87 - Permintaan Istri
Melisa makin kesal, padahal kue pukisnya sudah dibayar. Bagaimana tidak, Candra datang lagi, tapi bawa mobil. Alasannya karena tidak mau Melisa jalan jauh lagi. Memalukan. Melisa tidak akan melupakan wajah para pembeli yang menatapnya heran.
"Aku nggak sakit, Mas. Tapi, lagi hamil!"
"Iya aku tahu, tapi kamu nggak boleh banyak gerak. Mau sakit lagi?"
Melisa mendengkus. Wajahnya ditekuk. Ya, benar perhatian, tapi tidak berlebihan juga. Astaga, tinggal jalan sebentar, lho. Kalau pakai mobil, kan, boros bensin. Selain boros, Melisa juga masih tidak kuat dengan pengharum mobil. Baru masuk saja perutnya sudah menari disko lagi.
Begitu mobil berhenti, Melisa keluar dan berjalan cepat menuju kamar mandi tamu yang paling terdekat. Di sana Melisa mengeluarkan kue pukis yang baru saja ditelan. Setelah keluar semua, mulutnya dibersihkan.
Dengan kepala dan perut yang sakit, Melisa berusaha bergerak. Namun, ia merasakan basah dan lengket di bagian bawah. Melisa berinisiatif membuka celana dan betapa terkejutnya melihat bercak merah kecokelatan di celana dalam.
"MAMA, AKU BERDARAH LAGI!"
Pada saat bersamaan, Candra yang baru masuk dan mendengar teriakan Melisa. Ia pun menerobos pintu ruangan itu dengan raut wajah carut-marut.
"Sayang ...."
"Mas, aku keluar darah lagi. Aku takut anak kita kenapa-napa, Mas." Wajah Melisa memucat. Matanya mulai memanas. Pikirannya pun tidak karuan. Kalau keluar darah, sudah pasti janinnya kenapa-napa, kan?
Secepat kilat, Candra mengangkat tubuh Melisa dan memasukkannya ke mobil lagi.
Candra tidak akan melupakan kejadian hari ini. Namanya pengalaman pertama dan dirinya tidak merasakan secara langsung. Kata-kata dokter cukup meredakan gemuruh di dada. Tidak ada masalah dengan kandungan Melisa. Flek bisa keluar karena Melisa banyak bergerak.
Hikmahnya sekarang Candra bisa melihat pemeriksaan USG. Bisa menyaksikan bentuk calon anaknya secara langsung untuk pertama kali. Rasanya haru menyeruak. Ia takjub dengan makhluk sebesar buah kelengkeng bersemayam di dalam rahim istrinya.
"Untuk sementara ibunya jangan banyak jalan dulu, ya. Harus istirahat total di rumah. Kalau flek keluarnya sedikit, sebentar, dan warnanya bukan merah segar, Ibu dan Bapak tidak perlu khawatir, ya. Itu tidak berbahaya."
"Dok, saya nggak nginep di sini, kan?" Melisa bertanya.
"Nggak. Ibu boleh langsung pulang, tapi begitu di rumah langsung istirahat, ya. Untuk suaminya puasa dulu, ya."
Melisa tampak lega. Ya, setidaknya ia tidak mendekam di tempat membosankan seperti kamar rumah sakit. Cukup kemarin dirinya mati kutu di sini.
"Nakal, sih." Candra menyentil dahi Melisa.
Melisa mencebik. Tangannya menyentuh tempat bekas perbuatan suaminya itu. "Awas nggak aku kasih jatah."
"Siapa yang mau minta? Orang nggak boleh, wlek!"
Melihat itu, Melisa ingin sekali melempar bantal ke wajah Candra. Sayang sekali dirinya tidak boleh anarkis di sini.
Benar saja. Dokter baru mengizinkan Melisa pulang setelah dipastikan flek tidak keluar lagi. Makin lega perasaan Melisa. Sungguh habis ini dirinya tidak akan bertindak bodoh lagi, padahal dia sendiri yang bilang akan menjaga anak ini sepenuh hati kalau diberi. Ah, manusia memang mudah membuat janji lalu begitu sudah dapat diingkari sesuka hati.
Maka Melisa pasrah saja saat dibawa menggunakan kursi roda. Candra berubah menjadi sosok yang menyebalkan sekarang. Memberikan pilihan yang sulit seperti digendong atau pakai kursi roda. Walau dalam hati Melisa tetap bersyukur. Itu artinya Candra begitu perhatian terhadap anak ini.
"Kalau sampai rumah aku jalan, ya, Mas."
"Nggak. Kamu tetap pakai kursi roda."
"Tapi, kamarnya, kan, ada di lantai dua, Mas."
"Ya udah, aku gendong kalo gitu."
"Oke."
Melisa tersenyum riang. Ia akhirnya memperbaiki posisi duduknya, kemudian memejamkan mata. Lebih baik tidur sebentar selama perjalanan pulang daripada perutnya mual-mual lagi gara-gara pengharum mobil.
Entah sudah berapa lama Melisa tertidur hingga ia merasakan guncangan pada tubuhnya. Perlahan kelopak matanya terbuka dan terbelalak setelah tahu dirinya sudah diangkat oleh Candra. Melisa mengeratkan pegangan pada leher suaminya.
"Mas, kok, nggak bangunin kalo udah nyampe?"
"Kamu tidurnya pules. Aku nggak tega."
Rupanya kedua orang tua Melisa serta Fyan menunggu kedatangan Melisa dengan masih memasang raut wajah khawatir.
"Gimana keadaan Melisa? Nggak ada apa-apa, kan?" tanya Ratna.
"Nggak apa-apa, Ma. Kata dokter Melisa nggak boleh banyak gerak," jawab Candra. "Maaf, ya, saya bawa Melisa ke kamar dulu."
"Oh, iya, silakan."
Candra menaiki tangga dengan hati-hati. Setelah itu, menggerakkan kenop menggunakan ujung jari, lalu pintunya ditendang agar terbuka. Kemudian, meletakkan Melisa perlahan di tempat tidur.
"Kalau butuh apa-apa, kamu tinggal panggil aku aja. Nggak usah ke mana-mana, ya," titah Candra.
Melisa mengangguk. "Kecuali ke kamar mandi, ya, Mas. Masa harus dibantu juga. Ribet."
"Oke, tapi, nggak boleh keluar kamar dan nggak boleh naik-turun tangga. Makan juga nanti aku yang bawa ke sini."
"Mas emang mau di sini terus?"
"Kalau hari ini iya. Besok aku mulai terbang tiga hari."
"Ke mana aja, Mas?"
"Ke Bandung, Solo, Makassar, Palembang, terus terakhir Jakarta."
"Terus, kalau Mas pergi, siapa yang bawain makanan kalau aku nggak turun?"
"Ada mama papa kamu, ada Fyan juga. Nanti mereka pasti bantuin kamu. Pokoknya aku nggak mau denger kamu kenapa-napa lagi."
Melisa diam. Rasanya berat ditinggal pergi jauh dalam keadaan seperti ini. Akan tetapi, mau bagaimana lagi. Biaya hidup semakin mahal, tanggung jawab suaminya tambah satu, kalau tidak cari uang anaknya mau dikasih makan pakai apa.
"Mas, aku mau minta sesuatu boleh nggak?"
Candra mengelus kepala istrinya. "Mau minta apa?"
"Sebentar lagi ada tukang tahu bulat lewat depan rumah."
"Oh, kamu mau tahu bulat?"
"Nggak, Mas. Aku mau lihat Mas jualan tahu bulat di depan rumah. Mau, ya?"
Mata pria itu terbuka lebar. Jualan tahu bulat? Astaga. Apa semua ibu hamil sama seperti Melisa? "Kamu yakin mau itu?"
"Iya, Mas. Dia mau lihat papanya jualan," jawab Melisa seraya mengedipkan mata.
Kalau sudah begini, Candra tidak ada alasan untuk menolak. "Kira-kira datang jam berapa?"
"Biasanya siang, Mas. Paling telat jam tiga."
Baiklah, Candra merasa sanggup. Demi Melisa bisa senyum lagi, apa pun akan Candra lakukan. Bukankah dia sendiri yang bilang akan menuruti semua keinginan istrinya?
Setelah hampir tiga jam menunggu, akhirnya terdengar suara tukang tahu bulat dari speaker. Melisa kembali memohon agar diizinkan turun. Kan, dia yang mau lihat Candra jualan. Beruntung tidak ada adegan tarik urat karena Candra langsung menuruti kemauannya. Melisa benar-benar bahagia. Sebentar lagi ngidamnya terpenuhi.
Melisa makin senang setelah Candra berhasil negosiasi dengan tukang tahu bulat. Kini, perempuan itu duduk di kursi seraya memperhatikan suaminya yang sudah masuk ke mobil terbuka. Tidak hanya itu, bahkan Melisa meminta Fyan yang kebetulan libur untuk merekam kegiatan Candra.
"Ayo, Mas, semangat!"
Beruntung banyak pembeli yang berdatangan. Melisa jadi tidak perlu merasa bersalah setelah membuat tukang tahu bulat tidak bisa keliling. Lagi pula, setelah ini ia pun akan memberikan sejumlah uang. Hitung-hitung menambah rezeki orang lain.
Namun, perlahan senyum Melisa luntur ketika sebuah Mercedes Benz hitam yang sangat ia kenali berhenti di depan rumah. Salah satu penumpangnya yang tak lain seorang wanita turun dengan wajah mengeras. Suara lantangnya terdengar beberapa detik kemudian. Melisa terlambat mencegahnya.
"Candra, apa-apaan kamu!"
27 November 2022
•••
Aku kebangun jam segini karena ... kebelet pup! Daripada gabut, ya mending update wkwkwk.
Sekalian mau ngajak kalian ovt pagi-pagi buta, Mbah udah sampai tuh. Kan beneran munculnya tuh di akhir 😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro