Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

72 - Turbulensi

Akhirnya aku nulis judul ini. Kalian tahulah kenapa judulnya begini? 🤧

•••

Bangun tidur, Melisa merasakan lapar dan haus. Stok makanan di kamar pun habis. Ia lantas bangkit dan melangkah turun sembari memegang perutnya. Di dapur, tidak ada siapa pun. Jelas, wong sekarang sudah siang. Tidak masalah. Melisa bisa leluasa di tempat ini.

Begitu pintu kulkas terbuka, Melisa mengambil buah mangga. Entah kenapa tiba-tiba ingin makan buah itu. Setelah tahu kehamilan ini, Melisa sadar keinginannya beberapa hari yang lalu bisa disebut ngidam. Kalau tahu sejak awal, kan, Melisa bisa minta Lamborghini ke suaminya.

Teringat suaminya, Melisa tersadar bahwa hari ini laki-laki itu akan pulang. Ia sudah mengaktifkan data seluler, tetapi tidak ada satu pun pesan atau telepon dari Candra sejak semalam. Parahnya lagi suaminya tidak mengirimkan nomor penerbangan kalau misalnya pulang hari ini. Namun, Melisa mencoba berpikir positif. Bisa jadi sekarang Candra sedang kehilangan sinyal atau lupa membuka ponsel karena buru-buru.

Usai mengupas serta mengiris buah itu, Melisa melangkah keluar seraya membawa piring. Akan tetapi, keputusannya ia anggap salah sebab saat ini ada Sarina dan Mbak Lala di sana. Semoga saja tidak ada hal buruk menimpanya.

"Kalau belum kemasukan apa-apa itu, jangan makan buah. Kamu mau sakit perut?"

Tuh, kan, baru juga dibatin. Sarina memang senang sekali mengacaukan mood-nya.

"Aku maunya makan ini. Ibu mau nanti cucu Ibu ileran gara-gara keinginannya nggak dituruti?"

"Mbak Mel lagi ngidam, ya?" tanya Mbak Lala. "Mau sekalian saya buatin bumbunya?"

Melisa mengangkat tangannya. "Nggak usah, Mbak. Ini udah enak, kok."

Wajah Sarina mengeras. Namun, Melisa tidak peduli. Yang penting keinginannya terpenuhi.

"Oh, ya, Bu. Sekarang aku berhasil hamil. Sesuai kesepakatan kita, Ibu harus batalin rencana pernikahan Mas Candra sama Syakira."

Sarina menatap tajam. "Kamu gila!"

"Ibu juga gila. Ngapain nyuruh anaknya buat nikah lagi? Sekarang aku sudah hamil. Aku nggak mau tahu, Bu, pokoknya Ibu harus batalin rencana itu. Sekarang."

Sarina mendengkus.

"Ibu nggak mau? Oke. Aku akan pergi dari sini dan nanti aku nggak akan izinin kalian ketemu sama bayi ini. Ibu mau?"

Tidak ada yang bicara setelah itu. Melisa mengangkat garpunya. Kembali menyantap buah mangga sembari menunggu reaksi Sarina selanjutnya. Awas saja kalau Sarina tidak mau berubah pikiran. Ia benar-benar akan pergi dari sini. Melisa masih mampu mengurus anak ini sendiri.

Hingga beberapa menit kemudian, Melisa melihat Sarina mengeluarkan ponsel dan tak lama benda tersebut ditempelkan ke telinga.

"Jangan lupa di-loudspeaker, Bu. Aku mau dengar."

Sarina diam saja tapi menuruti ucapan menantunya. Kini ponselnya berada di dekat wajah. Suara Bibi Syakira terdengar setelah itu.

"Bu Linda, saya ingin mengatakan sebaiknya rencana pernikahan itu dibatalkan saja."

"Lho, kenapa mendadak, Bu Sar? Terus gimana dengan persiapan kita?"

"Nanti biar saya yang batalkan semua. Saya minta maaf."

Telepon terputus. Melisa tersenyum puas. Sekali lagi, ia benar-benar tidak peduli dengan wajah merah Sarina.

"Dari dulu, kek, kayak gitu. Kasian, lho, anak orang dicampakkan gitu aja," ucap Melisa.

"Kamu bikin malu ibu!"

"Lho, kan, Ibu yang ngelakuin. Kenapa aku yang disalahin? Lagian sebentar lagi, Ibu mau punya cucu. Kesepakatan kita udah selesai."

Melisa tersenyum lagi karena merasa menang. Sekarang Sarina tidak mungkin mengacaukan rumah tangganya. Ia bisa fokus mengurus bayi ini sampai lahir nanti.

"Mbak Mel, lihat di depan pintu."

Suara Mbak Lala mengembalikan Melisa ke dunia nyata. Posisinya memang membelakangi pintu. Perempuan itu lantas menoleh ke arah pintu dan betapa terkejutnya Melisa usai melihat sosok laki-laki di sana.

Melisa berdiri sampai lututnya terantuk ujung meja. Sejak kapan suaminya berdiri di situ? Jangan katakan kalau Candra mendengar semua percakapannya barusan, meski wajah datar laki-laki itu sudah menjelaskan semuanya.

"Ikut aku."

Selanjutnya, Melisa merasakan tubuhnya sedikit melayang akibat tarikan yang kencang. Sampai kemudian mereka berhenti di ujung tangga. Napas laki-laki itu terdengar memburu. Hawa menyeramkan terpancar dari tubuhnya. Melisa sampai tidak berani bersuara.

"Jadi itu kesepakatan kamu sama Ibu? Ini yang mau kamu bicarain sama aku setelah pulang?"

Melisa menunduk. Bibirnya terkunci rapat. Rupanya benar, Candra telah mendengar semuanya.

"Jelasin semuanya sama aku, Mel!"

Sungguh, Melisa ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak dengan cara seperti ini.

"Kapan kamu lepas IUD?"

"Dua bulan yang lalu, Mas."

Candra mengacak rambutnya kasar. Ternyata benar dugaannya. Benda itu memang sudah tidak ada di dalam rahim istrinya sejak dua bulan yang lalu. "Kenapa kamu nggak bilang sama aku dulu?"

"Mau bilang langsung pun tetep nggak boleh lepas, kan?"

"Aku udah bilang kita belajar dulu. Kamu tahu itu. Kenapa kamu malah ngelakuin ini?"

"Aku mau hamil, Mas. Aku mau punya anak!"

"Aku tahu, tapi nggak begini caranya!" Suara Candra meninggi. Ia lelah, baru saja melakukan perjalanan jauh. Lalu, ketika sampai rumah malah mendengar kebohongan istrinya. "Kenapa kamu bohong? Aku udah bilang, aku nggak suka! Aku nggak mau punya anak dengan cara begini. Kamu paham nggak, sih?"

Melisa menggigit bibirnya. Baru kali ini ia melihat Candra marah dan dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Seakan-akan kemarahan itu menyerap semua kosa katanya. "Oh, jadi, Mas nggak mau terima anak ini?"

Candra memejamkan matanya sejenak. "Nggak gitu, Mel. Dengerin aku dulu."

"Ya, terus apa? Aku harus dengerin apa? Harus dengerin permintaan Mas untuk gugurin janin ini, gitu?"

Pertanyaan Melisa yang beruntun itu berhasil memantik amarah Candra. Dinding yang beberapa jam yang lalu ia susun akhirnya runtuh juga. "Melisa, cukup! Kenapa kamu nggak pernah ngerti perasaan aku?"

Melisa membeliakkan mata. Ucapan barusan seperti mata pisau yang berhasil menancap ke jantungnya. "Nggak pernah ngerti? Tiga tahun, Ibu kamu sering ngerendahin aku. Ibu ngomong begini, aku dengerin. Ibu semena-mena pun aku terima, bahkan Ibu kamu cari istri kedua, aku nggak bisa protes. Kamu minta aku buat ngertiin Ibu, tapi kamu nggak pernah ngertiin aku! Kamu bisa keluar seenaknya, sedangkan aku? Di sini, aku sendirian padahal aku punya suami!"

Selama tiga tahun, Melisa memendam semuanya sendirian. Tiga tahun, Melisa berusaha mengerti keadaan suaminya. Tiga tahun, Melisa hanya bisa bercerita pada Inayah. Barusan, Candra mengatakan dirinya tidak pernah mengerti? Ibarat sebuah bom, sekarang Melisa sedang meledak. Menumpahkan lava yang ia terpendam sejak lama. Bahkan, kata 'Mas' yang selama ini selalu tersemat di belakang nama suaminya kini berubah menjadi kata 'kamu'. Kesabaran mulai terkikis.

Sungguh, Melisa sangat menghormati Candra sebagaimana dulu ia menghormati Hartanto serta ketiga kakaknya. Melisa tidak pernah sedikit pun memiliki niat melanggar perintah suaminya. Melisa berusaha berlaku baik, berusaha memahami perasaan laki-laki itu. Kenapa Candra bilang tidak mengerti perasaannya?

"Bahkan, kamu biarin ibu nggak tau kalau aku yang selama ini pasang KB biar nggak bisa punya anak, kamu biarin aku yang dituduh perempuan bermasalah sama ibu. Itu yang kamu bilang aku nggak pernah ngerti?"

Tangisnya pecah karena Melisa tidak berhasil menahan tanggulnya. Tenggorokannya tercekat hingga tak sanggup mengeluarkan suara lagi. Bahunya bergetar, seiring dengan dada yang sesak bagai terhimpit dua dinding secara bersamaan. Melisa berusaha mengambil napas agar sakitnya hilang. Air matanya terus mengucur deras. Bubar sudah. Melisa tidak mampu menahannya lagi.

Isak tangis Melisa terdengar pilu dan sanggup merontokkan amarah Candra. Tubuhnya melemah saat itu juga. Lelaki itu ingin menyentuh, tapi Melisa menghindar dan menutup wajahnya dengan tangan sendiri.

"Kamu bilang apa barusan, Melisa?"


12 November 2022
•••

Best part kalau menurutku. Karena Sarina akhirnya tau wkwkwk. Makan tuh mandul 🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro