73 - Lepas Landas
"Kamu bilang apa barusan, Melisa?"
Melisa menurunkan tangan, membiarkan Sarina melihat wajahnya yang basah. Sorot mata perempuan itu tajam. Kilatan kekecewaan membungkus dan mendominasi. Aliran di sudutnya tidak berhenti meski ada yang menginterupsi.
Tidak ada bedanya dengan Sarina. Mata wanita itu menuntut jawaban. Kakinya tidak berhenti melangkah hingga mendekat. Satu per satu wajah dua insan di hadapannya ia amati. Dadanya bergemuruh hebat. Siap memuntahkan lava.
"Sekali lagi ibu mau dengar, Melisa. Yang kamu bilang barusan itu benar?"
Melisa membuang napas. Denyut di kepala mulai terasa. Spontan tangannya menyentuh perut. Berharap makhluk baru di dalam sana mau berjuang bersamanya. "Kenapa Ibu tanya aku? Ibu bisa tanya langsung ke anak Ibu."
"Kamu tinggal jawab, apa susahnya?"
"Telinga Ibu masih jelas buat mendengar, kan? Perlu aku perjelas lagi?"
"Mel, kamu—"
"Diam!" Melisa memotong ucapan suaminya, menatap tajam sebentar, lalu kembali menatap Sarina. "Ibu harus tahu, anak Ibu yang selama ini nyuruh aku pasang KB biar nggak bisa hamil. Dia yang nggak mau punya anak."
Sarina menggeleng. Matanya terbuka lebar. Deru napasnya cepat. "Kamu bohong! Candra nggak mungkin seperti itu!" teriaknya.
"Melisa nggak bohong, Bu. Aku memang yang menyuruhnya pakai alat kontrasepsi biar nggak bisa hamil," ujar Candra memperjelas semuanya. Kini, ia tidak peduli bagaimana perasaan ibunya setelah mendengar pengakuan itu.
"Candra! Apa-apaan kamu? Ibu nggak pernah mengajarimu jadi pembohong!"
"Ini. Sikap Ibu yang bikin aku takut. Aku nggak mau anak aku ngerasain hal yang sama. Makanya aku nggak mau punya anak."
Badai makin kencang. Sarina mengepal tangannya kuat-kuat. Bibirnya bergetar. Guncangan hebat itu kian terasa. "Kamu berubah sejak ada perempuan ini! Kamu berani melawan ibu gara-gara perempuan ini!"
"Aku nggak berubah, Bu. Aku masih Candra yang sama. Bahkan, jauh sebelum ketemu Melisa, aku sudah memikirkan ini. Aku nggak bisa menghentikan ketakutan ini. Aku nggak bisa membuang kenangan buruk yang Ibu ciptakan. Dari kecil Ibu selalu bilang aku nggak akan berguna tanpa Ibu. Dari kecil aku harus nurut apa kata Ibu. Apa Ibu pernah tanya bagaimana perasaanku sejak kecil sampai sekarang? Nggak pernah. Selama ini Ibu menjadikanku alat untuk memuaskan semua keinginan Ibu."
"Ibu ngelakuin semua ini demi kebaikan kamu, Candra!"
"Kebaikan yang mana, Bu? Aku merasa nggak baik-baik aja dengan apa yang Ibu lakukan."
Tiga manusia itu bergelut dengan perasaan masing-masing. Mulut Melisa terkunci rapat ketika Candra mengalihkan suasana. Sementara itu, Sarina makin tidak terima. Di hadapannya sekarang, Sarina sama sekali tidak mengenali anaknya. Ia merasa otak anaknya sudah dicuci oleh Melisa.
"Ibu mau tau kenapa aku diam aja selama ini? Karena aku tahu Ibu pasti akan memaksa Melisa lepas KB. Aku nggak mau Ibu juga mengendalikan Melisa, seperti yang sering Ibu lakukan ke aku. Tapi, ternyata ... aku sadar keputusan itu salah. Ibu justru makin keterlaluan sama Melisa. Menuduh Melisa wanita mandul, bahkan menyakiti hatinya dengan menghadirkan Syakira. Aku udah bilang nggak mau, tapi Ibu tetep maksa."
Riak kekecewaan rupanya begitu nyata. Candra tahu menyalahkan Sarina tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi luka yang terpendam sejak lama tak mampu menjaga lisannya. Di kepalanya sekarang hanya ada cara bagaimana Sarina harus tahu perasaan yang sebenarnya. Bertahun-tahun hidup di bawah tekanan hingga lidah tak sanggup merangkai kata.
Hati yang keras tidak semudah itu melunak. Sarina tetap menghunuskan tatapannya ke arah Melisa. "Kamu dengar sendiri, Melisa? Lihatlah bagaimana anak yang ibu didik sepenuh hati sekarang berani melawan ibunya!"
Kecewa, tangis, hingga kejujuran tidak cukup menggugah jiwa Sarina. Atas dasar itulah, Melisa berani mengangkat kakinya, melangkah menaiki tangga ke kamar. Dadanya kembang kempis tidak menghentikan niatnya. Deras hujan di pipi tidak menyurutkan sesaknya. Tangannya bergerak melepas satu per satu pakaian dari hanger, memasukkannya ke dalam koper.
"Mel, berhenti!"
Satu tangan Candra berhasil mencengkeram, mencegah Melisa mengemasi barangnya. Namun, dengan tarikan yang kuat, Melisa berhasil terlepas.
"Mel, dengerin aku dulu."
"Dengerin apa lagi? Udah jelas, kan, kamu nggak mau anak ini?"
"Maafin aku. Kamu tenang dulu. Kita bisa bicara—"
"Bicara apa? Aku, tuh, udah males dengerin kamu bicara!"
Koper berhasil tertutup rapat. Tanpa menatap suaminya, Melisa menyeret benda itu keluar dari kamar. Tentu saja Candra tidak menyerah. Ia tahan koper itu dengan tangannya.
"Sayang, hei, dengerin aku dulu. Berhenti, oke?"
Dengan sisa tenaganya, Melisa memberanikan diri menatap wajah Candra untuk terakhir kalinya. Satu kata terlintas di kepalanya. "Kita pisah."
"Nggak, Mel! Kita bisa pakai cara selain pisah."
Melisa menggeleng. "Kamu nggak mau anak ini, kan? Mudah caranya, kamu tinggal cerain aku. Aku bisa rawat anak ini sendiri tanpa bantuan kamu."
"Singkirin pikiran itu, Mel! Kita akan sama-sama terus. Kamu nggak akan sendirian rawat anak ini. Tolong, kamu jangan pergi!"
Melisa menarik kopernya lagi, tetap melanjutkan langkahnya keluar. Candra terus mengejar. Bahkan, teriakan Sarina tidak juga menghentikan kakinya.
"Sudah, kamu nggak usah kejar dia. Kalau dia mau pergi biarkan saja! Perempuan itu nggak ada syukurnya punya kamu. Sombong sekali mau rawat anak itu sendirian!"
Perih kian menganga hingga Melisa memejamkan mata. Ucapan itu membuat tekatnya semakin nyata. Perjuangannya sudah cukup. Kisahnya bersama Candra harus ditutup.
"Tuh, dengerin Ibu. Balik badan sana. Jangan kejar aku lagi. Kita pisah."
"Harus berapa kali aku bilang kita nggak akan pisah, Mel!"
Lagi, Melisa menggeleng. Sekuat tenaga ia melepas tangan Candra dari kopernya. "Minggir. Deket sama kamu bikin perutku mual!"
Sebuah taksi datang, melancarkan aksi Melisa. Candra tidak berhenti, tetapi ia tidak kuasa menahan laju kendaraan itu. Mobil tersebut berhasil membawa pergi istrinya. Menambah luka di tempat yang belum sembuh.
Perjalanan ke Semarang kali ini menyerap seluruh energi Melisa. Tubuhnya terkulai lemas sejak turun dari kereta. Terkadang pandangan buram dan kepalanya berputar. Ketika berhasil menguasai diri, ia menyeret kakinya.
"Maafin mama, ya, Nak. Kamu malah diajak jalan-jalan pakai kereta, padahal, kan, belum boleh. Janji, ya, habis ini jangan marah sama mama."
Melisa memasuki taksi, bersiap untuk melaju ke rumah. Di taksi itulah, Melisa gunakan kesempatan untuk memejamkan mata sejenak. Hanya dengan cara ini juga Melisa terhindar dari mabuk darat. Toh, ia sudah memberitahu tujuannya pada sopir.
"Mbak, Mbak. Sudah sampai."
Entah berapa lama Melisa terlelap sampai sopir harus membangunkannya. Usai terjaga dan membayar ongkos, Melisa menurunkan kakinya. Kepalanya mulai sakit lagi, perutnya serasa diaduk-aduk hingga terasa mual di tenggorokan, bahkan Melisa harus menajamkan penglihatannya dulu sebelum berjalan. Kakinya dingin, mungkin karena udara malam.
Kebetulan Ratna ada di teras, hendak mengecek jendela, kegiatan yang biasa dilakukan di malam hari. Wanita itu terkejut dengan kehadiran Melisa secara mendadak, apalagi dengan tubuh sempoyongan. Ratna lantas buru-buru menghampiri Melisa.
"Melisa, kamu ngapain ke sini lagi? Kamu kenapa bawa koper?"
Melisa berusaha menatap Ratna. Namun, pandangannya kian buram. Bahkan, wajah Ratna terlihat banyak. "Ma, aku ...."
Melisa tak dapat melanjutkan kalimatnya akibat gelap mengambil alih. Dengan sigap Ratna menangkap tubuh putrinya agar tidak jatuh ke tanah. Bibirnya meneriaki nama sang putra yang duduk di ruang tamu.
"Ada apa, Ma? Mama liat hantu?"
"Fyan! Adik kamu ...."
"Hah? Adik? Melisa?" Tanpa mematikan laptopnya, Fyan bangkit dan segera menyusul sang mama. Matanya terbelalak melihat Melisa tersungkur dijaga oleh Ratna.
"Melisa kenapa, Ma? Kok, bisa ada di sini?"
"Mama nggak tau. Sekarang kamu angkat terus kita bawa ke rumah sakit!"
Tanpa disuruh dua kali, Fyan membopong tubuh sang adik. Memasukkannya ke mobil yang kebetulan masih terparkir di luar.
13 November 2022
•••
Melisa 😭😭😭
Sebenernya masih banyak yang mau aku ceritain. Aku penasaran gimana kelak anak Melisa ini diapain sama Mbah atau perjuangan Candra jadi bapak, tapi waktunya nggak cukup. Kalo bikin season 2, ada yang mau nemenin nggak?
Yang punya Karyakarsa dan mau baca spesial chapter-nya, bisa copas link ini.
https://karyakarsa.com/pesulapcinta/hi-little-captain-special-part
https://karyakarsa.com/pesulapcinta/hi-little-captain-special-part-2
Murah kok, cuma 20 kakoin kalian bisa nikmati spesial chapter-nya ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro