71 - Yang Sebenarnya
"Kamu itu harus makan, Melisa!"
Masih pagi dan suara Sarina sudah menggelegar memenuhi kamar Melisa. Entah apa yang ada dipikiran mertuanya itu sampai-sampai semuanya harus terlihat sempurna. Kalau Melisa bisa meminta, ia ingin hamil tanpa gangguan sama sekali, lalu bisa melahirkan tanpa merasakan sakit, dan bayinya sehat tanpa ada yang kurang. Namun, Melisa hanya bisa mengikuti skenario Allah. Hamil pertamanya harus merasakan mual dan muntah sampai sakit bertubi-tubi. Mau makan saja susah karena pasti akan keluar lagi.
"Ibu kalo ngomong terus mending keluar, deh! Aku nggak butuh bantuan Ibu!" Dengan sisa tenaganya, Melisa berseru seperti itu. Masa bodo dengan Sarina yang mau marah-marah lagi. "Update makanya, dong. Nggak semua ibu hamil bisa ngerasain enak-enak kayak Ibu! Bahkan, ada yang lebih parah dari ini! Aku pasti makan, kok. Nggak mungkin aku biarin anakku kekurangan makan!"
Sarina mendengkus. "Kamu memang nggak bisa dikasih tahu!"
"Ibu yang nggak update!"
Makin kesal, Sarina memilih keluar dari kamar anaknya, membanting pintunya. Melisa menggunakan kesempatan itu dengan mengunci rapat supaya Sarina tidak leluasa masuk. Tidak akan keluar sampai kepala serta hatinya tidak panas.
Usai duduk di tepi ranjang, Melisa menyugar rambutnya. Kemudian, mengelus perut yang masih rata. Kepalanya menunduk, seolah-olah sedang ingin mengajak bayinya bicara.
"Maafin mama, ya. Nggak ada maksud nggak mau makan. Mama masih adaptasi sama keadaan ini. Entar kalau udah terbiasa, mama makan yang enak-enak sampai kamu gendut di dalam sini."
Melisa mengembuskan napas. Bola matanya memanas. "Mama tahu kamu belum bisa dengar, tapi mama yakin kamu ngerasain apa yang mama rasain. Maafin mama, ya, kamu harus hadir di tengah situasi kayak gini. Nenek kamu kayak nenek lampir, galak banget. Nanti kalau kamu udah lahir, jangan kaget, ya. Kalau kamu bener, jangan takut untuk melawan."
Hingga tanpa sadar tetesan air datang dari atas, membasahi bajunya. Melisa buru-buru menyekanya dari sudut mata. Ia menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Semenjak hamil, ia jadi sering sensitif. Melisa tahu dirinya belum terbiasa dengan keadaan ini.
Pikirannya melambung ke negera seberang, tempat suaminya singgah. Di situasi seperti ini, Melisa butuh Candra. Namun, apa sudah pasti Candra menerima kehamilan ini? Jujur, Melisa takut hal buruk terjadi pada bayi ini. Ia terus memikirkan Candra tidak mau menerimanya, lalu menyuruh Melisa menggugurkan kandungan ini.
Ponselnya berdering singkat. Ketika layarnya dinyalakan, pesan dari Inayah yang terlihat. Isinya membuat Melisa tersenyum getir.
Nay Imut: Kamu jangan lupa minum vitamin sama obatnya. Jangan lupa makan juga. Kamu harus makan yang banyak.
Nay Imut: Kalau kamu butuh sesuatu, jangan lupa hubungi aku. Jangan bertindak sendiri. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.
Nay Imut: Soal naskah kamu nggak usah pikirin dulu. Kamu mending fokus ke bayi kamu, ya. Nanti sebagian naskahnya aku alihkan ke editor lain biar kamu nggak keberatan.
Melisa hanya membacanya dan enggan membalas. Bahkan, ia mematikan data seluler ponselnya. Ia butuh ketenangan sekarang.
Sementara itu di China, Candra terus memikirkan kondisi Melisa. Lagi-lagi ia meninggalkan istrinya dalam keadaan sakit. Ia tidak bisa berbuat banyak jika sudah menyangkut prosedur maskapai. Inilah yang membuatnya sedikit tidak senang mendapatkan penerbangan luar negeri. Ia harus berpisah sementara dengan istrinya.
Martin mengajaknya makan di luar. Katanya bosan bertemu room service. Alhasil kini mereka berdua singgah di restoran khusus yang menyediakan makanan halal.
"Capt, tahun baru sudah dapat jadwal?"
"Sudah dan cukup padat. Kalau kamu?"
"Saya mengajukan cuti sejenak, Capt. Bulan ini jadi penerbangan terakhir saya karena saya mau menikah."
Mata Candra melebar. "Bukannya kamu bilang tahun depan?"
"Tidak jadi, Capt. Pihak calon istri minta dipercepat dan kami pun ingin menikmati natal dan tahun baru bersama, dengan status baru." Martin mengangkat alisnya. Tersenyum lebar.
"Wah, selamat kalau begitu. Saya belum tahu bisa datang atau nggak."
"Tidak masalah, Capt. Nanti saya tetap kirim undangannya."
Candra membasahi kerongkongannya dengan teh usai menghabiskan Guantang Shuijiao, yaitu pangsit berisi daging, lalu disiram dengan kaldu. Menu sarapan yang cukup nikmat.
"Menikah itu nggak pernah ada di list hidup saya, Capt. Selama ini saya hanya memikirkan kesenangan semata. Saya terlalu takut dengan masa depan. Untungnya saya bertemu dengan wanita yang mengerti ketakutan saya. Kami merasa beruntung satu sama lain. Sampai akhirnya kami memutuskan naik ke jenjang yang lebih serius."
Cerita Martin barusan cukup menarik perhatian Candra. Ia bisa melihat wajah Martin tampak berseri. "Kamu merasa sudah tepat bersamanya?"
"Iya, Capt. Saya membutuhkan dia. Saya tahu kehidupan pernikahan tidak selalu berjalan mulus. Makanya itu saya mencari partner yang seimbang dan saya yakin dia orangnya."
"Bagus, lah. Semoga kamu bisa melewati semua fase pernikahan bersamanya."
"Amin, Capt. Saya doakan Captain segera diberi momongan."
Senyum Candra perlahan luntur. Setiap berjumpa dengan seseorang, pasti ucapannya seperti itu. Candra tidak menyalahkan. Lagi pula, mereka bermaksud mendoakan. Toh, mereka tidak tahu hal yang sebenarnya karena Candra tak pernah mengumumkannya ke seluruh dunia.
Akhirnya Candra dan Martin berpisah. Masuk ke kamar masing-masing. Candra mencabut ponsel dari charger dan terlihat ada empat panggilan tak terjawab dari ibunya. Sarina jarang menghubunginya. Kalau menelepon apalagi sampai sebanyak empat kali, berarti ada sesuatu yang mendesak.
Tanpa berpikir panjang, Candra menghubungi balik nomor sang ibu. Tidak perlu waktu lama Sarina menerima panggilannya.
"Kenapa, Bu? Barusan HP-nya baru selesai di-charger, terus aku baru pulang makan."
"Ibu kesal sama perempuan itu!"
Candra mengernyit. Perempuan itu, sudah pasti Melisa. "Ada apa lagi, sih, Bu?"
"Melisa nggak mau makan padahal dia itu harus makan biar kandungannya kuat. Nanti kalau kamu pulang, kamu kasih tahu dia. Kalau perlu kasih pelajaran biar kapok."
Candra yang semula duduk, kini berdiri. Jantungnya berdebar kencang. Ibunya bilang kandungan ... tidak mungkin kalau sekarang Melisa ....
Tunggu-tunggu. Pasti Sarina salah bicara atau dirinya yang salah dengar. Mungkin saja sekarang sinyal di hotel ini sedang gangguan. "Ibu bilang apa barusan? Kandungan? Siapa yang hamil, Bu?"
"Ya, siapa lagi kalau bukan Melisa. Kamu ini gimana, sih? Melisa belum kasih tau kamu?"
Mulut Candra terbuka. Terperangah. Berdengung. Bahkan, kedua kakinya melemas. Apa maksudnya ini? Melisa hamil, bagaimana bisa? Apa posisi alat kontrasepsinya geser atau ... Melisa sengaja melepaskan tanpa sepengetahuannya?
Candra menarik ingatannya. Terputar jelas bagaimana Melisa mendorongnya supaya mau mengizinkannya hamil, liburan ke Bali, perubahan pola hidup perempuan itu, mengajaknya ke rumah sakit untuk tes analisa sperma, dan kemarin ... istrinya mengatakan ada yang ingin dibicarakan, tapi tidak bisa lewat telepon. Apa mungkin Melisa ingin berkata jujur jika sekarang sedang mengandung?
Kenapa ... Melisa membohonginya? Kenapa Melisa melakukan ini? Kenapa juga mudah sekali terjebak rencananya?
11 November 2022
•••
Yaah, Mbah nggak asik. Jadi tahu sebelum waktunya kan 🙄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro