57 - Paluang Cliff
Sebenarnya masih banyak tempat yang ingin didatangi Melisa, apalagi mumpung Candra dapat libur panjang. Namun, sayang sekali rencananya mendadak kacau lantaran ide gilanya semalam. Setelah malam itu, Candra benar-benar tidak mengizinkan dirinya keluar kamar, seharian. Bangun cuma untuk makan dan buang hajat. Sampai akhirnya tiba di hari terakhir di sini. Mau kesal, tapi enak.
Mau tahu gara-gara apa? Gara-gara Melisa mengecat kukunya! Entah sudah berapa ratus kali telinganya mendengar kata 'cantik' terucap dari bibir Candra sembari mengelus jemari Melisa yang kukunya berwarna merah.
"Kalau aku pakai kuteks setiap hari, yang ada ribet kalau mau salat. Harus hapus dulu," dumel Melisa.
Candra merengkuh pinggang istrinya. Mengecup pipi, lalu menjawab, "Kamu pakainya kalau di kamar dan pas sama aku aja. Nanti aku beliin kuteks yang banyak sekalian sama cairan penghapusnya."
Ya sudah, kalau begini Melisa mana bisa membantah. Ternyata benar, bahagia itu sederhana. Cuma cat kuku sudah bikin Candra mesem-mesem tidak jelas. Dari dulu, Melisa mana mau merias jari-jarinya. Buatnya yang penting kukunya bersih. Mungkin karena hidup di tengah-tengah pria, Melisa jadi tidak tahu fashion wanita. Pun Ratna tidak pernah membicarakan itu. Hanya saja saat menikah, Ratna berpesan padanya untuk menjaga penampilan. Harus selalu terlihat bersih kalau mau bertemu dengan suami, dan itu Melisa lakukan. Setiap kali akan mendatangi Candra, Melisa membersihkan tubuhnya, lalu pakai wewangian.
Kalau tahu hal sederhana ini bisa membuat suami senang, tentu Melisa tidak keberatan. Apalagi kalau akhirnya bisa dapat dedek lucu.
"Besok kita pulang, kan? Kamu ambil penerbangan jam berapa?"
"Jam satu, tapi tadi aku dapet WA katanya mundur jadi jam setengah dua."
"Terus hari ini kita mau ke mana?"
"Cari oleh-oleh, lah. Nggak mungkin kita pulang nggak bawa apa-apa."
"Kalau menurutku, cari oleh-olehnya kalau udah nyebrang laut aja. Biar dari sini nggak keberatan. Bagasi kapal kecil sama bagasi pesawat beda, Sayang."
"Oh, iya juga." Melisa merasa Candra ada benarnya. "Ya, udah, kalau gitu sekarang kita trip lagi. Mumpung hari terakhir di sini, Mas."
"Ke mana?"
Melisa menghidupkan ponsel. Membuka sesuatu di sana, lalu menyodorkan layarnya ke arah Candra. "Ke sini. Namanya Paluang Cliff. Lokasinya di sebelah tempat wisata kemarin."
Candra mengamati sebuah foto bukit hijau yang kemarin ia datangi bersama Melisa. Bedanya view diambil dari spot berbentuk kapal. "Berarti sama aja, kan, laut?"
"Ya beda! Kalau Kelingking Beach kita naik-turun tebing, kalau ini nggak, Mas. Lagian, sebelum masuk sini, kita ke Pohon Cinta dulu. Spot di Pohon Cinta lucu-lucu banget."
"Kenapa nggak dari kemarin pas ke sana?"
"Ih, kemarin, kan, capek habis naik tebing. Ini Mas mau apa nggak sebenernya?"
"Iya-iya, kita ke sana," jawab Candra, pasrah.
"Nah, gitu, dong. Aku mandi dulu." Melisa melepas kaitan tangan suaminya, kemudian bangkit dan kakinya mengenakan sandal.
"Mandi bareng gimana?"
"Nggak. Makasih. Bye!"
Melisa segera mengunci pintu kamar mandi sebelum Candra nekat masuk. Gila aja mandi bareng. Nanti nggak jadi keluar lagi! Memang benar, liburan bareng suami itu nggak bisa jauh-jauh dari melakukan itu.
Selesai mandi dan sarapan, mereka berdua bergegas menuju lokasi wisata tersebut mengendarai mobil sewaan. Di sini tidak mungkin ada kemacetan, ya. Karena jalanan cenderung sepi, bahkan tidak ada kendaraan selain yang ditumpangi Melisa dan Candra. Bisa dikatakan, tempat wisata ini masih terbilang sepi. Padahal sungguh keindahan di sana luar biasa. Seperti kemarin di Kelingking Beach, panorama laut biru dan bukit hijau begitu memanjakan mata. Rasa lelah terbayar lunas.
Satu jam kemudian, mereka tiba. Benar saja, sebelum memasuki wisata Paluang Cliff, mereka berdua melewati sebuah spot foto yang terbuat dari rotan. Ada yang berbentuk bundar dan berbentuk hati. Tentu saja Melisa tidak akan melewati momen bagus ini. Ia mengabadikannya dalam sebuah foto.
Mereka melangkah lurus di bawah pohon kering sampai menemukan sebuah tangga yang di bawahnya terdapat kayu berbentuk ujung perahu. Melisa memasuki spot tersebut, lalu Candra memotretnya dari atas. Setelah itu, mereka berdua berkumpul di spot tersebut walaupun panas menyengat kulit, angin mengobrak-abrik pakaian serta rambut.
Mata Melisa menyapu hamparan laut dan bukit pantai Kelingking dari belakang. Melisa benar-benar menikmati serta mensyukuri ciptaan Allah.
"Mas, kalau kita tinggal di Bali gimana?" tanya Melisa iseng. "Enak setiap hari ngeliat laut kayak gini."
"Tunggu kontrak kerjaku habis, ya. Baru kita pikirin pindah pulau."
"Oh, iya juga. Terus, Mas, ajak ibu, mama, sama papa tinggal di sini juga."
"Ibu? Berarti sama aja kita satu kota sama ibu?"
"Ya, nggak apa-apa. Kan, ibu masih keluarga." Melisa menyingkap poni yang menutupi rambut. "Ya, walaupun kelakuannya bikin kepala pusing, tetep aja ibu harus ditemenin, Mas. Ibu nggak ada keluarga lagi selain kita. Nanti kalau misalnya jadi pindah rumah, kita juga bakal kunjungi ibu."
Apa yang dituturkan Melisa justru membuat Candra tertegun. "Aku pikir kamu ajak pindah ke Bali karena mau pisah selamanya sama ibu."
"Ya, nggak, lah. Kasihan ibu kalau sendirian. Kalau bukan kita yang nemenin, siapa lagi? Mama sama papa, kan, masih ada Bang Fyan, kalau ibu? Soal sikap ibu yang kayak gitu, mau nggak mau aku harus terima karena aku nikah sama Mas."
"Terus, kenapa kamu pengen pindah rumah?"
"Aku mau belajar hidup mandiri, terus biar ibu nggak terlalu ikut campur. Kalau di rumah ibu, kan, masih ibu yang ngatur. Nah, kalau punya rumah sendiri, aku yang jadi ibu negaranya. Kalau ibu berkunjung ke rumah kita, ibu yang harus ikut aturan aku."
Melisa menggeser tubuhnya lebih rapat ke Candra. Sementara itu, tangan Candra merangkul bahu perempuan itu.
"Aku pengen punya rumah yang di dalamnya ada anak-anak kita. Aku jadi bayangin nanti aku masak, terus Mas main sama anak-anak sebelum berangkat kerja, atau anak-anak bakal nangis kejer pas mau ditinggal terbang sama Mas. Indah banget, nggak, sih?"
Candra kembali termangu. Mata Melisa berbinar saat menyebut kata anak-anak. Terlihat jelas bahwa istrinya sangat mendambakan keluarga yang seperti itu. Berbeda dengan dirinya yang masih dihantui ketakutan. Tidak hanya takut tidak bisa mendidik anak dengan baik, tetapi ia juga takut kehilangan Melisa setelah mendapatkan anak. Bukannya angka kematian ibu setelah melahirkan semakin tinggi sekarang?
Candra mencintai Melisa dan tidak mau menyiksanya. Apa itu salah?
"Mel, aku ...."
"Belum siap, kan?" Melisa memotong ucapan suaminya. "Nggak apa-apa. Aku nggak akan maksa. Biarin semuanya ngalir. Kalau Mas mau, setelah ini kita bisa belajar parenting. Mas bisa lihat video atau cerita-cerita dari orang tua yang anaknya sukses."
Seulas senyum tercetak di kedua sudut bibir laki-laki itu. Entah mengapa ia tidak mampu membalas perkataan istrinya.
28 Oktober 2022
•••
Mas, yuk, sadar 💃💃💃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro