Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

61 - Cerminan Anak


Menjadi pembohong bukanlah keinginan Melisa. Ia sangat terpaksa melakukan ini demi tercapainya impian. Ia terlalu takut Sarina menang, takut jika Syakira berhasil membobol pertahanan Candra. Namun, mendengar penuturan suaminya, Melisa mendapat secercah harapan. Kalau Candra berubah pikiran dalam waktu dekat, ia akan mengakui semuanya.

"Kita belajar sama-sama, ya, Mas. Aku, kan, bakal jadi ibu. Nah, ibu itu sekolah pertama anak-anak. Mas mau jadi orang tua yang kayak gimana?"

Pandangan Candra lurus ke depan. Tangan kirinya masih menyangga piring nasi yang tersisa sedikit. Sungguh, ia tak punya bayangan menyenangkan terkait sosok orang tua. Yang terngiang adalah tuntutan dan aturan dari Sarina. Tentang ayahnya, Candra bahkan sudah lupa bagaimana perlakuan ayahnya dulu.

Sejak mereka berpisah, ayahnya sama sekali tidak menunjukkan wajahnya. Jangankan bersua, menanyakan kabar via telepon saja tidak pernah. Candra sangat kehilangan, padahal saat masih ada ayahnya tidak lelah mendukung apa pun yang ia lakukan. Ia sedih melihat anak-anak lain yang orang tuanya masih lengkap.

"Mama kamu kesehariannya gimana?" Akhirnya Candra berani tanya seperti itu. Ia ingin melihat kehidupan orang tua lain dari sudut pandang Melisa.

"Mama ... kalau pagi, mama masak buat sarapan. Terus, waktu aku masih sekolah, mama nggak pernah lupa siapin keperluan buat sekolah, termasuk ngingetin aku ada PR apa nggak. Pulang sekolah, mama nggak pernah tanya aku dapat nilai berapa, yang mama tanyain bagaimana perasaanku di sekolah, kalau aku bilang ada yang nakal, mama langsung peluk aku. Kalau mau tidur, mama selalu sempatin ajak aku baca buku, terus selalu minta maaf dan peluk aku sebelum tidur. Waktu aku kuliah di sini, mama nggak pernah absen ngingetin aku makan, salat, sama ngingetin jangan begadang."

"Waktu kamu dapet nilai jelek, reaksi mama gimana?"

"Biasa aja. Mama selalu bilang 'nggak apa-apa, besok dicoba lagi'. Bahkan, dibantuin cari solusi mana yang salah."

Berbeda sekali dengan Sarina. Ibunya selalu marah kalau Candra mendapatkan nilai rendah. Pernah sekali ulangan matematika yang biasa dapat 100, lalu turun jadi 98, Sarina tidak terima. Padahal hanya turun dua angka dan besoknya dapat sempurna lagi. Tetap saja bagi Sarina, nilai tersebut termasuk cela. "Kamu nggak dihukum?"

"Ya, nggak, lah. Aku nggak pernah lihat mama hukum anak gara-gara dapet nilai jelek. Mama itu takut kalau keras, nanti anak-anaknya malah manipulasi nilai."

Tidak ada dalam sejarah baik Ratna maupun Hartanto menghukum anak-anak hanya karena dapat nilai jelek di sekolah, itu yang Melisa rasakan. Mereka tetap bangga apa pun hasil yang diperoleh anak-anaknya. Tidak ada tuntutan sama sekali selama sekolah atau dalam hal apa pun. Kata Ratna, yang penting sudah berusaha, mau dapat berapa pun kalau dari usaha sendiri akan indah rasanya.

"Kalau papa kamu gimana?"

"Papa itu laki-laki the best. Nggak pernah marah, nggak pernah mukul, nggak pernah ngomong kasar, sering kasih peluk. Setiap hari Minggu, selalu sempetin ajak anak-anaknya jalan-jalan. Setiap malam sebelum tidur, papa suka ajak kita duduk bareng, terus dengerin cerita kita satu-satu. Terus, papa selalu tunjukin kasih sayang ke mama, kayak kasih pelukan atau cium keningnya, dan itu dilakukan setiap saat, bukan pas mau berangkat kerja aja. Papa selalu minta pendapat mama dulu baru ke anak-anaknya. Kalau rumah masih berantakan, papa nggak protes ke mama, tapi langsung bantuin beresin. Papa jarang minta dibuatkan kopi meskipun mama lagi nganggur."

Kalau ingat Hartanto, Melisa benar-benar semringah. Sejak kecil ia tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang, bahkan sampai detik ini pun, ia tidak kehilangan sosok ayah. Tidak heran kalau Ahsan, Ryan, dan Fyan tumbuh jadi laki-laki menarik.

"Pelajaran paling penting yang pernah kamu dapetin dari mereka apa?"

Melisa menekuk kedua lututnya. "Mama sama papa nggak pernah nyuruh aku harus bisa ini-itu, nggak pernah dijejali teori. Justru mereka selalu kasih contoh nyata. Kayak yang aku sebut tadi, papa selalu nunjukin kasih sayang ke mama dan itu pengaruh, lho. Terus papa pengen setiap kita duduk bareng nggak ada yang megang hp, dan papa kasih contoh itu. Jadi, menurut aku, daripada kita capek ngomong, mendingan kasih contoh langsung karena anak itu peniru, bukan pendengar ceramah."

"Jadi, misalnya kamu itu pecahin barang, mama atau papa kamu nggak marah?"

"Nggak pernah. Aku justru heran kenapa ada orang tua yang marah saat anaknya merusak barang, kan, itu hal wajar, namanya lagi belajar. Kita akan tahu dari mana rasa sakit kalau nggak belajar?"

Pertanyaan itu berhasil menampar Candra. Satu hal yang paling ia takuti di dunia ini adalah melakukan kesalahan sebab sudah pasti akhirnya akan kena amukan Sarina.

"Terus, dari kalian nggak ada satu pun yang ambil alih bisnis papa, itu papa nggak marah?"

"Nggak, kan, itu bisnis papa, dan papa merasa anak-anaknya nggak perlu berkewajiban meneruskan bisnis itu. Jadi, jangan heran kalau akhirnya Mas Ahsan bisa jadi dokter. Walaupun dikasih kebebasan, papa mama tetep kasih tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mas pasti inget papa nggak marah pas aku minta izin nikah."

Tidak ada memori yang kelam dalam hidup Melisa. Semuanya berjalan normal. Ribut-ribut kecil pasti ada, tetapi Candra yakin mereka mampu mengatasinya dengan baik. Terbukti saat Ahsan tidak sengaja membentak Melisa waktu itu, dia langsung meminta maaf dan baikan. Candra yakin kelak Melisa akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Namun, ia yang tidak yakin dengan dirinya sendiri. Candra masih takut melakukan hal-hal yang pernah Sarina lakukan.

Hartanto ayah yang bijaksana, bahkan tidak kecewa saat tidak ada satu pun anaknya yang menggantikan bisnisnya. Hartanto membiarkan anak-anaknya mengambil keputusan. Tidak heran jika Melisa senang bercerita apa saja karena sejak di rumah selalu dibiasakan seperti itu. Yang pasti, terlihat jelas hubungan mereka bukan orang tua dan anak, mereka seperti teman akrab tetapi saling menghormati.

Tidak ada orang tua yang sempurna, yang ada orang tua yang mau belajar tanpa lelah. Yang mau berusaha menjadi cerminan bagi anak-anaknya. Kalau bisa, apa yang dialami dulu tidak terjadi di masa depan. Akan tetapi, apa Candra bisa menjamin itu tidak akan terjadi?

"Jadi, Mas mau kita jadi orang tua seperti apa?" Melisa mengulang pertanyaannya. Satu kesalahannya di masa pendekatan, ia tidak pernah menanyakan ini. Justru Melisa yang kerap bercerita keinginannya di masa depan sampai lupa menanyakan bagaimana pendapat suaminya.

"Seperti mama papa kamu."

"Hmm, menarik. Mas kalau mau bisa tanya ke papa biar tahu gimana cara mendidik anaknya yang imut ini."

Candra mengelus kepala istrinya. "Pantes aku selalu gemes sama kamu."

"Mas, seandainya, nih, kalau Mas mau punya anak, maunya cewek apa cowok?"

"Cewek," jawab Candra tanpa berpikir panjang. "Biar pendek kayak kamu."

"Heh, enak aja! Jangan! Kasian nanti dia dikatain pendek sama temen-temennya. Kalo bisa, tuh, tinggi kayak Mas." Jangan sampai anaknya bernasib sama seperti Melisa yang dapat perundungan hanya karena tubuhnya kecil. "Terus, Mas, enaknya mau dinamain apa?"

"Pertanyaan kamu kayak besok mau hamil aja."

Melisa mengulum bibirnya. Ya, maklum, dirinya terlalu bersemangat. Bisa saja, kan, para kecebong hasil liburan kemarin ada yang menang. "Kan, seandainya, Mas. Nggak dijawab juga nggak apa-apa."

"Aku kalau nama nggak punya pikiran, Sayang. Lagian, bikin aja nggak pernah."

"Enak aja nggak pernah! Bikinnya sering, jadinya yang nggak. Kalau Mas nggak mau jadi bapak, aku bisa cari bapak yang lain."

"Kan, mulai lagi mulutnya."

Melisa meringis. "Iya-iya, maaf. Makanya jadi bapak, dong."

"Belajar dulu, ya."

01 November 2022
•••

Jangan heran kalau mereka ada obrolan begini. Karena kan perkenalan mereka singkat ya, plus Candra sering di luar daripada di rumah. Pacarannya setelah nikah. Emang bener sih lima tahun pertama itu masa transisi, makanya banyak yang gugur karena nggak kuat pas adaptasi.

Sama satu lagi aku mau bilang, kalau baca jangan skip-skip, ya. Aku tahu cerita ini babnya kayak rel kereta, tapi diusahakan jangan lewati satu pun babnya. Karena aku selalu kasih sebab akibat di setiap cerita. Biar kalian tahu juga oh Candra begini karena diginiin. Gituuu.

Absen deh siapa yang bacanya tanpa skip?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro