83 - Kentang Spiral
Biasanya setiap kali Candra pulang terbang, Melisa akan menyambutnya dengan wajah riang. Jika pulangnya pagi, Melisa akan siapkan air untuk mandi. Jika pulangnya sore, Melisa akan masak untuk makan malam. Jika pulangnya malam, maka Mel akan bangun dan memberinya kecupan sebagai pengantar tidur. Semuanya dalam keadaan bersih, wangi, dan rapi. Berbeda dengan sekarang. Jangankan mau menyiapkan air, dirinya saja belum sempat mandi. Yang parah, ia malah menghadiahi Candra dengan muntahan.
"Jangan deket-deket!"
Entah sudah berapa kali Melisa berkata seperti itu setiap Candra ingin mendekat. Padahal, pakaian suaminya sudah ganti, bahkan sudah mandi juga. Namun, asli, Melisa benar-benar tidak tahan dengan parfum suaminya. Apalagi melihat wajahnya. Jangan bilang nanti kalau bayi ini lahir mukanya persis Candra. Kalau mirip pun Melisa tidak masalah. Toh, rupa suaminya tidak buruk, punya hidung mancung, mata kecil, dan kulitnya putih.
Di satu sisi, Candra tidak kuat menahan rindu. Ia masih saja memberanikan diri melangkah. "Mel ...."
"Udah dibilangin jangan deket-deket!" Melisa mengacungkan garpu ke depan. Seakan-akan ingin mencolok mata suaminya. Ketika Candra berhenti, ia kembali menyantap bakso dari laki-laki itu. Karena masih hangat, Melisa makan. Sayang juga kalau dibuang ke perut orang lain.
"Kenapa kamu nggak mau deket-deket?"
"Parfum Mas bikin aku mual. Lagian, di rumah juga, kenapa pakai parfum? Mas jijik tadi aku muntahin?"
"Nggak gitu, Sayang. Aku, kan, udah biasa—"
"Ya, tapi parfumnya Mas nggak enak! Bikin perutku mual!"
"Berarti kalau aku mandi lagi terus ganti baju, kamu mau peluk aku?"
"Jangan mimpi!"
Kini, Melisa dan Candra dibatasi oleh meja. Jaraknya cukup jauh. Melisa tega membiarkan suaminya hanya memandang tanpa menyentuh. Membiarkan Candra tersiksa. Para anggota keluarga sudah pergi ke rutinitas masing-masing. Tersisa mereka berdua di rumah. Melisa bisa sesuka hati menyiksa Candra.
"Baksonya enak. Sayang banget Mas belinya sedikit," kata Melisa setelah mangkuknya kosong. Isinya sudah pindah ke perut, tapi masih merasa lapar. Mungkin karena makanan sebelumnya sudah dimuntahkan.
"Kamu mau lagi?"
"Aku mau kentang spiral."
"Ya udah, aku beliin."
"Siapa yang nyuruh Mas beli?"
Candra berkedip. "Ya, terus, apa? Kan, nggak ada di sini."
"Ya, bikin, dong, biar ada!"
Mulut pria itu terbuka. Mengerjap berkali-kali. "Maksud kamu, aku yang bikin, gitu?"
"Iya, masa aku. Kenapa? Mas nggak mau? Oh, Mas nggak pengen bikin anaknya seneng? Ya udah, aku bisa minta tolong laki-laki—"
"Udah, kamu jangan marah-marah dulu. Aku—"
"Siapa yang marah-marah? Mas ngiranya aku marah-marah gitu?"
Melisa siap meledak lagi. Candra kebingungan. Ingin mendekat, tapi istrinya tidak mau. Berdiam di sini pun bukan solusi yang bagus. Jadi dirinya harus bagaimana?
Melihat Candra diam saja, justru Melisa makin memanas. "Sekarang Mas nggak mau peluk aku lagi. Aku pasti udah nggak menarik lagi, kan? Aku gendut, bau, berantakan, nggak dandan."
Kan, benar. Serba salah. Bukannya tadi Melisa yang bilang jangan dekat-dekat? Candra berusaha sabar, menghadapi Melisa yang mood-nya naik-turun jauh lebih sulit ketimbang mengatasi turbulensi pesawat.
Satu-satunya obat ampuh adalah langsung memeluk. Candra sudah tidak peduli lagi mau Melisa marah-marah karena berani mendekat. "Udah, jangan nangis, ya. Aku minta maaf. Kamu masih cantik, kok. Jadi nggak kentang spiralnya?"
Melisa menyedot ingusnya. Mengurai pelukan itu karena tak mau mengotori baju suaminya untuk kedua kali. "Jadi."
"Ya udah, kamu tunggu sini. Aku buatin sekarang."
"Emang bisa?"
"Bisa. Tunggu, ya."
Alih-alih menunggu, Melisa justru mengekor di belakang. Ingin tahu apakah Candra benar-benar bisa membuat kentang spiral. Seorang pilot yang tidak pernah ke dapur dengan percaya diri mengatakan bisa masak. Palingan juga nanti laki-laki itu membutuhkan bantuannya.
Sembari melihat tutorial di YouTube, Candra mulai membuat makanan permintaan istrinya. Melisa terus memperhatikan suaminya yang mulai mengupas kentang, menusuknya dengan tusukan sate, lalu dipotong sambil diputar agar membentuk spiral.
"Kok, cuma satu, Mas?" tanya Melisa.
Candra menoleh sebentar. "Lho, kamu mau berapa?"
"Yang banyak, dong, Mas. Nggak kenyang kalo makan satu aja. Sekarang yang makan bukan aku aja."
"Ya udah, aku bikinin lima, gimana?"
Melisa setuju.
Candra mengambil kentang lagi. Ia sama sekali tidak meminta bantuan Melisa, bahkan saat memulai memotong dan menggoreng kentang itu. Baiklah. Melisa memang salah kalau meremehkan orang pintar.
"Kayak gini udah mateng belum?"
Wajah Melisa langsung semringah saat Candra akhirnya meminta pendapatnya. Ia lantas mendekati wajan yang minyaknya berbuih, kemudian menyuruh Candra mengangkat kentang itu menggunakan sudip. "Belum, Mas. Masih putih itu kentangnya. Mas ketebelan, ya, yang motong?"
"Nggak tau. Kayaknya iya."
"Yaaah, bakal lama matengnya. Nanti kalau udah berubah warna cokelat kekuningan baru diangkat. Harus garing, lho, Mas. Aku nggak suka yang lembek."
"Iya," jawab Candra singkat karena tangannya masih fokus membalikkan gorengan.
"Kok, iya aja? Mas nggak ikhlas bikin ini buat aku?"
Candra gelagapan. Astaga, salah lagi. "Nggak gitu, Mel. Aku, kan, bener bilang iya."
"Tapi, nadanya itu, lho, kayak Mas nggak ikhlas."
Candra buru-buru meletakkan sudip sebelum memutar tubuhnya menghadap Melisa. Daripada istrinya menangis lagi, ia harus mencegah itu sebelum terjadi. "Iya, oke, Sayang. Aku ikhlas bikin kentang spiral buat kamu."
"Nah, gitu, dong."
Melisa tersenyum puas. Benar-benar bahagia karena berhasil mengerjai suaminya. Ia ingin tahu sejauh mana Candra memperjuangkan dirinya. Ya, tidak ada salahnya sekarang menguji kesabaran laki-laki itu.
Rupanya tantangan memasak terlalu mudah bagi Candra. Dia berhasil menyelesaikan gorengannya dalam waktu singkat tanpa ada drama minyak meletup-letup seperti Melisa. Hasilnya pun cukup menarik, seperti kentang spiral yang dijual.
"Nggak usah pakai apa-apa, ya. Ini udah asin, kok. Tadi aku kasih garam."
Melisa menurut saja. Toh, dia memang tidak berniat pakai saus atau bumbu penyedap. Semenjak hamil, Melisa sangat menjaga makanan. Tidak mau membahayakan janinnya.
Mereka berdua kembali duduk di tempat semula, bedanya sekarang Melisa membopong wadah berisi lima tusuk kentang spiral buatan Candra. Sementara itu, Candra benar-benar tidak boleh duduk di dekat Melisa.
Melisa mulai menggigit tusukan pertama. "Masih lembek, Mas!"
"Masa? Padahal udah lama gorengnya. Coba aku—" Candra hendak mengambil satu tusuk, Melisa buru-buru menepis tangan suaminya.
"Mas nggak boleh minta. Ini buat aku semua."
"Terus gimana biar aku tahu itu masih lembek apa nggak?"
"Mas nggak percaya sama aku?"
Rasanya Candra ingin mengacak rambut ikal itu. Namun, sayangnya Melisa masih sulit dijangkau. "Ya udah, lanjutin makannya."
"Oh, sama satu lagi, aku minta ini bukan berarti aku mau maafin Mas, lho. Aku masih marah."
"Iya, Mel."
Melisa mengunyah kentang tusukan kedua. "Jangan lupa nanti dapurnya diberesin sebelum mama pulang dari pasar. Pokoknya harus bersih. Habis itu Mas setrika sendiri bajunya. Aku lagi males."
"Terus kapan kamu mau maafin aku? Kamu nggak kangen sama aku?"
Ah, sial! Melisa mana kuat kalau ditanya begitu. Namun, ia harus meneguhkan hati. Tidak boleh langsung jatuh ke pelukan laki-laki itu. "Suka-suka aku. Siapa suruh marahin aku kemarin!"
23 November 2022
•••
Jangan tanya Mbah dulu, ya. Dia lagi pasang sanggul buat kemunculan di ending biar meleduk kayak kompor 🤣 katanya orang penting itu munculnya di akhir, Ges.
Buat yang mau S2, tolong dong share cerita ini ke mama, bapak, nenek, kakek, adik, kakak, keponakan, sepupu, pacar, bestie, crush kalian, ya. Aku punya cita-cita cerita ini tamat di angka 100k views.
Jangan lupa tinggalin jejak komennya biar Mbah cepet muncul 🙈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro