12. Mian
Song by: Anna Clendening: Sorry that I do that.
Selamat natal bagi yang merayakan ... Happy Holliday ^^
Mutualan IG yuk: Ranesta13
Makasih banget ... banyak yang muncul di part kemarin ... terhibur aku tuh, rasanya kayak ga bertepuk sebelah tangan gitu hahaha. Boleh dong minta kesan pesan part ini juga di akhir. Kalau berkenan.
Btw aku suka perhatiin loh id-id mana aja yang jadi tim gercep sejak jaman YLS dan FY, ntar ada GA lagi deh buat apresiasi. Hehehe ....
Yoongi mengembuskan napas kelewat berat dan panjang, mencoba konsentrasi pada apa yang tengah dikerjakannya-proyek besar mengenai pembangunan smart city di daerah Busan-tetapi, fokusnya hilang saat kelebatan wajah marah Jihye terus saja muncul.
"Argh! Bisa tidak, kau tidak terus muncul, Hye!" ucapnya geram pada sosok imajiner yang mengusik otaknya.
Yoongi sangat gusar, mengacak surai legamnya kasar lantas berdiri menghadap kaca besar, mencoba mencari ketenangan pada bentangan alam Seoul yang hari ini tampak cerah. Sayang, hal itu tidak berhasil, hingga bunyi dering ponsel menarik atensinya, menampilkan nama Jungkook di layar benda pipih itu.
"Ya," jawab Yoongi datar.
"Hyung, tidak lupa 'kan? Makan siang bersamaku?"
"Ya," jawab Yoongi malas. Sebenarnya janji dengan adik kelasnya saat kuliah di Amerika itu dia lupakan sama sekali.
"Oke, sampai bertemu nanti. Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan mengenai seseorang yang selama ini kau cari."
Mendengar hal itu sontak Yoongi mengerjap, menanti ucapan tambahan dari Jungkook yang sayangnya hanya disajikan suara tuts yang menandakan putusnya sambungan telepon mereka.
Well, Yoongi harus bertepuk tangan pada hidupnya hari ini. Dia benar-benar tidak dapat bekerja lebih jauh lagi dan memutuskan untuk pulang setelah makan siang dengan Jungkook nanti.
***
Suasana restoran yang dipakai untuk janji temunya dengan Jungkook terbilang cukup romantis, beberapa kali Yoongi menghabiskan waktu kencannya dengan Yuri di tempat ini. Selain menyajikan cantiknya city view dengan sungai Han di bawah, steak di tempat ini juga sangat enak.
Jungkook melambaikan tangan dengan bentangan senyum kelewat menawan, tampak begitu antusias melihat kedatangan Yoongi yang saat ini terlihat kacau.
"Ada apa dengan wajahmu itu, Hyung?" tanya Jungkook heran mendapati aura Yoongi yang tampak seperti habis dari pemakaman.
"Aku bertengkar dengan Jihye," jawab Yoongi seraya mendorong kursi kayu dan mendaratkan bokongnya selaras dengan embusan napas berat.
"Wow, apa yang dipermasalahkan pasangan menikah? Aku penasaran. Apa soal ranjang?"
Yoongi memilih memicingkan mata, bukannya pemuda bergigi kelinci itu sangat hafal dengan dirinya yang tidak tidur bersama Jihye, kenapa masih menanyakan hal tidak lazim seperti itu?
"Hehe, mian." Kekeh Jungkook lantas merogoh saku jasnya mengeluarkan ponsel. Terlihat pemuda itu beberapa kali menggulirkan layarnya dan mematung dengan roman serius. "Ini ... aku melihat mereka tiga hari lalu," ucap Jungkook memperlihatkan layarnya ke depan wajah Yoongi.
Rahang Yoongi sukses menganga tidak percaya, terkejut bukan main melihat apa yang disajikan Jungkook di depan matanya.
***
Mungkin Jungkook itu pribadi kelewat polos dengan tampilan luar biasa memesona dengan wajah dan proporsi tubuh sempurna. Namun, bagi Yoongi tentu saja itu tidak menarik dan sia-sia karena kesempurnaan Jungkook tidak dibarengi dengan kepekaan tinggi. Yoongi baru saja memberitahu mengenai pertengkarannya dengan Jihye, tetapi malah disuguhkan pemandangan kelewat menyesakkan perihal sang mantan yang sampai saat ini masih mendominasi hatinya.
Maka, dengan tungkai yang melangkah lunglai berpadu kecamuk hati yang semakin perih. Yoongi pulang ke apartemen bermaksud menenangkan diri, sementara Jihye dan Yuri masih saja berebut atensi pada lobusnya, dan sial, kedua wanita itu sama menarik. Ah, tidak-tidak Yuri masih lebih menarik.
Tepat pukul tujuh malam, Yoongi mulai menautkan kedua alis karena tidak biasanya Jihye pulang selarut ini. Maniknya menatap satu bungkus besar ayam goreng dan beberapa botol soju di atas meja yang dia beli sebagai oleh-oleh. Oke, mungkin lebih tepatnya makanan sogokkan agar Jihye melupakan marahnya. Yoongi benar-benar mengikuti saran Jungkook.
"Sebaiknya kau membelikan makanan kesukaan Jihye Noona sebagai tanda permintaan maaf."
Itulah kenapa Yoongi memilih membeli chimaek karena beberapa kali pria itu mendapati Jihye membeli makanan tersebut dan menyimpulkan bahwa istrinya sangat menyukainya.
Waktu berjalan cukup cepat, diliriknya lagi jam yang terpasang di dinding. Pukul sembilan malam, sudah tiga kaleng minuman yang dia tandaskan dalam acara menunggu Jihye pulang, pun dengan benda pipih yang ada di genggamannya sudah menghubungi Jihye berpuluh kali.
Memejamkan mata, mengacak rambutnya kasar dengan desisan tak sabar yang keluar dari bilahnya. Jihye sukses membuat Yoongi khawatir. Pria itu menyadari apa yang ia katakan pada istrinya itu sangat keterlaluan terlebih apa yang dia lihat bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang dia bayangkan. Namun, Yoongi bisa apa saat denyar panas itu benar-benar membuat otak dan hatinya seakan ingin meledak? Dia marah, ya, dia marah. Tolong jangan katakan dia cemburu, Yoongi hanya bereaksi sesuai poin 5 pada wedding agreement mereka.
Menyambar mantel dan kunci mobilnya, Yoongi menghabiskan malam itu menyusuri Kota Seoul mencari keberadaan Jihye. Sungguh ajaib karena rasa khawatirnya itu bahkan menggeser rasa sakit yang siang tadi baru saja menghampiri. Yuri yang benar-benar lepas dari genggamannya hanya menyisakan sekelumit sesak di sana. Saat ini ketidakberadaan Jihye dirasa sangat berimbas pada ketenangannya. Heol ... bagaimana bisa?
***
Mungkin ini sebuah keputusan brilian yang dilakukan Jihye. Tenggelam di atas lautan busa empuk dengan sinar matahari yang enggan menyorot pada jendela-jendela kecil yang bahkan tertutup tumpukan kardus di depannya. Wanita itu bergelung nyaman, tanpa sedikit pun terganggu dengan bau khas lelaki yang menyeruak di ruang sempit itu. Beruntung kebiasaan pemilik rumah yang menyembunyikan kunci di bawah pot tanaman tidak berubah sejak lama hingga dia bisa masuk.
Pagi itu, hatinya cukup mencelus mendapati pintu rumah tidak terkunci, boleh dibilang dia memang ceroboh dan hal itu sudah terjadi beberapa kali.
Membuka pintunya pelan tanpa menaruh curiga sedikit pun. Pria itu harus berakhir berteriak saat melihat presensi seorang gadis tertidur nyenyak di ranjangnya.
"Aaaa ... Hye! Apa yang kau lakukan di sini!"
"Aku tidur, Goo ... apa kau tidak lihat, eoh?" jawab Jihye malas, tampak tidak terganggu dengan teriakkan Jingoo dan lebih menggelungkan dirinya dalam posisi nyaman di atas kasur.
"Bagaimana kalau suami kayamu itu mencari, apa kalian sedang bertengkar? Kenapa melibatkan diriku?" Jingoo menarik tangan Jihye sampai gadis itu benar-benar bangun.
"Biarkan aku tidur ... aku mohon ...." rengek Jihye.
"Aku akan menelepon suamimu dulu."
"Jangan!" teriak Jihye histeris, menyambar ponsel yang sedang digenggam Jingoo sambil melotot. "Baiklah aku akan pulang sekarang," ucap Jihye lirih dengan embusan napas kelewat berat.
Gadis itu sudah meraih tasnya saat Jingoo memanggilnya kembali. "Setidaknya sarapan dulu, Hye."
"Aku tidak lapar," ucapnya lebih pada sebuah gerutuan
"Yak! Seo Jihye setidaknya bersihkan dulu dirimu. Kau terlihat kacau sekali astaga."
Jihye mencebik lantas menyambar handuk bersih yang Jingoo berikan.
Baginya, banjiha--apartemen semi bawah tanah--sewaan Jingoo lebih dari sekadar kenyamanan. Di lingkungan inilah dirinya tinggal bersama sang ayah sewaktu kecil. Di sini dia bisa merasakan tawa renyah sederhana saat sang ayah pulang membawa sekantong ayam goreng.
Jangan lupakan Jingoo si bocah tetangga tengil yang selalu menjadi temannya. Mereka tumbuh bersama dengan mimpi yang sama-menjadi orang yang membanggakan dan menyelamatkan dunia. Well, mungkin mimpinya terlalu tinggi, setidaknya menjadi orang baik saja mungkin sudah cukup.
"Goo-ya, apa kau tidak mau membersihkan kamarmu ini? Baunya benar-benar seperti orang yang tinggal di banjiha. Kau pernah menonton film yang menang Oscar itu? Mereka menyinggung tentang bau khas orang-orangnya yang tinggal di banjiha. Kenapa kau terus-menerus merokok di dalam sini, eoh," cerocos Jihye sesaat setelah keluar kamar mandi dengan handuk tersampir di pundak sambil mengeringkan rambutnya yang basah.
Jingoo mengapit bibir Jihye dengan jari supaya gadis itu berhenti berbicara. "Kau benar-benar berisik seperti seorang ahjumma. Kau tahu alasanku tidak mau membersihkan rumahku? Tadinya kupikir kau bersungguh-sungguh dengan ucapan menikahimu kalau kau tidak laku. Ternyata tuan kaya itu benar-benar jodohmu, ya. Apa aku sudah bisa disebut paranormal sekarang?" Jingoo membentangkan senyumnya yang kemudian diganjar pukulan di kening.
"Gara-gara bicaramu yang sembarangan itu, aku sekarang menderita."
"Apa dia kasar?"
Jihye menggeleng. "Tidak, hanya saja ucapannya mengandung racun, benar-benar tembus sampai relung terdalamku."
"Jadi kau kabur karena dia menghinamu?"
Jihye hanya bergeming, lantas sibuk menggerakkan tangan seperti sedang mengusir nyamuk nakal di sekitarnya, tidak ingin mengingat si kucing salju sialan itu.
"Mumpung akhir pekan, bagaimana kalau kita jalan-jalan? Setelah menjadi istri orang, aku belum pernah mentraktirmu. Kau bebas mau makan apa pun." Jihye menarik tangan Jingoo setengah memaksa.
Senyum Jihye mendadak hilang saat sebuah Mercedez Benz hitam dan seseorang yang bersandar di pintunya menjadi pemandangan pertama yang dia lihat tepat setelah dia keluar rumah.
Yoongi tampak begitu kontras, seperti seorang pangeran yang tersesat di lingkungan kumuh.
"Min Yoongi-ssi, ke-kenapa ...?"
Jihye melirik Jingoo yang kali ini menyengir. "Yak! Kenapa kau beritahu dia!"
"Tidak baik suami istri berpisah lama-lama, terlebih kau bermalam di rumah pemuda tampan sepertiku. Kalau ada fitnah bagaimana?" kata Jingoo mengusap lembut puncak kepala Jihye. "Sana pulang!" Dia mendorong Jihye ke arah Yoongi yang saat ini menatap dengan tatapan tak terartikan.
Jingoo sialan ....
***
Pria dibalik kemudi itu memasang wajah sedatar papan tanpa sedikit pun memperlihatkan emosi, berbanding terbalik dengan kelegaan yang memenuhi relungnya. Dia bersyukur, Jihye terlihat baik-baik saja walau wajahnya tampak sedikit bengkak dan kusut nyaris sama seperti dirinya.
Mungkin Yoongi harus memberikan sejumlah uang untuk Jingoo karena telah memberitahu keberadaan istrinya. Namun, satu hal yang membuatnya tidak habis pikir. Bermalam di tempat kumuh seperti itu? Yang benar saja. Apa hidup Jihye memang sebebas itu? Ah, lebih baik Yoongi mengesampingkan rasa penasarannya, menjaga mood Jihye adalah utama saat ini. Pria itu mengangguk-angguk seolah menimang-nimang apa yang sedang dipikirkannya, lantas berusaha memulai konversasi selembut mungkin.
"Jadi ... kau akan minta maaf karena tidak pulang dan membuatku terjaga semalaman?"
Sebuah desisan terdengar pada bilah Jihye diikuti tatapan nanar. Kesal lantaran bola panas itu seolah berada di tangannya. Di sini siapa yang membuatnya marah? Kenapa sekarang Jihye tampak seperti gadis nakal yang mencoba diberi pelajaran hidup? Astaga.
"Suruh siapa kau tidak tidur, asal kau tahu aku tidur sangat nyenyak tadi malam."
"Tindakanmu sangat tidak bertanggung jawab, Nona Seo. Aku ini suamimu," ucap Yoongi dengan helaan napas pelan-mencoba sabar.
"Apa sebuah ucapan bisa dipertanggungjawabkan juga, Tuan Min?" tanya Jihye tajam.
Pria itu bergeming, tampak berkonsentrasi penuh pada mobil yang sedang dikemudikannya, kemudian berdeham begitu keras diikuti silabel mian yang mungkin hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
"Apa katamu?" tanya Jihye masih dengan roman kesal.
"Apa?" Pria itu mengerjap seolah tertangkap basah melakukan kesalahan.
"Kau bilang apa setelah berdeham tadi?" tanya Jihye penuh tuntutan.
Ini memalukan dan tentu melukai sikap sedingin es yang selama ini dia pertahankan di depan Jihye. Yoongi memilih mengedikkan bahu. "A-aku tidak bilang apa-apa."
Jihye memutar bola matanya malas dan memutuskan untuk tidur di sisa perjalanan, kepalanya masih terasa berat setelah mabuk tadi malam.
Dua puluh menit kemudian, Mercedes Benz itu memasuki pelataran parkir apartemen mereka. Yoongi sudah membuka seatbelt-nya saat Jihye terbangun.
Masih dengan wajah ditekuk kesal, Jihye tiba-tiba harus menahan napas tatkala Yoongi mencondongkan diri ke arahnya untuk membuka seatbelt. Posisi mereka begitu dekat sehingga tahi lalat kecil di pipi sebelah kiri pria itu tampak jelas. Entah kenapa detak organ tubuh di dada sebelah kirinya begitu kencang bersama tenggorokan yang sekonyong-konyong terasa kering. Mati-matian gadis itu menolak menelan salivanya, benar-benar risi dengan posisi mereka.
"Jihye-ssi, jangan seperti ini lagi, ya," pinta Yoongi lembut menelengkan wajahnya sehingga mereka benar-benar berhadapan sangat dekat--terlampaui dekat. Jihye mengerjap saat dia menangkap senyuman yang sepertinya tulus dari bilah tipis Yoongi.
Perlahan Yoongi menjauhkan tubuhnya dan mengacak puncak kepala Jihye. "Jangan biarkan pria lain mengacak rambutmu seperti ini."
Pria itu memberikan sebuah kartu penalti dan turun dari mobil. "Oiya, jangan lupa bernapas." Masih dengan senyum yang sialannya terlihat begitu imut, pria itu meninggalkan Jihye yang masih bergeming, mencoba mencerna apa yang baru saja dilakukan suaminya itu.
"Dia kenapa, sih?" tanyanya bersama embusan napas panjang menatap punggung Yoongi yang menjauh. Tangannya melirik kartu penalti itu dan mendapati tulisan mian di sana.
Mau tidak mau kurva manis kini tercetak jelas pada bilah Jihye.
"Dasar kucing salju, minta maaf saja gengsi."
Gimana part ini suka, gak? Kapan Yuri muncul???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro