75 - Mengeja Rasa
"Cabe, cepet sembuh. Kamu nggak usah khawatir, nanti Abang bajak pesawat yang diterbangin Mas Candra. Biar tahu rasa udah bikin adek yang cantik ini nangis!"
"Mas juga bakal suntik mati biar kapok."
Melisa mendelik di depan layar. Menatap tajam ke wajah Ahsan dan Ryan. "Abang sama Mas tega banget bikin keponakannya jadi anak yatim."
"Biarin. Salah sendiri kenapa dia jadi bapak jahat banget," sahut Ryan. Kepalanya bersandar pada bantal. Andai sekarang dekat, sudah dari kemarin dia mengejar Candra. Menghajarnya sampai puas.
"Mas kali ini setuju sama kamu, Yan," timpal Ahsan. "Kalau ketemu di Jakarta bakal aku bius dia."
Ada rasa bahagia kala merasakan keluarganya begitu mendukung. Mau menjadi tempat berbagi keluh kesah. Namun, di saat bersamaan, Melisa juga memikirkan suaminya. Bohong jika perasaan itu hilang. Tidak sama sekali. Melisa masih berharap Candra mau memperjuangkannya. Melisa masih berharap dirinya merawat anak ini bersama laki-laki itu.
Akan tetapi, Candra sudah mencoreng kepercayaan keluarganya. Melisa paham pasti sulit bagi mereka untuk mengembalikan hatinya ke bentuk semula. Memang tidak ada gurat kemarahan di wajah Ratna dan Hartanto setelah mendengar cerita yang sebenarnya, tapi Melisa yakin kedua orang tuanya memendam kecewa.
Sudah dua hari Melisa dirawat, dengan infus menancap di pergelangan tangan. Fisiknya sudah lebih baik dari sebelumnya. Sudah bisa makan walau sedikit. Kabar baiknya, janin di dalam perutnya tetap baik-baik saja meski ibunya nekat naik kereta. Beda dengan hatinya. Di dalam sana masih terluka parah. Kilatan kelakuan Sarina terus memberontak pikirannya.
Layar ponsel menampilkan fotonya bersama Candra di Paluang Cliff. Semakin digeser, momen-momen saat di Bali itu makin tampak jelas. Melisa tersenyum getir. Jantungnya kembali dicengkeram. Sedang apa suaminya sekarang? Apa sudah ada jadwal terbang lagi atau masih terkurung di rumah? Ah, padahal Melisa masih punya nomor laki-laki itu, tapi gengsi mengalahkan rindunya. Bukannya kemarin dia sendiri yang minta cerai? Apa mungkin sekarang Candra sedang mengurusnya?
Entah bagaimana jadinya nanti, Melisa tidak mau membayangkan. Mungkin Candra sama halnya seperti dirinya, tidak berani menampakkan diri di hadapan orang tua. Jujur jika diberi kesempatan bertemu Sarina lagi, Melisa tidak akan mengambilnya untuk sementara waktu. Rambutnya bisa botak jika berlama-lama dengan wanita itu.
Katanya pernikahan itu tidak hanya menyatukan dua kepala, tetapi mempersatukan dua keluarga besar. Namun, selama ini, Melisa belum pernah menemukan itu. Pernikahan Ahsan dengan Mutia berjalan dengan baik, bahkan sudah memiliki satu anak. Akan tetapi, Mutia jarang mau kalau diajak ke sini. Ratna dan Hartanto pun belum diberi kesempatan bertandang ke Jakarta.
Kemudian, keluarganya dengan Sarina jarang bersua. Ibu mertuanya selalu absen kalau diundang acara keluarga. Kalau Ratna dan Hartanto yang datang, Sarina selalu tidak ada di rumah. Lantas, sekarang ada masalah ini, mana mungkin mereka akan menyatu? Apakah terlalu berlebihan kalau Melisa berharap ada kedamaian di saat dua kubu saling canggung?
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Melisa nyaris berteriak memanggil nama suaminya, tapi lidahnya tertahan setelah melihat perempuan berkerudung yang masuk ke ruangannya.
"Nay!"
Perempuan itu melangkah lebar mendekati ranjang Melisa. Wajahnya tampak lega melihat keadaan temannya sekarang. "Syukurlah kamu nggak apa-apa. Kemarin aku ke rumah mertua kamu, tapi kata asistennya kamu udah nggak ada di sana. Terus, kebetulan aku ada acara di Semarang dua hari, akhirnya inisiatif ke rumah kamu, tapi tetangga depan rumah bilang kamu lagi dirawat di rumah sakit. Untung setelah itu aku ketemu mama kamu yang lagi pulang."
Melisa tersenyum kikuk. Terharu mendengar perjuangan Inayah. "Makasih, Nay. Aku seneng banget kamu datang. Bosen, nih, di dalam terus."
"Ya, gimana, dong. Kamu nggak boleh banyak gerak."
"Aku mau ngerjain editan naskah pasti nggak bakal dibolehin sama kamu."
"Ya, jelas, dong. Aku nggak mau kamu kenapa-napa, Mel. Udah kamu tinggal diem aja."
Tidak semudah itu, Sayang. Melisa yang dari dulu senang bergerak sekarang mendadak harus duduk diam di kasur, kan, badannya jadi kaget. Semoga saja yang seperti ini hanya terjadi di kehamilan pertama, di kehamilan selanjutnya Melisa bisa bergerak bebas.
Melisa geleng-geleng. Yang ini belum beres malah sudah mikir hamil lagi.
"Kenapa?" Inayah menyadari tingkah aneh Melisa. "Gimana keadaan kamu sekarang?"
"Ya begini, tanganku masih diinfus. Kata dokter, aku belum boleh pulang."
"Kalau hati kamu?"
Melisa tertegun. "Ya ... gini-gini aja, Nay."
"Gini-gini itu yang jelas. Candra tahu kamu di sini?"
Melisa meletakkan ponsel di bawah bantal, kemudian menggeleng. Lagi pula, tanpa diberi tahu Candra sudah bisa menebak ke mana istrinya pergi. Ah, lagi-lagi Melisa berharap Candra datang menyusulnya. "Aku kemarin minta pisah."
Mendengar itu, Inayah terbelalak. "Terus?"
"Mas Candra nggak mau, Nay."
"Lha, kamu sendiri udah yakin belum?"
Sunyi. Melisa bimbang. Bukan karena ada janin ini. Tidak. Melisa tidak akan menggunakan alasan ada anak dalam hal apa pun, termasuk bertahan dengan Candra. Lagi pula, Melisa tidak sendirian. Ada keluarga dan Inayah yang akan mendukungnya. Soal biaya hidup pun tidak perlu risau. Melisa masih bisa bekerja. Pun Melisa tidak takut dengan status janda satu anak. Toh, tidak buruk.
"Kalau kamu yakin dan cuma itu jalan satu-satunya, lakukan aja, Mel. Kamu, kan, bisa ambil gugatan."
"Aku masih berharap, Nay. Salah nggak?"
"Nggak salah, tapi kamu harus pastikan Candra mau apa nggak. Pernikahan itu harus dua orang yang menjalani, Mel. Kalau kamu aja, ya, nggak bisa." Inayah mengembuskan napas. "Udah, sekarang kamu mending tenangin diri dulu biar bisa mikir. Aku nggak mau kamu ambil keputusan di saat emosi terus akhirnya kamu nyesel. Perhatiin juga dedek di dalam perut."
Benar. Prioritas utama saat ini adalah makhluk kecil di dalam perut Melisa. Dia harus tumbuh sehat setelah mengalami gempuran.
Pintu terbuka lagi hingga tampak sosok laki-laki berkacamata yang tangannya menenteng kantung kresek. Otomatis Melisa dan Inayah mengalihkan pandangan.
"Oh, ada tamu ternyata," ucap laki-laki itu. Siapa lagi kalau bukan Fyan.
"Abang nggak kerja?" tanya Melisa.
"Kerja. Ini baru aja pulang soalnya udah selesai. Abang bawain apel, nih. Kamu mau makan nggak?"
"Masih kenyang."
"Kenyang makan apa kamu?"
"Makan ati."
Fyan memutar bola matanya. "Jangan bercanda, Nok."
"Siapa yang bercanda, Abang? Aku beneran habis makan ati ayam. Tadi aku pengen makan itu. Untung sama dokter boleh, jadi dibeliin, deh, sama mama."
Gemas, Fyan mengacak rambut sang adik. "Dasar. Udah mau jadi orangtua tetep aja bikin khawatir orang tua."
"Oh, sekarang Abang udah ngerasa tua?"
"Udah, dong. Kan, sebentar lagi mau punya dua keponakan."
"Ya udah, sekarang Abang keluar dulu, deh. Aku masih mau ngobrol sama Inayah."
Fyan lantas mengalihkan pandangannya ke gadis berkerudung hitam yang berdiri tidak jauh darinya. Sejenak, ia terpaku. Ada sesuatu yang terasa di dalam sana, apalagi ketika manik mata milik perempuan itu beradu. Beruntungnya, Inayah segera memutus kontak mata itu di saat Fyan belum sadar.
"Abang, jangan ngeliatin Inayah kayak gitu!"
Suara Melisa menyadarkan Fyan. Pria itu segera mengalihkan wajahnya ke arah pintu.
"Abang nggak boleh naksir sama Inayah. Dia udah punya pacar. Jangan genit!"
"Heh, fitnah!" sela Inayah.
"Ih, Nay. Bang Fyan masih suka ngupil sembarangan. Aku nggak mau kamu jadi korban selanjutnya."
"Mel, astaga itu nggak bener!" Kali ini Fyan membela diri.
"Makanya Abang keluar sekarang. Nanti jadi zina hati kalau di sini terus."
Fyan geleng-geleng walau dalam hati membenarkan ucapan adiknya. "Iya, iya."
15 November 2022
•••
Ternyata besok ges part yang bikin ulalala lilili.
Apa mereka akan damai, atau justru ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro