Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

88 - Tak Bisa Memilih

Hari ini, apa yang menjadi bayang-bayang Melisa terjadi. Sang ibu mertua datang. Memecah seluruh puzzle kebahagiaan yang baru saja ia rekatkan bersama Candra. Ingatan tentang kepergiannya seminggu yang lalu kini terngiang jelas. Terakhir kali bersua, Sarina mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan dan Melisa bersumpah tidak akan pernah melupakannya.

Melisa tidak akan lupa. Enak sekali mulut manis Sarina. Sepertinya ibu mertuanya ini harus masuk sekolah lagi biar bisa belajar bicara baik dan benar. Sarina mana paham hidup susah. Dari kecil Sarina sudah cukup secara materi. Makanya kepala perempuan itu tidak pernah menunduk. Padahal di atas langit masih ada langit. Apa Sarina lupa siapa yang memberikan segalanya?

Ini bukan saatnya untuk membalas dendam atau apa pun sebutannya. Kali ini Melisa akan menunjukkan diri seperti biasa. Tak boleh terlihat lemah di depan wanita itu. Kalau kelihatan, bisa-bisa kepala Sarina penuh dengan kesombongan. Maka, ia sangat percaya diri berdiri dan berjalan menghampiri sang mertua. Menampilkan senyum terbaiknya. Lebih dulu dari Candra yang baru saja turun dari mobil terbuka.

"Selamat datang, Ibu yang baik hati. Jauh-jauh datang ke sini, pakai mobil pula. Kangen, ya, sama aku?"

Fyan yang masih berada di tempat melongo melihat sikap adiknya itu. Andai dirinya jadi Melisa, sekarang ia akan memukul wajah culas wanita tua di hadapannya itu. Pantas saja selama tiga tahun ini Melisa tidak pernah mengeluh kepada keluarga, padahal kalau mau Melisa memiliki akses itu. Adiknya sudah cukup berani menghadapi tantangan ini sendirian. Malah kini, dirinya yang ingin menghabisi Candra kalau sampai tidak membela Melisa.

Mana sekarang Ratna dan Hartanto sedang pergi. Jadi, tidak ada orang tua yang bisa melerai pertikaian ini. Fyan mulai khawatir. Takut situasinya makin rumit. Kenapa pula mertua Melisa datangnya di saat yang tidak tepat? Di saat rumah sedang ramai-ramainya.

"Ini pasti ulah kamu, kan? Kamu yang suruh Candra duduk di sana?" seru Sarina. Tangannya menunjuk mobil bak terbuka milik penjual tahu bulat, dengan mata nyaris keluar dari tempatnya.

Hal itu tidak lantas membuat Melisa takut. Ia justru lancar mengatakan, "Kalau iya emang kenapa? Aku lagi ngidam dan Mas Candra nggak keberatan. Nggak ada masalah, kan?"

"Kamu memang perempuan kurang ajar!"

Sarina hendak mendorong tubuh Melisa, tetapi dengan cepat Fyan dan Candra berhasil mencegahnya. Fyan menahan tubuh Melisa, sedangkan Candra menarik tangan ibunya.

"Apa-apaan, sih, Bu! Melisa lagi hamil!" ucap Candra dengan nada ketus. Dirinya sudah kepikiran kalau Sarina akan datang ke sini. Namun, ia tidak menduga jika ibunya akan melakukan kekerasan pada istrinya. Sarina memang pernah melakukan itu saat Candra masih kecil dan sekarang tidak rela jika Melisa mengalami hal serupa.

Sarina menatap tajam sang putra. "Berani sekarang kamu sama ibu!"

"Bu, jangan buat aku melakukan hal ini ke Ibu. Jangan buat aku bingung. Apa Ibu pikir aku mau kayak gini? Nggak, Bu!"

"Ya sudah kalau begitu kamu pulang. Nggak usah tinggal di sini! Kalau perlu kamu ceraikan Melisa!"

"Ibu, jangan bilang begitu!"

Candra masih berusaha untuk sabar. Berusaha membujuk ibunya. Walau tahu apa yang dilakukannya ini tidak akan berdampak apa-apa. Sarina tetap keras seperti batu.

"Demi perempuan ini, kamu berani melawan ibu. Kamu lebih memilih dia daripada ibu yang udah membesarkan kamu dengan susah payah! Kamu kira anak yang dikandung Melisa itu anak kamu? Jangan bodoh! Jangan mudah diperalat sama perempuan ini."

Melisa yang mendengar itu kepalanya seketika mendidih, mulai melepaskan diri dari kurungan abangnya. Fyan keberatan, tetapi Melisa berhasil meyakinkan laki-laki itu. Demi harga diri, Melisa berani mendekati Sarina. Melisa akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Enak saja mulut mercon wanita itu bicara sembarangan. Sarina ini lupa sedang berhadapan dengan siapa?

"Segitunya Ibu nggak suka sama aku? Segitu Ibu mau bikin aku lenyap dari sini? Coba Ibu inget-inget lagi, bukannya Ibu yang selama ini bujuk Mas Candra buat nikah lagi? Bukannya Ibu yang kemarin mendatangkan perempuan lain ke rumah? Sekarang kenapa Ibu bilang kalau aku hamil anak laki-laki lain? Ibu takut punya saingan? Ibu takut nggak kebagian jatah lagi?"

Sebelum melanjutkan, Melisa melirik sekilas suaminya, juga para tetangga yang masih ada di sana. Jujur Melisa malu.
Masalah yang seharusnya tertutup rapat, justru saat ini diumbar dengan bebas. Sebentar lagi akan menjadi drama yang tidak ada habisnya.

"Maaf, ya, Bu, Kalau Ibu mau bawa pulang Mas Candra sekarang, silakan! Bawa pergi aja, kalau perlu sampai ujung dunia. Aku nggak butuh anak Ibu!"

Baru setelah itu Melisa berbalik. Saat hendak pergi, Candra menahan dengan menyentuh pergelangan tangannya. Mau tidak mau, Melisa memutar tubuhnya. Genggaman suaminya makin erat membuat Melisa enggan berontak.

"Candra, ayo, pulang!"

"Aku mohon, Bu, tolong kasih kesempatan aku buat hidup bersama Melisa. Aku udah kehilangan ayah, apa aku harus kehilangan Melisa dan anakku juga?"

Sarina makin tidak terima. Amarah terus membuncah. Lagi-lagi, Candra menyinggung ayahnya. Kenapa anak itu teringat lagi dengan mantan suaminya? Ini tidak bisa dibiarkan. Candra tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Apalagi orang itu adalah Melisa. "Oh, jadi sekarang kamu lebih pilih Melisa daripada ibu?"

"Aku nggak pilih siapa pun, Bu. Aku cuma mau hidup tenang. Aku mau membesarkan anakku. Aku mau hidup sama Melisa. Apa salah, Bu? Kenapa Ibu nggak mau turuti permintaan ini? Sesulit apa permintaan aku, Bu?"

Sarina menggeleng. "Kamu bener-bener bikin ibu kecewa! Ibu yang dulu melahirkan kamu, ibu yang dulu membesarkan kamu, ibu yang dulu mengerahkan tenaga. Sekarang kamu lupa semuanya! Kamu pilih perempuan nggak jelas ini daripada ibu!"

"Berapa kali aku harus bilang kalau aku nggak minta! Justru Ibu yang memisahkan aku dari ayah!"

"Kalau kamu lebih memilih perempuan ini, jangan pernah cari ibu lagi!"

Sarina melangkah menuju mobilnya. Wanita itu memilih pergi. Hatinya masih keras. Ia masih tidak bisa menerima anaknya memilih Melisa. Lihat saja, Candra pasti tidak akan mampu bertahan. Anak itu pasti kembali ke pelukannya.

Kepergian Sarina sedikit melegakan Melisa. Ia lantas ingin melepas genggaman tangan itu, tetapi Candra justru merengkuh tubuhnya. Sangat erat hingga Melisa dapat merasakan degup jantung yang tidak karuan.

"Aku masih butuh kamu. Aku nggak mau kehilangan kalian. Aku nggak mau ngerasain itu untuk kedua kalinya."

Melisa terenyuh. Untuk pertama kalinya, Candra menunjukkan sisi rapuhnya. Inayah pernah berkata, jangan pernah berani mengatakan sesuatu yang menyakitkan di depan orang yang punya luka masa lalu. Karena dari kata-kata saja bisa membangkitkan kenangan buruk seseorang. Melisa sadar dirinya salah. Ia terlalu terbawa suasana.

"Maaf, Mas," ucap Melisa lirih sembari mengelus punggung suaminya yang bergetar. Ia dekap erat-erat agar pria itu tenang.

Siapa yang mau terjebak dalam situasi terjepit ini? Kalau Melisa bisa meminta, ia ingin punya mertua yang baik-baik, yang mau menerima segala keputusan, yang tidak mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Namun, apa boleh buat. Melisa harus berjalan sesuai garis yang sudah ditetapkan. Betapa Allah memperlihatkan beragam watak manusia. Begitu seimbang dunia ini.

Setidaknya Melisa bisa memetik pelajaran dari perjalanan hidupnya tiga tahun ini. Melisa akan belajar dari kesalahannya dan sikap ibu mertua.


28 November 2022
•••

Tadinya, aku mau bikin pertemuan mereka tuh kayak ala-ala perdamaian gitu. Tapi, semakin ke sini, aku ngerasa kayaknya nggak bisa. Sarina nggak mungkin semudah itu takluk. Dia masih denial.

Sarina udah dari awal begini, nggak mungkin berbalik arah dalam waktu seminggu. Orang-orang kayak Sarina ini butuh proses, ya nggak sih?

Nggak kerasa tinggal 2 hari lagi 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro