76 - Usaha sang Kapten
Sudah satu malam Candra menginap di hotel dekat bandara Semarang. Bukan karena tugasnya sebagai pilot, melainkan menjalankan misi bertemu dengan istrinya sekaligus meminta maaf kepada orang tua Melisa. Kenapa memilih menginap di hotel? Karena ia tiba pada tengah malam gara-gara pesawatnya delay dua jam. Tidak mungkin jika langsung ke rumah orang tua Melisa. Pun di hotel, ia bisa menitipkan navbag-nya selama di luar. Jika sewaktu-waktu harus terbang, Candra tidak perlu kerepotan dengan barang-barangnya.
Memang nantinya akan merepotkan sekaligus menguras tenaga. Namun, tidak masalah. Yang penting Candra harus bertemu Melisa.
Sekitar pukul sepuluh pagi, Candra sudah berdiri di depan rumah orang tua Melisa. Membawa boneka panda besar yang ia beli saat terbang ke Jakarta. Ia berkali-kali membuang napas. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Sampai kemudian, ia memberanikan diri mengetuk pintu berwarna cokelat itu.
Kenop bergerak, pintu didorong dari dalam, lalu tampak seorang laki-laki yang tingginya hampir sama dengan Candra. Sayangnya, Candra tidak disambut dengan ekspresi hangat. Justru terlihat jelas kemarahan dari mata pria itu.
"Ngapain Mas ke sini?" Pria itu berdiri menghalangi pintu. Seakan-akan memberitahu jika Candra tidak diizinkan masuk.
"Melisa—"
"Melisa nggak ada di sini. Kalaupun di sini, aku nggak akan izinkan Mas ketemu dia."
"Fyan, saya perlu bicara dengan Melisa."
"Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semuanya udah jelas. Aku salah udah percaya sama Mas. Ternyata Mas tega ngebiarin Melisa diinjak-injak."
"Saya minta maaf untuk itu, tapi biarkan saya ketemu Melisa."
"Udah dibilangin nggak—"
"Abang, ngapain kamu berdiri di depan pintu? Ada siapa?"
Suara Hartanto di belakang menghentikan aksi Fyan. Laki-laki itu lantas membalikkan badan sebelum sang papa bergerak maju. Pada saat itulah, Hartanto melihat wajah Candra.
"Lho, ada kakak kamu kenapa nggak disuruh masuk, Bang?"
"Buat apa, Pa? Dia udah nyakitin Melisa. Mendingan nggak usah ketemu sekalian."
"Nggak boleh gitu. Menghakimi tidak akan menyelesaikan masalah. Ayo, suruh masuk!"
Dengan berat hati Fyan membuka pintu lebar-lebar agar Candra bisa masuk. Hartanto bahkan tidak ragu merangkul menantunya. Menyuruhnya duduk di sofa.
"Papa baru aja bikin kopi hitam. Papa buatin untuk kamu juga, ya."
"Nggak usah, Pa. Saya—"
"Kamu, kan, habis perjalanan jauh, masa nggak butuh minum. Sudah, kamu duduk di sini dulu. Nggak lama, kok."
Candra tak mampu mencegah. Apa yang dilakukan Hartanto sekarang mengingatkannya pada percakapan Melisa di tempat nasi liwet. Rupanya itu benar-benar nyata.
Dua cangkir putih berisi kopi kini berada di meja bundar. Hartanto duduk di hadapan Candra. Fyan kembali masuk ke kamar. Situasi jadi canggung sebab Candra hanya berdua dengan Hartanto.
"Kamu ke sini mau ketemu Melisa?" Hartanto membuka pembicaraan.
"I-iya, Pa. Saya juga mau ketemu Papa," jawab Candra dengan perasaan gugup.
"Untuk apa?"
"Untuk minta maaf atas kegaduhan yang saya buat."
Hartanto meraih cangkir kopinya. Menyesap cairan itu hingga membasahi kerongkongan. Setelah itu, cangkir diletakkan kembali ke tempat semula. "Kamu mau dengerin cerita papa?"
Candra mengangguk pelan.
"Melisa itu penyempurna di keluarga ini walau awalnya kami tidak ingin memilikinya. Setelah mamanya melahirkan Melisa, rahimnya terpaksa harus diangkat karena sejak awal kehamilan ada masalah. Otomatis istri papa nggak mungkin bisa hamil lagi. Makanya papa menyematkan nama Saraswati di belakang namanya, yang artinya pembawa kesembuhan. Kami rawat dan jaga Melisa sepenuh hati, memperlakukannya sama seperti kakak-kakaknya terdahulu. Bahkan, kami biasakan para kakaknya untuk mencintai Melisa. Nggak heran kalau sampai sekarang mereka tetap akrab meskipun sudah memiliki kehidupan masing-masing."
Baru pembukaan, tetapi Candra sudah merasakan takjub dan sedih secara bersamaan. Namun, ia tetap ingin mendengar kelanjutannya. Tentu dengan perasaan campur aduk.
"Melisa tumbuh menjadi gadis yang tangguh. Dia bukannya tidak bisa menangis. Hanya saja dia mudah kembali ceria setelah dihantam badai. Papa belum pernah melihatnya sedih sampai berlarut-larut. Papa berani jamin dia tidak kekurangan kasih sayang dari papa maupun kakak-kakaknya. Makanya sejak remaja, jarang ada laki-laki yang berani mendekati Melisa kalau tidak ada yang mau kenal kakak-kakaknya. Sampai kamu datang saat usianya 22 tahun. Kamu mau berbaur dengan mereka dan berani ketemu papa. Kamu ternyata bisa mengimbangi kecerewetan Melisa, padahal usia kalian cukup jauh."
Pandangan Hartanto menerawang saat menceritakan bagian ini. Teringat tiga tahun yang lalu Melisa membuatnya terkejut karena datang bersama seorang laki-laki. Teringat tiga tahun yang lalu Melisa selalu antusias menceritakan tentang Candra padanya. Hartanto seperti melihat sinar terang di wajah anaknya. Namun, secara bersamaan, ia merasakan takut karena sebentar lagi akan kehilangan Melisa. Gadis manis penghangat keluarga itu sebentar lagi memiliki keluarga baru.
"Papa nggak mau egois. Papa berani lepaskan Melisa ke kamu. Papa biarkan Melisa menjadi kebahagiaan di keluarga lain. Papa biarkan kamu mengambilnya dari tangan kami. Papa percaya, Melisa tetap bisa menjadi penerang, Melisa tetap jadi pembawa kesembuhan. Papa nggak pernah mengusik kalian meski sebenarnya ingin. Papa selalu ingin tahu bagaimana kabar anak perempuannya. Tapi, papa selalu bilang ke diri papa untuk percaya sama kamu."
Ketika Melisa siuman, saat itulah tabir terbuka secara sempurna. Putri satu-satunya tengah menghadapi masalah besar hingga salah satu sayapnya patah. Sebagai seorang ayah, Hartanto merasa bersalah. Harusnya ia menyadari perubahan anaknya sejak lama. Harusnya ia menyadari sikap besannya sejak awal. Masih terekam jelas Melisa menangis dipelukannya sembari mengatakan 'Mel capek, Pa'. Hati ayah mana yang tidak hancur mendengar pilu keluar dari bibir anaknya?
"Papa paham keresahan kamu. Rumit memang kalau masih terbayang masa lalu. Papa kecewa kamu nggak bisa mengendalikan itu, Papa juga kecewa Melisa memilih berbohong demi mendapatkan apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tidak sayang lagi padanya, tolong kembalikan ke papa. Biarkan papa saja yang merawatnya. Biar papa yang pastikan Melisa selalu aman."
Di sisi lain, Candra tertohok. Di saat Hartanto memercayakannya, justru dirinya sendiri yang mematahkan kepercayaan itu. "Maafkan saya, Pa. Ini semua salah saya. Saya ingin memperbaiki semuanya. Saya masih mau menjaga Melisa."
Hartanto menatap wajah sang menantu. "Kamu yakin? Bagaimana dengan anak kalian?"
"Saya akan merawatnya bersama Melisa, Pa."
Hening setelah itu. Hartanto mulai sibuk dengan pikirannya. Mencoba mencerna semuanya. "Jika dalam penerbangan kamu menghadapi suatu masalah di pesawat, apa yang akan kamu lakukan?" tanya pria itu setelah beberapa saat bungkam.
"Mencari solusi di buku panduan dan mencoba memperbaikinya bersama kopilot," jawab Candra lugas.
"Lantas, apa kamu akan melakukan hal yang sama bersama Melisa?"
Candra mengangguk mantap. "Iya, Pa. Saya akan berusaha. Itu kalau Papa memberi kesempatan."
Mendengar itu, juga melihat kesungguhan sang menantu, Hartanto merasa tidak perlu terlalu lama menyembunyikan lokasi anaknya. Ini saat yang tepat. "Melisa saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Dia pingsan setelah tiba di sini. Kata dokter, Melisa harus bedrest untuk sementara waktu. Temui dia. Selesaikan masalah ini dengan kepala dingin."
Menemukan setitik cahaya, Candra bangkit, berjalan mendekati Hartanto, kemudian bersimpuh di depan mertuanya itu, mengucapkan terima kasih berkali-kali. Hartanto sempat terkejut, tetapi ia segera melunak. Tangannya mengusap punggung sang menantu, menyalurkan kekuatan.
"Berusahalah dan buktikan kamu mampu jadi suami dan ayah yang baik. Papa iringi langkahmu dengan doa."
16 November 2022
•••
Dahlah, aku nggak bisa ngomong. Pas nulis ini aja berkali-kali berhenti 🙈
33-25= 8 tahun. Itungannya Melisa ini nikah muda wkwkwk. Tapi keren ya, Melisa udah berhasil bikin mertuanya nyanyi mulu. Jiwa mudanya masih menggelora 🤣
Mau aku update cepet? Komen yang banyak, dong.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro