60 - Membujuk Suami
Candra yang baru saja keluar dari kamar mandi terheran melihat sang istri mengenakan hoodie dan bawahannya celana training, usai mengikat rambutnya, lalu duduk di tepi kasur, memasukkan satu per satu telapak kakinya ke sepatu.
"Kamu mau ke mana, Sayang?"
Melisa menegakkan tubuhnya, kemudian bangkit. "Joging."
Sebentar. Melisa tidak salah bicara, kan? Selama tiga tahun ini, tidak ada kata olahraga dalam kamus hidup Melisa. Bagi istrinya, nyapu, ngepel, masak sudah termasuk olahraga yang menguras keringat. "Kamu beneran mau olahraga?"
"Ya, beneran, Mas. Sebelum kita liburan aku udah joging beberapa kali. Tuh, kan, suka gitu, istrinya mau berubah ke arah yang baik malah nggak percaya!"
"Nggak gitu, Mel. Aku cuma kaget." Candra sedikit menunduk akibat tinggi badan Melisa yang hanya sebahunya. Satu kecupan mendarat di pipi perempuan itu. "Kalau gitu aku ikut, ya. Terus, habis itu aku traktir makan nasi liwet."
Melisa mencebik. "Yaah, kok, nasi liwet."
"Enak tau. Nanti kamu makan sayur labunya aja."
Makin maju bibir Melisa. Traktir, tuh, yang enak-enak, kek. Kayak es krim, cokelat, roti susu. Ini malah mau beli makanan yang istrinya nggak suka. Untung sayang. "Nggak apa-apa, deh, makan nasi liwet. Yang penting kita olahraga berdua."
"Olahraga berdua? Kenapa harus jauh-jauh, Sayang? Olahraga di sini aja."
"Iih, ora urus!" Melisa meraih handuk kecil di kasur, lantas melangkah keluar. Lebih baik pergi sebelum matahari makin naik. Kalau di kamar terus, bisa-bisa beneran olahraga di ranjang.
Candra menyusul beberapa menit kemudian. Termasuk cepat karena hanya tinggal mengenakan sepatu. Kini pria itu menggamit tangan sang istri, menggenggam sembari melangkah sejajar di jalan. Berbaur dengan pejalan kaki lainnya.
"Kamu kenapa tiba-tiba suka olahraga?" tanya Candra.
Melisa menengok ke kanan, melirik suaminya sebentar. "Aku, kan, mau hidup sehat, biar badan nggak gampang sakit. Setelah nyoba jalan gini, aku ngerasa enteng. Mending lanjutin, kan?" Melisa masih konsisten menyembunyikan alasan sebenarnya. Mungkin akan terus disembunyikan sampai ada janin di dalam perutnya.
Ngomong-ngomong perut buncit, Melisa belum melihat ibu-ibu yang kemarin jalan pagi di sekitar sini. Padahal biasanya selalu barengan. Apa Melisa terlambat? Sepertinya tidak.
Candra yang melihat istrinya sedang mencari sesuatu lantas bertanya, "Cari siapa, Mel?"
"Ibu hamil yang suka jalan bareng sama aku. Sekarang nggak keliatan. Apa dia udah lahiran, ya?"
"Mungkin," balas Candra singkat.
"Dia udah hamil besar tapi masih ditinggal kerja di luar kota sama suaminya. Waktu kita ketemu, dia lagi jalan sendirian. Aku gemes sendiri ngeliatin perutnya."
Kali ini Candra mengunci rapat mulutnya. Memilih menyimak cerita Melisa.
"Dia udah enam tahun, lho, baru dikasih anak. Setelah ikut program bayi tabung. Pasti dia seneng banget akhirnya dikasih kepercayaan setelah menanti panjang."
Sengaja Melisa menceritakan ini sebagai pemancing. Ya, mungkin akan seperti ini terus sampai Candra berubah pikiran. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Allah itu gampang mengubah perasaan seseorang.
"Mas emang nggak mau kita jalan kayak gini tapi perut aku besar?" Sekarang justru Melisa yang sedang membayangkan itu. Ia dan Candra jalan berdua, lalu sesekali Candra mengelus perutnya.
"Kamu mau?"
Mata Melisa seketika berbinar. "Ya, mau, lah, Mas. Boleh, kan?"
"Nggak."
"Iish!" Melisa mencebik. Serasa baru saja jatuh dari ketinggian seribu kaki. Sesak.
"Kalau kamu hamil, kamu juga bakal ditinggal pergi terus sama aku kayak dia. Kamu sendirian."
"Enak aja sendirian! Aku masih punya Mama, Papa, Bang Fyan, Ibu, Mbak Lala, Pak Sarto, Inayah. Mereka pasti mau jagain aku kalau Mas lagi pergi. Kalau kita udah pindah rumah, Mas bisa sewa orang buat jagain aku. Lagian, Mas perginya karena kerja, bukan main, kenapa aku harus nahan Mas selama hamil? Aku malah bangga soalnya Mas mau tanggung jawab."
"Aku nggak mau bikin kamu sakit, Sayang."
"Lha, aku nggak hamil pun tetep sakit, Mas. Nggak mungkin sehat terus. Waktu pertama kali kita tidur bareng, Mas juga bikin aku nggak bisa jalan. Jangan pura-pura lupa, deh!"
"Ya udah, sakitnya pas itu aja. Yang lain nggak usah."
"Sekali aja, Mas. Oke?"
"Nggak, Sayang."
"Ih, Mas nggak asik!" Melisa jadi kesal. Memang susah kalau dibujuk langsung. Mendingan diam-diam seperti yang ia lakukan sekarang saja. Kalau kelak Candra tidak mau terima, Melisa bisa pergi. Jangan mau menggantungkan harapan pada manusia, terutama suami. Soal rezeki nanti bisa dicari.
"Jangan dibahas lagi, ya."
"Iya!"
"Jangan marah gitu, dong."
"Nggak marah!"
Melisa mengurai kaitan tangannya, memilih melangkah lebih dulu. Namun, Candra berhasil mengejarnya.
"Aku, tuh, udah bilang, nggak adil kegagalan orang lain jadi bayang-bayang menakutkan di masa depan. Mas dengerin apa nggak?"
"Dengerin, tapi kamu bilang pikir-pikir dulu."
Mendengar itu, Melisa kian gemas walau sebenarnya Candra benar. "Pikir-pikirnya jangan kelamaan. Nanti keburu jadi."
"Apanya?"
Spontan Melisa melebarkan mata. Astaga, naga, dragon, kenapa harus keceplosan? "Maksudnya aku keburu jadi berubah pikiran, ikut-ikutan Mas."
"Ya, bagus, dong."
"Enak aja. Tau, ah, males!"
Melisa hendak melangkah lagi, tapi Candra langsung menarik tangannya.
"Ayo, makan nasi liwet dulu."
Melisa pasrah mengikuti suaminya. Candra benar-benar membawanya ke nasi liwet yang letaknya di pinggir jalan. Hanya pesan satu porsi, yang pasti Candra sendiri yang makan. Melisa cuma duduk di sana.
"Kamu beneran nggak mau makan?"
"Nggak."
Candra menyuap nasi ke mulutnya. "Enak tau."
Seenak-enaknya makanan, kalau Melisa tidak suka, ya, sama saja. Melihat bentuknya saja berhasil mengocok perutnya, apalagi kalau berhasil masuk ke mulut. Drama tidak suka nasi masih menjadi urutan pertama dalam hidup Melisa. Kata Ratna, dulu Melisa pernah sakit sampai muntah dan yang dikeluarkan itu nasi yang baru saja ditelan. Sejak saat itu, Ratna sering kesulitan menyuapi Melisa kalau makanannya nasi.
"Kamu udah berapa tahun nggak makan nasi?" tanya Candra tiba-tiba.
"Nggak tau, nggak hitung juga. Yang jelas dari kecil."
"Kamu pernah nggak nyobain makan?"
"Pernah, sedikit, tapi habis itu aku nggak mood makan sampai besoknya."
"Selama ini ada nggak yang maksa kamu buat suka sama nasi?"
Oke. Sepertinya Melisa tahu ke mana arah pembicaraan suaminya. "Jadi, menurut Mas, aku maksa Mas buat berubah pikiran?"
"Nggak, Mel. Kamu benar. Sama seperti aku yang menganggap nasi itu makanan enak, kamu juga menganggap punya anak itu menyenangkan. Kamu pasti merasa sulit, kan, menghapus rasa takut ke nasi? Begitu juga dengan aku. Nggak gampang menyingkirkan perasaan itu."
"Jadi, intinya apa, Mas?"
"Intinya ... jangan buru-buru. Kamu pernah bilang, kan, kita bisa belajar dulu. Kamu mau, kan, kasih aku waktu buat belajar?"
Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna. Melisa sampai memandang lekat-lekat wajah Candra yang masih mengunyah makanannya. Melisa merasa salah mengartikan suaminya. Mungkin sejak dulu suaminya sudah memikirkan, tetapi merasa belum siap dan belum sempat belajar.
Ya, ada benarnya. Melisa terlalu buru-buru mengambil tindakan, terlalu buru-buru membuat kesepakatan, kalau nanti Candra tahu Melisa sudah melepas IUD-nya tanpa izin, bagaimana perasaannya? Semoga saja laki-laki itu tidak marah.
31 Oktober 2022
•••
Yes! Berhasil melewati bulan kedua dengan lancar 💃💃💃
Sisa 30 bab lagi. Go, go, go!
Makasih buat yang udah menyempatkan diri untuk baca, kasih vote, dan meramaikan kolom komentar. Aku senang bisa bertahan sampai dua bulan ini. Doakan aku selalu supaya bisa sampai finish.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro