67 - Kado dari Menantu
Ada dua hal yang menggangu pikiran Candra saat ini. Pertama, tingkah Melisa yang menurutnya berbeda dari biasanya. Seperti mendadak muntah ketika di dalam mobil, tiba-tiba marah dengan alasan tidak jelas, yang terakhir sebelum pergi Melisa tak mau dipeluk gara-gara parfum yang ia kenakan, padahal itu parfum biasanya. Kedua, Ratna sedang berulang tahun. Sebagai menantu, tentu ia ingin hadir di hari bahagianya atau memberikan sesuatu. Untuk bagian ini, sampai sekarang Candra dibuat pusing karena tidak tahu kado apa yang cocok untuk mertua. Dua tahun sebelumnya pun ia serahkan urusan itu pada Melisa.
Penerbangan selanjutnya terjadwal pada pukul tiga sore. Masih ada sisa tiga jam dari sekarang, Candra gunakan sedikit waktunya untuk mengisi perut. Ia tidak sendirian. Ada Martin yang menemaninya makan di restoran.
"Menurut kamu, hadiah yang cocok untuk ibu mertua apa?"
Entah datang ilham dari mana sampai-sampai Candra bertanya pada Martin. Tentu saja Martin mengerutkan keningnya. Meminta pendapat selain pekerjaan tentu merupakan hal yang jarang Candra lakukan.
"Captain salah kalau tanya itu ke saya yang belum pernah menikah."
"Oh, benar juga." Candra menyesap kopinya, lalu menghela napas.
"Tapi, saya akan coba kasih gambaran sedikit. Biasanya perempuan itu senang mengoleksi pakaian, perhiasan, peralatan masak, atau barang-barang antik. Nah, Captain tinggal pilih saja. Kalau menurut saya, jangan memusingkan nilainya. Selama niat Captain baik, pasti akan diterima."
Candra bergeming meski dalam hati membenarkan ucapan temannya itu.
"Ah, iya, Captain, kan, belum punya anak. Dikasih cucu udah pasti senang itu."
Saat Martin mengatakan itu, Candra sedang menyeruput kopinya lagi. Karena terkejut, alhasil cairan masuk secara mendadak. Kerongkongannya panas beberapa detik kemudian.
"Maaf," ucap Candra setelah tenang. "Mertua saya udah punya cucu."
"Bukan dari Captain, kan? Nggak ada salahnya nambah cucu, kan?"
"Memang tidak salah, tapi untuk urusan ini, saya nggak bisa berbuat banyak."
"Ah, benar juga. Kehadiran anak tergantung bagaimana keputusan Tuhan."
Candra memilih tidak menanggapi. Ia merasa belum siap membeberkan semuanya pada Martin. Lagi pula saat ini Candra sedang belajar untuk menerima. Candra sedang mencoba menciptakan keluarga yang diinginkan. Walau ia tahu kelak teori tidak seindah praktik, setidaknya ada usaha.
Mengungkit kelakuan Sarina sama saja membuka luka lama dalam dirinya. Membuka buku yang jalan ceritanya buruk tidak akan mengubah apa pun. Sarina tetap Sarina.
Keluar dari restoran, Candra dan Martin berpisah sebentar. Candra melangkah sembari memperhatikan isi bandara. Di sisi kanan-kirinya terdapat outlet kue, pakaian, hingga perhiasan. Kaki yang terbungkus sepatu hitam itu melangkah mantap memasuki toko perhiasan.
Tiba di tempat itu, ia mengamati gelang dari luar kaca etalase. Ada gelang rantai rose gold yang dipadukan dengan warna putih, terdapat bebatuan transparan di bagian tengahnya. Ada juga gelang emas mutiara. Selain gelang, Candra pun melihat-lihat kalung dan anting.
"Mbak, saya mau ambil tiga set, tapi yang satu tolong dibungkus kado, ya," kata Candra.
"Baik, Pak. Tunggu sebentar, ya."
Candra mengangguk. Sembari menunggu, ia memainkan ponsel. Membalas pesan sang istri yang kali ini lebih cerewet dari biasanya.
Istri: Mas lagi di mana?
Anda: Di airport.
Istri: Ya, aku tahu, tapi spesifiknya di mana?
Anda: Di tempat briefing. Bentar lagi mau boarding terus ke gate.
Anda: Nanti kalau sudah sampai aku kabari.
Candra sengaja merahasiakan keberadaannya saat ini. Rencananya ia akan memberi kejutan. Candra tidak tahu apakah nanti mertuanya berkenan dengan pemberian ini.
Anda: Kamu masih di Semarang, kan?
Istri: Masih, Mas. Besok pagi pulangnya.
Obrolan via chat terjeda sebentar lantaran penjaga toko perhiasan memanggil Candra. Pria itu lantas mengangsurkan kartu debitnya untuk pembayaran. Setelah dibayar, Candra menerima paperbag berisi tiga buah set perhiasan. Ia mengucapkan terima kasih, lalu pergi.
Paperbag tersebut untungnya cukup dimasukkan ke navbag milik Candra. Tas itu ikut serta ke dalam ruang kokpit seperti biasa. Duduk di jumpseat, Candra dan Martin mulai mengaktifkan pesawat. Selanjutnya meminta izin pushback, jalan di runway, dan mulai lepas landas.
Satu jam mengudara, pesawat mendarat di bandara dan menjadi tujuan terakhir Candra. Tidak berhenti sampai di sini. Harusnya langsung pulang, tetapi Candra memilih naik pesawat lagi sebagai penumpang menuju Semarang. Langit sudah gelap saat pesawat berada di ketinggian. Candra bisa melihat lampu kedip di sayap pesawat.
Tiba di Semarang, Candra menyeret kopernya masuk ke taksi. Di tengah jalan, Candra berhenti sebentar di toko bunga yang masih buka. Membeli buket bunga mawar besar. Melisa tidak tahu. Candra hanya mengatakan sudah sampai di bandara tujuan. Di dalam taksi, ia sudah membayangkan wajah istrinya saat melihat kedatangannya nanti.
Taksi berhenti di depan rumah orang tua Melisa. Ketika Candra turun membawa buket bunga, sang sopir mengeluarkan navbag dari dalam bagasi. Begitu kendaraan tersebut pergi, Candra melangkah maju dan setibanya di dekat pintu, ia mengetuknya. Rupanya pintu dibuka oleh Fyan.
"Lho, Mas Candra ke sini juga, to?"
Candra tersenyum. Matanya menangkap Melisa, Ratna, dan Hartanto yang muncul dari ruang makan.
"Mas! Kok, ke sini?" seru Melisa.
"Lah, aku pikir kamu tahu, Nok," sahut Fyan.
"Nggak. Mas Candra nggak bilang kalau mau ke sini."
"Ayo, masuk, masa ngomong di depan pintu." Ratna menginterupsi. Mengajak sang menantu masuk dan duduk di kursi.
"Itu bunga buat aku, Mas?" tanya Melisa yang sejak tadi matanya tidak lepas dari buket bunga di tangan Candra.
"Bukan. Ini buat Mama." Candra lantas menyodorkan buket bunga itu di hadapan Ratna. "Selamat ulang tahun, Mama. Maaf terlambat ngucapinnya. Terima kasih sudah melahirkan dan membesarkan Melisa sampai jadi wanita cantik sekarang."
Ratna yang takjub itu menerima bunga pemberian menantunya. "Wah, terima kasih. Bunganya besar banget, ya."
"Aku nggak dikasih bunga, Mas?"
Fyan menjepit mulut Melisa yang mengerucut menggunakan jemarinya. "Kamu, kan, udah dikasih uang setiap hari."
"Ya, kan, beda."
"Ya, udah, ini bunganya buat kamu, deh." Ratna menyerahkan buket yang baru saja ia pegang ke tangan anaknya.
"Nah, karena Melisa udah pegang bunganya, aku masih punya satu kado lagi buat Mama. Tolong diterima, ya," ucap Candra memanasi istrinya. Ia mengeluarkan kotak berisi satu set perhiasan.
"Wah, ayo, dibuka, Ma!" Fyan malah ikut-ikutan meledek sang adik.
Ketika Ratna berhasil membuka tutup kotak, semua mata takjub dengan isinya. Terlebih Hartanto, ia tidak menyangka Ratna akan mendapatkan kado istimewa dari sang menantu.
"Ini berlebihan, Nak. Mama sampai bingung mau ngomong apa," ujar Ratna dengan suara bergetar.
"Mama pantas mendapatkan ini," balas Candra.
"Makasih, ya. Mama janji akan simpan dengan baik." Ratna menyeka air mata di sudut mata.
Jika Ratna terharu, Melisa justru makin cemberut. Entah mengapa suasana hatinya hari ini begitu berantakan. Padahal harusnya ia ikut senang, kan, suaminya inisiatif membelikan kado. Namun, teringat dirinya yang tidak membawa apa-apa, hati Melisa kian teriris.
"Berarti cuma aku aja yang nggak ngasih kado. Aku nggak ngasih kado buat Mama ...."
Fyan terbelalak melihat sang adik menangis lagi. "Lah, kok, diungkit lagi. Kata Mama nggak apa-apa, Nok."
"Papa aja cuma kasih bunga setangkai, Sayang. Udah, jangan nangis lagi, ya." Hartanto ikut menenangkan putrinya. Bukannya berhenti, tangisan Melisa makin kencang. Akhirnya Candra bertindak sebagai jurus pemungkas. Merengkuh tubuh istrinya.
"Anggap aja kado-kado tadi dari kamu, ya. Jadi, kamu udah kasih kado," kata Candra seraya mengelus kepala Melisa.
Melisa yang berada dikurungan suaminya membuat Fyan geleng-geleng. "Kamu mau PMS, ya, Nok. Makanya dari kemarin tingkahnya aneh."
"Abang diem!"
Fyan spontan mengatupkan bibirnya.
"Udah, Mas." Melisa mengurai pelukan suaminya. "Dibilangin parfum Mas bikin mual."
Candra mengerjapkan mata. Kalau diperhatikan wajah istrinya tampak pucat, matanya sayu, tapi tubuhnya lemas. Apa selama di sini istrinya sakit?
07 November 2022
•••
Mamanya Melisa yang dikasih kado, aku yang seneng, tapi langsung pusing liat harganya 🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro