Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

89 - Mendarat Sempurna

Tengah malam, Melisa terbangun. Sebelum mengubah posisi, ia memindahkan tangan besar yang sejak tadi melingkar di pinggangnya. Kepalanya menoleh ke samping, memandang wajah Candra yang terlelap dengan napas teratur. Perasaannya sulit dijelaskan, yang pasti senang. Setelah melalui berbagai macam lika-liku, setelah sekian lama bergelut dengan hati ... malam ini, Melisa mengizinkan suaminya tidur satu ranjang dengannya.

Sayang sekali, karena perutnya keroncongan, Melisa terpaksa merenggut Candra dari alam mimpi. Melisa mulai menggoyangkan bahu laki-laki itu. "Mas ...."

Mungkin alarm sudah diatur sempurna. Tak perlu berteriak, si bapak pilot membuka mata dan bangkit dari tidurnya. "Kenapa, Sayang?"

"Aku laper."

Candra mengucek mata sebentar. "Itu ada biskuit. Kamu mau?"

"Nggak mau. Aku mau makan mi goreng. Bikinin, ya?"

"Ya udah, aku bikinin. Tunggu di sini, ya."

Seperti biasa, Melisa tidak perlu memaksa Candra menuruti keinginannya. Laki-laki itu langsung sigap pergi ke dapur untuk membuatkan mi permintaan sang istri. Melisa bahagia karena Candra benar-benar menepati ucapannya. Namun, lain kali, ia akan memberi pengertian ke suaminya bahwa tidak semua keinginan harus dituruti. Melisa tidak mau menjadi orang yang menambah luka di hati suaminya.

"Kamu pasti ikut bahagia, kan? Tapi, nanti kalau kamu udah besar, jangan menyusahkan papa kamu, ya. Kamu harus bisa mengerti keadaan seseorang kalau mau dimengerti," kata Melisa seraya mengelus perutnya.

Dua puluh menit kemudian, Candra kembali muncul dengan membawa nampan berisi sepiring mi goreng dan segelas susu. Melisa terpana. Butuh jeda beberapa detik untuk mencerna.

"Aku buatin susu. Kayaknya tadi kamu belum minum."

Melisa tertegun. Namun, hanya sebentar. Setelah sadar, dengan cekatan Melisa meraih ponsel, membuka kamera, lalu memotret gelas susu buatan Candra.

Apa yang dilakukan Melisa memancing keingintahuan Candra. "Ngapain difoto?"

"Buat kenang-kenangan. Nanti aku mau kasih tau anak kita ini susu pertama yang dibikin sama papanya."

Tidak ada alasan bagi Candra untuk tidak tersenyum. Karena dirinya ada di sini, maka ia akan mempertahankan apa yang sudah menjadi pilihan, akan memperlakukan ibu dari anak-anaknya dengan baik.

"Suapin, dong, Mas. Biar romantis gitu."

Candra tertawa kecil, tapi tangannya mengangkat piring itu. Kini, keduanya duduk di ranjang saling berhadapan. Candra mulai menggulung mi menggunakan garpu.

"Mas mau dengerin cerita aku?" tanya Melisa dengan mulut penuh.

Sementara itu, Candra terperangah karena teringat pertemuannya dengan Hartanto. "Mau."

Melisa membuka mulut untuk menerima suapan selanjutnya. Setelah itu, ia beranjak membuka nakas, mengambil tiga buah botol asam folat yang pernah ia minum dan sengaja tidak dibuang untuk barang bukti. Dua di antaranya sudah habis, satu lagi masih tersisa setengah botol. Usai menelan mi, Melisa mengambil napas.

"Waktu Mas terbang ke Sidney, aku ke rumah sakit buat lepas IUD. Terus, aku minum ini." Melisa mengawali ceritanya dari perjalanan Candra ke negeri kangguru itu. "Aku juga berusaha berubah gaya hidup, mulai dari makanan sampai olahraga. Yang ada dipikiranku saat itu, aku mau punya anak supaya ibu berhenti nyuruh Mas nikah lagi. Terus, aku bikin kesepakatan sama ibu. Aku bilang dalam waktu dua bulan kalau aku bisa hamil, ibu harus berhenti. Kalo nggak, aku yang rela izinin Mas nikah lagi."

Bibir Candra tertutup rapat, masih menyimak istrinya.

"Aku akhirnya ajak Mas liburan dengan harapan bisa cepet hamil. Ternyata bener, lho. Ini oleh-oleh kita pulang dari sana."

Ada jeda beberapa detik setelah itu. Melisa meraih tangan suaminya, menggenggamnya dengan lembut. "Pas tahu aku hamil, aku bingung, Mas. Aku nggak tau gimana caranya bilang ke Mas. Saat itu, aku bener-bener bodoh. Coba kalau aku nggak nekat lepas IUD tanpa ngomong dulu ke Mas, mungkin aku nggak akan susah. Tapi, Inayah bilang aku harus hadapi apa pun reaksi Mas. Aku udah ngerasa siap buat jujur. Eh, Mas malah denger aku lagi ngomong sama ibu. Kan, jadi nggak surprise."

"Sebelum itu, aku udah tau dari ibu. Ibu yang telepon aku waktu masih di China." Candra menambahkan cerita istrinya.

"Tuh, kan, emang ibu suka cari gara-gara. Eh, tapi, nggak bisa salahin ibu juga. Ibu, kan, nggak tau kalau Mas yang nggak mau punya anak."

Candra meletakkan piring di pangkuan agar bisa mengelus pipi Melisa.

"Pokoknya begitu ceritanya, Mas. Aku minta maaf, ya, karena udah nggak jujur, udah bikin Mas sakit hati, udah minta yang aneh-aneh."

"Aku juga minta maaf udah marah-marah waktu itu. Aku udah bikin kamu ada di situasi ini."

"Mas boleh, kok, bales aku. Mau diapain aja terserah."

"Kalau kayak gitu entar nggak selesai-selesai. Aku nggak mau nambahin beban kamu lagi." Berkat dorongan dari hati, tangan Candra perlahan menyentuh perut sang istri. "Sekarang tugas kita lupain kejadian yang lalu. Kita besarkan anak kita sama-sama, ya."

"Harus, dong. Kalo Mas nggak mau, aku bisa cari bapak baru."

Candra mencubit hidung istrinya. "Mulai."

Melisa meringis. Kemudian, mencium tangan suaminya sebagai simbol permintaan maaf. "Gimana rasanya dibohongi istri? Kasih review, dong."

"Aku kapok. Biar nggak dibohongi lagi, aku yang pasang KB."

"Luar biasa!" seru Melisa sembari bertepuk tangan. Namun, seketika ia menyadari sesuatu. "Jangan bilang Mas mau vasektomi?"

"Kalau iya, kenapa?"

"Mas! Pakai kondom, lah!" Melisa mencubit pinggang Candra hingga laki-laki itu menunduk. "Awas kalo berani vasektomi. Aku beneran ganti suami!"

"Ih, takut."

"Mas, ih! Aku serius!"

Candra terkekeh. Kali ini dia yang meraih tangan istrinya. "Iya-iya, Sayang. Aku pakai kondom. Kalau perlu kamu yang beliin. Tapi, kalau gagal, kita steril, ya. Dua anak cukup."

"Oke, deal." Melisa tersenyum puas. "Lanjut suapin."

Candra langsung menurut. Ia terus menyuapi istrinya sampai habis. Tentu saja ia bahagia melihat Melisa bisa makan banyak.

"Aku juga punya cerita," kata Candra. "Mau denger nggak?"

"Mau!"

"Setelah kamu pergi, aku nemu banyak pelajaran, juga kejadian yang nggak terduga. Aku ketemu ayah. Ayah jadi salah satu penumpang pesawat ke Surabaya. Kami duduk bersama, terus aku dikasih ini." Candra mengambil dompet, mengeluarkan kartu nama psikolog pemberian ayahnya. "Kamu mau, kan, temenin aku ke sana?"

Melisa mengangguk mantap. "Mas senang ketemu ayah?"

"Seneng banget. Kalau ada waktu, aku kenalin ke kamu."

Hening sejenak karena Melisa mulai meminum susu buatan Candra. Selanjutnya, gelas dan piring yang sudah kosong diletakkan di atas nakas.

"Kamu di sini dulu, ya, selama aku terbang. Nanti kalau rumah kita udah selesai dan kamu udah boleh bepergian, kita baru pindah. Terus, kamu nggak usah kerja lagi. Aku masih sanggup cari uang." Candra menyelipkan poni istrinya ke belakang telinga, kemudian mengecup kening.

"Iya, Mas. Nanti kalau udah selesai editannya, aku ajuin resign. Eh, tapi, kita belum request kamar buat anak kita."

"Udah, kamu nggak usah pikirin. Aku udah bilang. Nanti kamu lihat sendiri suka apa nggak."

Melisa terbelalak. "Kok, Mas nggak ngomong aku dulu?"

"Kan, kamu nggak mau ngomong sama aku dari kemarin."

"Ish!" Melisa mencebik meski dalam hati senang karena Candra sudah mulai memperhatikan anaknya. "Mau peluk nggak?"

Tentu saja Candra tidak akan menolak tawaran itu. Akhirnya setelah jalanan terjal dilalui, mereka merasakan yang namanya kedamaian. Candra tidak menyesal Melisa mengambil keputusan ini. Toh, tidak ada gunanya berkubang pada lubang hitam. Seperti kata Martin, menciptakan keluarga.

"Mas, aku kangen keramas pagi-pagi."

Sontak Candra mengurai rengkuhan, menatap Melisa. "Kamu lupa, aku disuruh puasa."

"Kan, masih bisa pakai cara lain kayak waktu ambil sample itu. Walau lagi hamil, aku mau jadi istri yang baik," balas Melisa. Tangannya mengelus dada suaminya perlahan. Tak lupa memberikan kecupan singkat di bibir tebal Candra. "Tapi, aku belum gosok gigi lagi, Mas. Sebentar."

Melisa hendak bangkit. Namun, Candra berhasil mencegah dengan mencekal tangan perempuan itu. Kini, pria itu menangkup kedua pipi istrinya.

"Nggak usah. Aku aja yang bersihin."

Tak perlu menunggu lama, Candra kembali mengambil buah manis yang selama seminggu tidak dijamah. Bibir saling mengumbar rindu yang telah lama bersemayam. Melisa merasakan luapan cinta bertubi-tubi dalam ciuman kali ini.

Candra melepas ciuman itu lebih dulu. Tangannya mengelus kepala Melisa hingga si empunya tersenyum. "Makasih, ini udah cukup. Aku nggak mau bikin kamu kecapekan."

"Oke."

Kini, sepasang suami istri itu kembali membaringkan tubuhnya. Saling berpelukan. Candra mengusap rambut sang istri sampai matanya terpejam. Begitu Melisa terlelap, Candra mengecup keningnya, lalu ikut tertidur dengan tenang.

Entah rintangan apa lagi yang harus dilalui esok hari. Candra merasa tidak perlu takut selama ada Melisa di sampingnya.


29 November 2022
•••

Besok, gambar di atas tulisannya bukan "bersambung" lagi, tapi "tamat". Alhamdulillah 😭

Huaaa akhirnya damai 😭😭😭

Huaaa besok tamat 😭😭😭

Udah ada yang follow akun ini belum?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro