Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

70 - Sembilan Minggu


"Tuh, kan, aku bilang juga apa. Tes darah kamu menunjukkan hormon hCG kamu tinggi, terus kamu disaranin datang ke dokter kandungan. Kenapa nggak dari kemarin, sih, Mel? Ngeyel mulu, sih."

Setelah tragedi jatuh pingsan di kantor dua jam yang lalu, Melisa saat itu terbaring di rumah sakit. Baru juga sadar, Inayah sudah mengomelinya. Padahal Melisa sedang mencoba mengumpulkan nyawa.

Sekarang yang bisa Melisa lakukan adalah menurut apa pun yang dikatakan Inayah. Tubuhnya dipapah Inayah menuju ruangan dokter kandungan. Kebetulan Dokter Indi praktik di sini, jadi Melisa tidak perlu susah payah menghubungi dokter yang biasa menanganinya.

Usai namanya dipanggil, Melisa dan Inayah masuk dan duduk di hadapan Dokter Indi. Melisa pun diperiksa bagian vital seperti tekanan darah, suhu tubuh, denyut jantung, dan berat badan. Setelah itu, Melisa membeberkan kondisi tubuhnya pada dokter perempuan itu.

"Kita lakukan pemeriksaan USG transvaginal, ya, Bu. Biar akurat."

Setelah Melisa setuju, ia pun diarahkan untuk berbaring di atas bed dengan posisi kedua kaki ditekuk dan terbuka lebar. Sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan ini. Tidak heran jika Melisa tahu bagaimana prosedurnya.

Tak lama kemudian, layar baik di depan Dokter Indi maupun di atas menampilkan isi dalam perut Melisa. Inayah yang berdiri di samping Melisa turut menyaksikan.

"Sudah ada kantung janin, ya, Bu. Ini detak jantungnya," kata Dokter Indi. "Usianya sembilan minggu. Selamat, ya."

"Hah?" Melisa membelalakkan mata. Tunggu-tunggu. Setahunya, pemeriksaan USG itu bisa mendeteksi usia kandungan, lebih akurat dari HPHT. Kalau sembilan minggu, berarti dihitung sejak ia lepas IUD itu. Liburannya kemarin benar-benar membawa hasil, dong?

"Tapi, Dok, saya pernah haid. Masa, bisa sembilan minggu?"

"Coba diingat-ingat lagi, yang keluar seperti apa? Kalau hanya flek dan tidak ada gumpalan, keluarnya hanya beberapa jam dan tidak banyak, serta tidak dibarengi kontraksi seperti menjelang haid, itu mamanya pendarahan implantasi, Bu. Perdarahan implantasi terjadi saat sel telur yang dibuahi atau embrio menempel pada lapisan dinding rahim."

Melisa menganga. Ciri-ciri yang disebutkan barusan sama persis seperti yang ia alami beberapa minggu yang lalu. Bodohnya kenapa saat itu Melisa tidak bertanya pada Dokter Indi. Tidak cari tahu juga lewat internet.

Selesai periksa, Melisa kembali duduk di kursi. Jujur sekarang ia bingung mendeskripsikan perasaannya. Ada senang dan takut di dalam sana.

"Saran saya sebaiknya Ibu bedrest dulu untuk sementara waktu. Jangan lakukan aktivitas yang berat dan jangan sampai stres. Kehamilan trimester pertama ini sangat rentan keguguran, apalagi Ibu sempat pingsan tadi. Saya resepkan vitamin sama obat pereda mualnya, ya."

Mendengar kata bedrest, Melisa langsung terbayang Sarina. Sakit begini saja ibu mertuanya sudah ceramah panjang lebar, apalagi kalau sampai harus bedrest. Melisa juga membayangkan hari-hari yang biasanya beraktivitas di luar lalu terpaksa harus berada di kasur. Ia tidak bisa menjamin dirinya betah. Apalagi kalau masih tinggal satu atap dengan Sarina.

Jika situasinya normal, mungkin saja Melisa akan kegirangan mendengar kabar baik ini. Namun, kini ia terus memikirkan bagaimana caranya mengatakan ke Candra. Nasibnya sekarang tidak jauh beda dengan anak SMA yang ketahuan hamil duluan dengan pacarnya. Bingung dan takut bercampur menjadi satu. Melisa tidak mau membayangkan wajah laki-laki itu saat tahu yang sebenarnya.

Sambil melangkah meninggalkan ruangan dokter, Melisa terus memikirkan cara untuk jujur pada suaminya. "Nay, kamu ada ide nggak cara ngasih tau Mas Candra tanpa dia marah?"

"Kamu mau ngomong pakai bahasa kalbu tetep aja nggak bisa bikin dia nggak marah, Mel. Kamu udah bohong masalahnya. Aku juga digituin bakal marah."

Jawaban itu lantas menciutkan hati Melisa. "Ya, terus aku harus gimana, dong? Masa mau diem-diem aja. Sekarang belum keliatan, semakin hari pasti perutku makin besar, kan?"

Inayah memutar bola matanya. "Ya udah, kamu bilang sejujur-jujurnya, sejelas-jelasnya, ya, kalau dia marah, itu risiko yang harus kamu hadapi. Makanya Mel, jangan aneh-aneh, deh. Kalau mau bertindak itu dipikir dulu."

Kata-kata itu bagai air yang menyiram tubuh Melisa. Sungguh ia menyesali keputusannya dua bulan yang lalu. Harusnya ia coba membujuk Candra sekali lagi. Harusnya ia menunggu Candra siap. Harusnya ia tidak perlu terbawa emosi akibat kehadiran Syakira. Kalau sudah begini, sama saja sebentar lagi melempar bom untuk dirinya sendiri.

Ponsel yang berdering memecah lamunan Melisa. Saat melihat nama yang tertera di layar, Melisa terkesiap hingga jemarinya menggeser ikon warna merah.

"Astaga, Nay! Mas Candra telepon aku barusan."

"Lah, kok, nggak diangkat?"

"Aku bingung mau ngomong apa, Nay!"

"Emang dia tahu kamu ada di sini? Kamu ngomong aja kayak biasanya, Mel. Telepon balik sekarang."

"Ah, iya juga." Melisa menepuk dahinya. Kemudian, mengarahkan ponsel ke telinga usai menekan nomor Candra.

"Maaf, Mas, tadi salah pencet," kata Melisa setelah telepon terhubung.

"Kamu lagi di mana?"

Sebelum menjawab, Melisa melirik Inayah. Temannya itu mengangguk. "Aku di ... kantor, Mas."

"Kamu udah sembuh?"

Melisa menggigit bibir bawahnya. "Udah, Mas."

"Syukurlah."

Harusnya Melisa ikut lega, kan? Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Mas ... ada yang mau aku omongin tapi ... nggak bisa lewat telepon. Mas beneran cepet pulangnya, kan?"

"Iya, Sayang. Lusa aku pulang."

Lusa. Oke. Masih panjang waktunya untuk merangkai kata. Masih panjang waktunya untuk menyiapkan hati. Melisa akan mencoba menerima apa pun reaksi Candra nanti.

"Ya udah, Mas, aku tutup dulu, ya. Aku masih ada kerjaan."

"Kamu jangan kecapean, ya."

Melisa berkaca-kaca. "Iya, Mas."

Kalau Candra sudah tahu, apakah dia masih sudi memperhatikan Melisa?

"Ayo, aku anterin pulang. Kamu harus istirahat."

Melisa menurut saja. Sekarang tubuhnya sangat memerlukan kasur dan itu bisa ia dapatkan jika sudah di rumah. Ngomong-ngomong rumah, sebentar lagi ia akan bertemu dengan Sarina. Kepada wanita itu, Melisa masih bingung antara merahasiakan atau memberitahu secepatnya.

Kepala Melisa pusing lagi ketika di dalam mobil. Sekarang ia tahu alasan kenapa akhir-akhir ini tidak betah saat menaiki kendaraan roda empat. Akhirnya Melisa mengelus perutnya, mencoba memberikan sugesti positif. Bukannya kalau ibu hamil berpikiran baik, akan pengaruh juga ke bayinya?

Setibanya di rumah, Melisa kembali dipapah oleh Inayah. Dalam hati Melisa berharap semoga Mbak Lala yang membukakan pintu. Akan tetapi, harapan tinggallah harapan. Justru Sarina yang muncul pertama kali di hadapannya.

"Ngapain pulang? Katanya udah sehat. Kok, kayak gini lagi? Pura-pura sakit, kan, kamu biar bisa pulang."

Inayah sangat terkejut mendengar ucapan itu. Ada apa dengan Sarina? Apa matanya tidak bisa melihat dengan jelas wajah pucat menantunya ini?

Melisa ingin membalas, tetapi Inayah buru-buru mencegah.

"Maaf sebelumnya perkenalkan saya Inayah, temannya Melisa. Saya mengantarkan Melisa pulang karena dia harus istirahat total di rumah."

"Istirahat? Wong tadi aja bisa, kok, keluar."

"Menurut pemeriksaan dokter, Melisa dinyatakan hamil, Bu. Sudah sembilan minggu usia kandungannya. Melisa harus bedrest supaya nggak ngedrop lagi."

Sarina lantas menatap Melisa. "Dia pasti pura-pura lagi biar pernikahan anakku dengan Syakira batal."

Inayah mengembuskan napas. Tolong, kenapa Melisa bisa betah tinggal satu rumah dengan wanita ini? Inayah yang baru beberapa menit saja sudah kehilangan kesabaran. Saking gemesnya, Inayah mengeluarkan surat hasil tes darah beserta foto USG tadi dan menyodorkannya pada Sarina.

"Ibu bisa lihat sendiri di sini. Tidak mungkin Melisa melibatkan dokter untuk berbohong."

"Udah, Nay, kamu mending pulang aja. Aku udah nggak kuat berdiri di sini. Makasih, ya, udah antar aku sampai rumah." Melisa bersuara lemah dan kakinya mulai melangkah menuju tangga. Malas berdebat dengan Sarina.


10 November 2022

•••

Selamat hari pahlawan. Apa Inayah pantas disebut pahlawan?

Candra gimana, hoi? 😭😭😭

Pasti entar ekspresinya gini 😱😰☹️😌🙄😡🤬

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro