63 - Tingkah Aneh
Fyan termasuk orang yang jarang mengirim pesan. Abangnya yang satu itu senangnya langsung menelepon, katanya biar efisien. Pesan pun paling sering di grup keluarga, itu pun hanya singkat. Melisa kadang kesal kalau mau menghubungi abangnya itu. Chat hari ini, dibalas minggu depan. Nah, sekarang, tidak ada angin, tidak ada halilintar tiba-tiba tanya bisa pulang tidak. Langsung ruwet pikiran Melisa.
Sialnya, telepon Melisa sampai sekarang tidak diangkat-angkat. Makin panas dingin badannya. Melisa sampai menunda kepulangannya demi menuntaskan rasa penasaran ini. Ada sekitar tiga puluh menit menunggu sampai panggilan dari Fyan datang dan Melisa segera menerimanya.
"Kenapa telepon, Nok? Aku lagi kerja."
"Mama sama papa gimana keadaannya?" tanya Melisa.
"Hah? Mama papa baik-baik aja, Nok. Sehat walafiat, bahkan baru aja makan daging sapi."
"Lha, terus, Abang ngapain tanya aku bisa pulang apa nggak? Pasti papa atau mama kenapa-napa, kan?"
"Astagfirullah, pikiranmu! Ya, kamu pikir aku nge-chat cuma mau kasih kabar buruk?"
"Ya, terus apa lagi?"
"Melisa Sayang, aku tanya begitu karena lusa mama ulang tahun. Aku mau ajak kamu kasih kejutan karena sekarang nggak ada Ryan. Kamu inget apa nggak kalau besok mama ulang tahun?"
Dengan gerakan cepat, Melisa menurunkan ponsel untuk mengecek kalender. Benar, lusa Ratna berulang tahun dan Melisa sudah menandai tanggal tersebut. Tangannya menepuk jidatnya keras. Kenapa bisa lupa? Kenapa pula pikirannya malah ke sana?
"Ih, kenapa Abang nggak ngomong lewat grup kayak biasanya?"
"Lho, nanti dibaca sama mama, nggak jadi kejutan, dong?"
"Harusnya Abang, tuh, tambahin kalimat selanjutnya biar aku nggak salah paham."
"Ya, mana kutahu kamu malah mikir ke sana. Niatku cuma tanya. Pikiranmu lagi ruwet, ya? Lagi ada masalah apa?"
"Nggak ada masalah apa-apa. Yang salah itu Abang kenapa nggak lengkap nulis chat-nya. Aku jadi suuzan."
"Ya Allah, Fyan, sabaaar. Orang sabar disayang pacar."
Di ujung sana, Fyan mengurut keningnya. Sudah pening memikirkan pekerjaan, sekarang makin jadi gara-gara kelakuan adiknya. Mungkin sekarang Melisa sedang PMS makanya uring-uringan. Dirinya beserta Ahsan dan Ryan sudah mendapat pelatihan khusus dari Ratna terkait menghadapi perempuan yang tamu bulanannya datang. Kalau Melisa sedang begini, mereka sudah tahu triknya.
"Ya udah, sekarang gimana, kamu bisa pulang nggak?" tanya Fyan.
"Aku ngomong sama Mas Candra dulu, tapi nggak bisa berangkat besok, aku ada urusan sama Mas Candra. Aku berangkat pas hari H-nya."
"Nah, gitu, Nok, dari tadi. Kenapa harus ngalor-ngidul dulu?"
Melisa memutar bola matanya. "Ih, kan, Abang yang salah!"
"Iya, deh, iya, Abang yang salah. Maaf. Udah, ya, aku masih ada kerjaan, nih. Kalo udah bilang ke Mas Candra, telepon aku."
"Siap, Abang yang ... tadi Abang bilang orang sabar disayang pacar. Emang Abang udah punya pacar?"
"Nggak ada, Mel. Udah, ya, Assalamualaikum."
Telepon diputus secara sepihak oleh Fyan. Melisa geleng-geleng. Agak heran juga dengan tingkahnya sendiri. Apa jangan-jangan sebentar lagi datang bulan? Melisa geleng-geleng lagi. Jangan datang, Ya Allah. Ganti saja dengan kehadiran satu embrio.
Kepalanya sakit lagi gara-gara memikirkan hamil yang tidak kunjung datang.
Pukul sebelas malam dan Melisa terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba saja ia kepengin makan mi instan. Alhasil, ia turun, celingak-celinguk sebentar di depan kamar Sarina, lantas baru berani merebus mi. Itu pun harus dilakukan dengan sangat pelan supaya mertuanya tidak sadar.
"Untung Mbak Lala beli mi. Coba kalau nggak, masa aku harus ke supermarket dulu."
Sembari menunggu mi matang, Melisa meraba perutnya. Lagi-lagi ia merasa aneh. Tidak pernah makan tengah malam, sekarang tiba-tiba ada di dapur bikin makanan. Katanya, wanita yang sedang hamil itu tingkahnya beragam, bahkan di luar kebiasaan.
"Kamu beneran ada di sana nggak?" Melisa bermonolog seraya menunduk. "Pengin nyoba tes, tapi masih takut. Kalo negatif, kan, eman-eman test pack-nya, apalagi kalau ketahuan Mas Candra. Kalau kamu beneran ada, kasih sinyal, ya."
Mi yang berada di panci Melisa pindahkan ke mangkuk. Selanjutnya diberi bumbu. Barulah ia melangkah naik ke kamar dengan membawa mangkuk berisi mi serta gelas besar isi air putih. Oh, ya, sebelum meninggalkan dapur, panci bekas rebusan sudah ia cuci supaya tidak kena semprot Sarina esok harinya.
Melisa membuka meja lipat yang biasa ia gunakan untuk penyangga laptop di atas karpet dekat ranjang. Setelah itu, ia duduk bersila di sana. Baru akan menyantap mi, tiba-tiba pintu dibuka dari luar, menampakkan sosok laki-laki berseragam putih. Oh, pantas saja tadi di bawah ia mendengar suara mobil. Melisa kira milik tetangga.
"Lho, Sayang, kamu belum tidur?"
"Udah, tapi aku bangun gara-gara pengen makan mi."
Perempuan itu berdiri lagi, kemudian meraih tangan suaminya untuk dicium. Dilanjut melepaskan dasi serta atribut yang melekat di baju Candra. Ia menatap intens wajah laki-laki itu. "Bonekanya mana, Mas?"
"Ini." Candra mundur selangkah, menggapai boneka panda besar yang masih terbungkus plastik bening. Melisa langsung merebut benda itu, memeluknya dengan sangat erat.
"Yang beliin nggak dipeluk?"
Melisa tidak menggubris. Candra lantas mengelus kepala istrinya.
"Mas belum makan, kan? Mi-nya dimakan aja, aku udah nggak pengen lagi."
"Kok, nggak jadi?"
"Aku ngantuk, Mas. Mau lanjut tidur lagi. Daripada dibuang mending Mas aja yang makan."
"Ya udah, aku makannya habis mandi, ya."
"Kok, habis mandi? Ya, sekarang, Mas. Nanti mi-nya ngembang, jadi nggak enak."
"Tapi, aku belum man--"
"Mandinya habis makan aja, Mas. Mumpung masih anget."
"Oke. Aku makan sekarang."
Candra yang pasrah itu kemudian duduk di karpet, sementara Melisa pindah ke ranjang sambil membawa boneka barunya.
"Mas besok libur?"
Candra mengangguk karena mulutnya penuh dengan mi.
"Ke rumah sakit mau nggak, Mas?"
Candra memiringkan kepala ke arah istrinya. "Ngapain?"
Untuk sejenak, Melisa memikirkan kalimat tepat agar tidak menyinggung suaminya. Bagaimanapun urusan kesuburan merupakan hal yang sensitif meski Candra belum mau punya anak. "Waktu itu aku, kan, udah pernah cek kesuburan. Sekarang gantian Mas, mau nggak?"
"Cek kesuburan?"
"Iya. Minimal cek kualitas sperma. Kan, Mas udah tahu aku nggak ada masalah, sekarang gantian. Tapi, kalau Mas nggak mau, nggak apa-apa. Aku nggak paksa."
Melisa menggigit bibir bawahnya. Menunggu jawaban Candra membuat tubuhnya keringat dingin. Dalam hati ia terus berharap Candra tidak menolak ajakannya. Kesempatannya makin tipis.
"Oke. Aku juga sekalian mau medical."
Melisa terbelalak, melepas boneka panda itu, kemudian merengkuh leher Candra dari belakang. Tidak lupa memberi hadiah berupa kecupan-kecupan di pipi laki-laki itu.
"Jangan mancing. Katanya kalau mau ambil sample sperma itu nggak boleh berhubungan dulu."
"Eh?" Refleks Melisa mengurai kaitan tangannya. "Mas tau dari mana?"
"Dari Google. Kamu baca sendiri."
Melisa mengambil ponsel dan mengetik kata kunci sesuai penuturan suaminya itu. Ada satu artikel yang menjelaskan bagaimana cara tes kualitas sperma. "Salah satu caranya dengan masturbasi, lalu saat ejakulasi dimasukkan ke sebuah wadah. Ini nanti Mas sendirian atau sama aku?"
"Nggak tau. Kan, aku belum pernah."
"Iya juga," balas Melisa lirih. "Ya udah, lihat besok aja. Mas langsung istirahat habis ini, ya, biar hasilnya bagus."
"Emang kalau bagus kenapa?"
"Masih ditanya, kalau hasilnya bagus, berarti Mas laki-laki yang sehat, sesuai dengan ucapan ibu."
Mangkuk yang tadinya berisi mi kini ludes. Candra juga menandaskan air putihnya. Setelah itu, ia membalikkan tubuhnya, menatap Melisa lekat-lekat. "Sebenarnya kamu sama ibu nggak lagi merencanakan sesuatu, kan?"
03 November 2022
•••
Hayolooh, Candra mulai curiga 😌
Hayoloh, aku update pagi 🤣 udah sisa 27 bab, nih. Harus rajin 🙈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro