya dan mendapati Yoongi yang duduk terpaku di kursi makan.
Memantapkan diri, merapalkan berbagai doa berharap semuanya berakhir baik, dengan susah payah Jihye berjalan mendekat ke arah Yoongi dengan senyum mengembang. "Aku hampir lupa, ada kabar baik untukmu. Aku akhirnya berhasil melepaskan cincinmu ... ini ...." Jihye menyimpan kotak itu di atas meja dan mendorongnya ke hadapan Yoongi.
Tangan pucat Yoongi meraih kotak tersebut dan membukanya, lantas menatap Jihye dengan pupil nanar bergetar. "Bisa aku lihat tanganmu?"
Jihye mengerjap. "Mwo? Apa kau tidak percaya padaku? Itu memang cincinmu, kau bisa lihat inisial yang tertera di dalamnya."
"Bukan itu maksudku, mana tanganmu Seo Jihye," pinta Yoongi dengan tangan terulur tegas.
Sebagai jawaban Jihye memijit tengkuknya. "Aku sangat lelah, biarkan aku mandi dulu, ya."
Yoongi benci melihat Jihye seperti ini, kenapa Jihye tidak marah atau setidaknya menuntut penjelasannya dengan elegan. Ekspresi penuh ketenangan itu terlalu mengerikan untuk Yoongi. Degup jantungnya kian hebat hingga memaksa Yoongi berkata, "Apa aku harus memakai kartu penalti agar kau marah, Hye?"
Sejurus kemudian, Jihye merasakan tangannya dicekal, jari manis yang bengkak itu terasa sakit dan mengundang teriak kesakitan dari bilahnya.
"Aw ... s-sakit!" ucap Jihye dalam pekik teredam. Jemari bekas cincin itu tampak bengkak dan membiru begitu kontras di bawah dirusan lampu yang menggantung di atas meja makan.
"Kenapa?" Yoongi membelalakkan matanya panik. "Kau memaksa membukanya hingga melukai jarimu, eoh? Kenapa kau begitu bodoh? Kalau kau marah, marah saja Hye, jangan seperti ini!"
Jihye memilih bungkam berusaha menata kembali ketenangannya yang nyaris goyah.
"Ayo kita ke rumah sakit."
Jihye mengeratkan bibirnya bersamaan dengan usaha menarik lepas tangannya dari cekalan Yoongi.
"Tolong, jangan membuat hal ini semakin berat untukku, Min Yoongi-ssi. Sudah aku katakan, aku baik-baik saja. Bisakah kau tidak menggangguku ... aku mohon ... jangan menggangguku," ucap Jihye tegas.
Gadis itu mundur dengan tatapan yang terus memaku pada Yoongi hingga akhirnya membalikkan badan dan menutup pintu kamarnya keras, meninggalkan Yoongi dalam geming dengan rahang mengatup.
Menatap punggung gadis itu menjauh serta-merta menghadirkan perih dalam relungnya. Sekecewa itukah Jihye padanya? Rasa bersalah kini memeluk Yoongi, menghantarkan getaran hebat yang melemahkan tungkainya.
Aku memang pengecut.
*
Luasan ruang itu selalu terasa nyaman, seharian ini Jihye begitu merindukan kamarnya terutama kasur empuk dan bantal-bantal besar miliknya. Setelah mengunci rapat bilah kayu di belakang. Jihye menghamburkan tubuh, menyembunyikan wajah dibalik bantal dan mulai menarik sengguk pilu. Menumpahkan segala kelesah, kekecewaan dan perasaan terkhianatinya.
Tolong ... biarkan dia menangis, biarkan dia memeluk sedihnya, biarkan dia menjadi manusia yang merasakan sakit. Karena pada akhirnya, Jihye akan terlihat baik-baik saja dan menularkan senyum pada orang-orang sekitarnya.
Malam itu bahkan pelupuk Yoongi terasa enggan untuk terpejam kendati kelelahan menderanya. Efek yang ditinggalkan Jihye pada hatinya terlampau besar.
Sementara di tempat lain, seseorang terlihat duduk dengan kemarahan menyelimuti.
"Wanita itu benar-benar kembali?" ucapnya geram.
CAMEO HARI INI WKWKWK ... Yejun dan pamannya ... Kalo yang udah baca lapak sebelah pasti apal siapa mereka heheheh
GAK ADA YANG SEDIH KAN???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro