Ibuku Pengemis
Ini hari terakhir aku memberi tugas luring, pada peserta didikku, sebelum hari raya qurban esok hari. Aku berencana memperbanyak materi dan soal latihan ke tempat foto copy, yang letaknya tak begitu jauh dari sekolahku.
Sesampainya aku di tempat foto copy, kuminta pada salah seorang karyawan untuk menggandakannya sebanyak sepuluh eksemplar.
Saat karyawan tersebut melaksanakan tugasnya, aku keluar toko untuk sekedar cuci mata.
Ada beberapa ruko di sini yang menjual bahan sembako, ada juga bengkel dan warung makan Padang yang masakannya terkenal lezat itu.
Banyak orang berlalu lalang demi mendapatkan kebutuhannya di sekitar ruko ini. Tetiba saja mataku terpaku pada sosok wanita tua berpakaian lusuh, sedang melipat dan merapikan kardus-kardus yang ada dihadapannya.
Kardus itu pun diikatnya dengan tali rafia, lalu wanita tua itu duduk di pojokan ruko kelontong, beralaskan potongan kardus. Ternyata di hadapannya terdapat baskom kecil, yang nampak sengaja diletakkannya di situ.
Beberapa orang yang melewatinya, melempar uang logam juga ada yang lembaran kertas. Sang wanita tua menatap tersenyum sembari mengucapkan terimakasih.
Dari caranya berpakaian dan gerak gerik wanita tua itu, rasanya aku sangat mengenalinya. Namun karena wajahnya sebagian tertutup jilbab lusuh yang sengaja dilipat menyerupai masker, aku agak ragu memastikannya. Benarkah wanita itu ... akh, baiknya aku hampiri saja agar aku tidak penasaran.
"Bu, ini sudah selesai," panggil karyawan toko, sesaat aku hendak melangkah meninggalkan toko.
"Oh, ya. Berapa semuanya, Mbak?" sahutku membalikkan badan, dan mendekatinya.
Si mbak mengucapkan sejumlah angka, aku pun segera membayar sesuai nominal yang di sebutnya.
Usai melunasi, tak sabar aku menghampiri wanita tua yang sempat membuat hatiku bergetar menjalar tak karuan. Beliau terkejut melihat kedatanganku, aku pun tak kalah terkejutnya.
"I-ibu?!" teriakku terbata.
"Din-dinda," sahutnya, sembari memalingkan wajah, menghindari bersitatap denganku.
Kuraih tubuh sepuhnya kedalam pelukanku, namun ibu berusaha menghindari dan melepaskan diri dari rengkuhanku.
Seolah tak memperdulikan kehadiranku, beliau berkemas terburu-buru menggendong kardus-kardus yang tadi telah disusun sedemikian rupa, mengambil beberapa lembar uang kecil dari baskom dan segera berlalu meninggalkanku.
Kuraih tangannya, "Tunggu, Bu. Ibu mau kemana?"
Tanpa menjawab tanyaku, ibu terus berjalan menjauhi tempat ini. Aku menjejeri langkahnya.
"Tunggu, Bu. Ibu mau kemana?" tanyaku lagi.
Namun ibu tak jua menjawab, beliau terus saja berjalan hingga beberapa meter menjauh dari tempat semula.
Aku memaksanya untuk berhenti ditempat yang tak seramai tadi. Tepatnya di bawah pohon beringin yang rindang di jalan belakang gudang yang sudah lama tak di pakai.
"Bu ... sudah berapa lama ibu seperti ini dan kenapa tidak pernah cerita pada Dinda?" cecarku sesaat kami duduk di tepi jalan ini.
"Sudah hampir satu bulan, Nak. Sejak ibu bertekad untuk qurban tahun ini, bagaimana pun caranya?"
Ya, seingatku, kami memang belum pernah ikut berqurban. Sejak ayahku meninggal saat aku duduk di kelas dua SMP dan adikku di kelas lima sekolah dasar. Ayahku yang hanya seorang penjual bakso keliling menggunakan gerobak dorongnya, tiba-tiba saja dari arah belakang di seruduk motor gede yang di kendarai anak-anak seumuranku kala itu.
Ayahku terpelanting jatuh menggelepar ke tengah jalan, hingga menemui ajalnya saat dalam perjalanan menuju rumah sakit. Dari hidung, mulut dan telinga ayah, mengalirkan darah segar, sampai jenazahnya di kebumikan.
Sialnya, si pengendara ugal-ugalan itu, berhasil melarikan diri tanpa di ketahui rimbanya.
Seketika ibuku menjadi janda, aku dan adikku disebut orang anak yatim. Tanpa peninggalan harta warisan seperti layaknya orang berada. Satu-satunya benda berharga yang ayah tinggalkan untuk kami, adalah sepetak tanah yang berdiri di atasnya, rumah gubuk dari kayu untuk kami tinggal.
Sejak saat itu, ibu seorang diri bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Pekerjaan apapun di lakoni ibu tanpa ada rasa gengsi sedikit pun.
Mulai berjualan bakso melanjutkan pekerjaan ayah yang lama-kelamaan kehilangan pelanggan.
Pernah juga ibu bekerja sebagai pengaduk semen, membantu Om Adi yang tukang bangunan.
Menjadi buruh cuci pun, pernah ibu lakukan bertahun-tahun, hingga aku tamat SMA.
Ibuku cukup cantik dan bersahaja. Tak heran jika ada saja laki-laki yang meminta ibu, untuk menjadi istrinya. Namun semua ibu tolak, demi keselamatan aku dan adikku, katanya. Ibu tak mau tragedi ayah tiri yang sering didengar menimpa kedua anaknya tercinta.
Setamat SMA aku coba bekerja sebagai tata usaha di sekolah dasar yang ada di kampungku.
Dua tahun aku mengabdi di sekolah itu, Bang Rafi yang seorang guru honorer di sekolah yang sama, melamarku untuk menjadi istrinya. Orang bilang sih, cinlok. Tapi apapun namanya, aku meyakini ini caranya Alloh mempertemukan jodohku, dengan insan pilihan-Nya.
Kini aku sudah di karuniai sepasang anak yang pintar dan lucu. Aku pun sudah di angkat menjadi guru honorer.
Aku masih rutin menyisihkan gajiku sebagian untuk ibu, sampai detik ini. Meski sejak menikah, aku tak lagi tinggal bersama ibu. Aku dan suami memutuskan untuk mengontrak rumah sederhana. Ibu selalu menolak bila aku minta beliau tinggal saja bersamaku.
Memang jarak rumah kontrakanku dan rumah ibu, sekitar tiga kilometer saja. Tidaklah begitu jauh, namun karena kami belum memiliki kendaraan pribadi, kami hanya sesekali saja kerumah ibu. Tepatnya setiap aku habis gajian, aku pasti menjumpai ibu.
Adikku pun kini sudah berkeluarga dan tinggal di rumah ibu yang sudah di renovasi alakadarnya. Maklum adikku hanyalah seorang buruh di pabrik tekstil dan di karuniai dua orang anak juga.
"Kenapa ibu tak pernah cerita pada, Dinda?" tanyaku kembali.
"Ibu tidak ingin menambah beban hidupmu, Nak. Sementara ibu benar-benar ingin qurban, setidaknya satu kaliii saja selama hidup ibu, yang sudah tujuh puluh tahun ini."
"Jujur ibu iri sama para pemulung, tukang becak, buruh cuci, dan orang kecil lainnya, yang sanggup berqurban di tengah keterbatasan mereka." Tatapan ibu jauh menerawang ke depan.
"Jika menunggu mampu secara materi, mungkin sampai mata ini benar-benar tertutup dan tak bisa terbuka kembali, ibu tidak akan pernah berqurban." Ibu menyeka air mata yang mulai jatuh bercampur peludi wajah keriputnya itu.
"Maka ... mohon izinkan Ibu, Nak. Di sisa usia senja ini, Ibu ingin mewujudkan cita-cita ibu sejak dulu dulu sekali. Ibu sudah menjual cincin pemberian nenekmu saat Dinda masih kecil. Namun karena suratnya sudah tidak ada lagi, harganya pun jauh di bawah standar. Sementara satu ekor kambing jantan, harganya mendekati tiga juta rupiah. Ibu hanya perlu menambahnya beberapa ratus ribu lagi."
Air mataku mengalir tanpa bisa kuhalau. Bagaimana mungkin ibu bisa mencukupi uangnya untuk membeli seekor kambing, sementara esok hari raya sudah tiba.
"Baiklah, sekarang ibu akan Dinda antar pulang ke rumah, ya. Dinda, akan membantu ibu mencukupkan uangnya untuk bisa membeli seekor kambing tahun ini juga."
"Tidak usah, Nak. Ibu tidak ingin merepotkanmu. Sekali lagi tidak usah. Biarlah Ibu mewujudkannya sendiri. Sekarang Ibu mau menjual kardus ini dulu, mana tau sambil jalan ada orang yang berhati mulia bisa menambah kekurangannya."
Ibu pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan nya yang cukup jauh dengan berjalan kaki. Menggendong kardus-kardus itu di punggungnya. Sementara tangan kanan menggoyang-goyangkan baskom kecil tadi.
Aku melepas ibu tanpa bisa berkata apa pun, selain tekad dalam hati yang kian menggebu, untuk segera menjual cincin mas kawinku dulu. Baik, Bu. Ibu tunggu aku di rumah. Aku akan membantu ibu mewujudkan mimpi. Bisikku dalam hati.
Aku setengah berlari kembali ketempat semula. Karena motor bututku masih terparkir di sana. Aku berjalan berlawanan arah dengan langkah kaki ibu. Tak sabar rasanya ingin segera ke toko mas, menjual barang berharga milikku ini.
Pukul lima belas lebih empat puluh menit, aku sudah tiba di rumah ibu. Ibu masih mengenakan mukena, sembari menghitung-hitung uangnya. Mulutnya tak henti berzikir meski pelan namun aku mendengarnya cukup jelas.
"Ayo, Bu. Sekarang kita pergi ke tempat penjualan kambing. Mudah-mudahan masih ada kambing yang sesuai dengan keinginan Ibu," ucapanku sedikit membuatnya terkejut. Ibu nampaknya tidak menyadari, jika aku mengamatinya sejak tadi.
"Duit ini masih kurang, Nak. Bagaimana mungkin ibu bisa membeli kambing," ucapnya lirih menahan tangis.
"Tenang, Bu. Dinda akan menambahkannya sesuai janji Dinda pagi tadi. Sekarang, ayo ibu berkemas, agar kita tidak kemalaman nanti.
Usai negosiasi dengan penjual kambing, di dapatlah seekor kambing jantan yang cukup besar, seperti keinginan ibu. Penjual kambing berjanji akan mengantarkan ke rumah ibu, selepas sholat magrib, bersama kambing pesanan lainnya.
Betapa bahagianya ibu, saat kambing pesanannya, di antar kerumah sesuai janji. Mata tua ibu berbinar, senyum terkembang, sujud syukur spontan dilakukan di tengah semarak takbir yang mulai menggema.
Alhamdulillah ... akhirnya ibu dapat mewujudkan mimpinya, meski harus menjadi pemulung dan pengemis di usia senjanya.
Maafkanlah Dinda dan Ardian anak ibu, yang sudah membiarkan ibu bermimpi terlalu lama..
Bukan ... bukan kami tak mau berbakti atau abai pada ibu, namun kondisi kami jualah yang membuat segalanya berjalan sangat lamban.
Ibu memeluk kambing itu sangat lama, lama sekali. Hingga penjual kambing pamit, ibu tak jua menjawabnya.
Setelah penjual kambing itu berlalu, aku menghampiri ibu untuk mengingatkan akan suara azan Isya yang telah berkumandang.
Kusentuh ibu dengan lembut. Ibu tak merespon. Kuguncang tubuh ibu perlahan, ibu tak juga terjaga. Ibu diam seribu bahasa dengan mata terkatup rapat untuk selamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro