84 - Hukuman
Makan malam dengan formasi lengkap. Kebetulan Fyan tidak ada lemburan, jadi dia bisa pulang lebih awal. Menu makan malam ini cukup beragam. Ada jagung rebus, ayam kecap, oseng kangkung, dan nugget tahu. Ratna tidak mengerjakan semuanya sendirian. Ada Hartanto yang membantu meskipun baru saja pulang bekerja. Ruang makan tampak hangat karena diisi oleh celotehan Fyan.
Persis seperti yang pernah diceritakan Melisa, Candra melihat kedua orang tua Melisa tampak antusias mendengar cerita Fyan. Tidak ada interupsi, apalagi membicarakan prestasi. Mereka terlihat seperti teman dekat. Kasih sayang di antara mereka melekat. Benar-benar tidak ada sekat.
"Gimana perjalanan kamu selama dua hari ini, Candra? Ada masalah nggak?"
Suara perempuan di hadapannya memecah lamunan Candra. Kepalanya berusaha mencerna. Ini memang bukan kali pertama. Tadi saja dia juga mendengar saat Ratna bertanya pada Fyan. Pun sejak menikah, Melisa tak pernah berhenti bertanya seperti itu ketika dirinya pulang. Namun, entah mengapa ketika Ratna yang bertanya ... hatinya membuncah. Ada sesak dan haru di dalam sana. Sarina tidak pernah begini. Setiap kali pulang, ia selalu dijejali dengan tuntutan seperti 'kenapa kamu pulang sekarang?' atau 'kenapa kamu transfer ibu cuma segini?' atau yang paling parah 'ibu mau beli ini, harganya segini. Uang ibu kurang. Kamu bayar sisanya, ya.'.
Melihat suaminya tidak merespons mamanya, Melisa yang duduk di samping lelaki itu menyenggol lengan Candra seraya berkata, "Mas!"
Candra mengerjap-erjap. Tersenyum kikuk. Bukan saatnya mengingat Sarina. Ia segera mengusir perasaan canggung itu. "Lancar, Ma. Nggak ada masalah."
Ratna tersenyum. "Oh, syukurlah. Mama itu kadang suka khawatir kalo kamu pergi. Kan, beberapa bulan yang lalu ada itu kecelakaan pesawat. Mama ngikutin beritanya terus sampai disuruh berhenti nonton TV sama Papa."
"Ya, habisnya Mama kalau lihat berita itu suka dipikirin. Mendingan liat yang bagus-bagus," balas Hartanto.
"Tapi, Mas Candra keren, lho, berani menghadapi risiko, bisa melawan rasa takut. Aku naik pesawat sekali aja udah gemeteran, badan kaku semua. Habis itu kapok sampai sekarang." Fyan ikutan bersuara.
Hartanto menanggapi ucapan Fyan. "Karena sudah biasa. Terus salah satu syarat jadi pilot nggak boleh takut ketinggian, betul nggak?"
"Iya, Pa."
Melisa jadi ingat kejadian turbulensi parah saat pergi ke Bali. "Aku pas ke Bali kemarin kena turbulensi gara-gara pilotnya sakit pas terbang. Untung ada Mas Candra yang bisa gantiin pilot itu. Terus kita mendarat darurat, apa namanya, Mas?"
"Return to base," jawab Candra.
"Kenapa harus mendarat darurat, Mas?" tanya Fyan.
"Karena pesawat yang ditumpangi itu ternyata ada gangguan pada sistem, terus dari non teknisnya, pilot mengalami sakit dan harus segera diberi tindakan. Karena jarak pesawat dengan bandara keberangkatan masih dekat, saya memutuskan untuk RTB. Itu nggak bisa dilakukan sembarangan, harus diskusi antara pilot dengan awak kabin, antara pilot dengan ATC, serta pilot dengan pihak perusahaan beserta staf darat di bandara."
Fyan manggut-manggut. "Aku kira cuma kerjaanku yang ribet."
"Semua pekerjaan pasti ribet dan mengutamakan keselamatan, Abang," sela Ratna. "Alhamdulillah, Melisa dan Candra masih diberi keselamatan di penerbangan itu."
"Iya, dong. Kalo nggak selamat aku nggak mungkin bawa oleh-oleh," seloroh Melisa seraya mengelus perutnya.
Candra tahu maksudnya dan tidak menyangka liburan ke Bali itu sengaja direncanakan Melisa untuk membuat 'oleh-oleh'. Kalau diingat lagi, Candra benar-benar tidak habis pikir dengan ide Melisa.
"Oh, ya, ibu kamu tahu kalau kamu ada di sini?"
Pertanyaan Hartanto mengingatkan Candra dengan Sarina. Sejak kepergiannya, sang ibu sama sekali tidak menghubungi, Candra pun tidak ada niat memulai lebih dulu. Seolah-olah keduanya sedang membangun benteng yang tinggi agar tidak bisa saling menggapai. Mendadak menjadi manusia asing. "Saya sudah pergi dari rumah, Pa."
Jawaban itu mengejutkan Melisa. Oh, pantas saja suaminya bisa datang ke sini, jadi ini sebabnya. Apa itu tidak akan jadi masalah? Mengingat Sarina orangnya keras, tidak mau kalah, dan bisa menghalalkan segala cara.
"Papa paham. Semoga dengan jaga jarak ini bisa membuat hati jadi lapang. Kita, kan, keluarga, nggak boleh saling musuhan. Suatu saat kita semua bisa berkumpul. Doakan terus ibumu, ya."
Candra tertegun. Hatinya kembali riuh. Keluarga yang luar biasa. Betapa mereka masih bisa menerima setelah mendapati kenyataan pahit. "Iya, Pa."
"Aku pikir cuma Mbak Mutia yang ngeselin, ternyata ada lagi," celetuk Fyan seraya mengunyah nugget. "Kenapa perempuan selalu menyebalkan?"
Melisa melotot. "Oh, jadi Mel juga termasuk perempuan menyebalkan?"
"Iya kadang-kadang."
"Ish!" Melisa mencebik.
"Nggak boleh gitu, Abang." Ratna melerai kedua anaknya.
"Nah, cuma Mama yang nggak nyebelin."
Melisa makin cemberut.
Makan pun dilanjutkan. Begitu sudah habis semua, Fyan yang kebagian tugas mengangkat piring-piring kotor menuju tempat cuci piring, kemudian membersihkan meja makan. Ratna yang mencuci piring, dibantu oleh suaminya. Meski sudah usia senja, mereka tampak mesra. Sungguh Candra kian kagum.
Melisa yang tidak boleh melakukan kegiatan apa pun itu merengut. Apalagi, ditinggal berdua dengan suaminya. Ia lantas memutuskan pergi ke kamar, mengerjakan editan yang tertunda. Namun, tiba di depan pintu, Melisa berhenti karena Candra mengikutinya.
"Mas ngapain ikutin aku?"
"Aku mau---"
"Ikut masuk ke sini?" potong Melisa. "Jangan harap. Aku masih nggak mau deket-deket sama Mas."
"Sayang ...."
"Tunggu di sini!"
Melisa membuka pintu, masuk, lalu keluar lagi dengan membawa satu bantal. Ia lempar bantal itu ke dada Candra. "Malam ini Mas tidur di luar. Nggak boleh numpang tidur di kamar Abang sama nggak boleh tidur di kamar tamu. Mas bener-bener tidur di luar, di kursi ruang tamu."
"Mel, tapi---"
"Apa? Mas nggak mau? Aku juga nggak mau tidur bareng Mas. Lagian, kita udah beberapa hari ini nggak tidur bareng. Ini hukuman buat Mas. Kalau Mas nggak mau, gampang, kok. Aku bisa pergi dari sini."
"Jangan---"
"Nah, berarti Mas setuju tidur di luar. Selamat malam!"
Melisa menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Sebenarnya ia tidak tega melakukan itu, apalagi kursi panjang ruang tamu tidak akan cukup menampung tubuh Candra, tapi Melisa sudah berniat memberi pelajaran, harus konsisten. Kalau ia melakukan ini di rumah Sarina, pasti tidak akan manjur. Yang ada Melisa dimarahi habis-habisan oleh ibu mertuanya.
Ingat Sarina, Melisa jadi ingat percakapan di ruang makan tadi. Bagaimana kondisi wanita itu setelah ditinggal pergi anaknya? Apa akan memberikan efek jera? Melisa jadi bimbang apakah dirinya harus senang atau sedih mendengar kabar itu. Ia senang Candra masih mau bersamanya, tapi juga sedih karena Candra memilih keluar dari rumah. Kalau Sarina tiba-tiba datang ke sini, apa yang akan terjadi?
Semoga tidak ada sesuatu yang buruk. Melisa ingin hidup damai bersama anaknya.
24 November 2022
•••
Tinggal 6 hari lagi 🙈
Masih ada yang nunggu S2? Udah follow aku belum?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro