Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

49 - Meluluhkan Istri


Waktu masih di Sidney, Candra memilih pindah kamar karena tidak mau kejadian itu terulang lagi. Pun menggunakan jasa room service untuk makan dan sama sekali tidak keluar. Hanya tiga hari. Candra merasa sanggup bertahan di dalam ruangan itu. Ia hanya keluar untuk memenuhi janji dengan Martin dan Lutfi.

Yang membuat kepalanya berat adalah Melisa. Nomor istrinya susah dihubungi meskipun aktif. Semakin erat dugaannya kalau Syakira bertindak yang bukan-bukan ke Melisa. Yang membuat Candra heran, dari mana Syakira tahu nomor telepon Melisa? Apa mungkin ibunya berani memberikan nomor itu?

Saat penerbangan menuju Yogyakarta berlangsung, Candra meminta Lutfi mengunci pintu kokpit dan tidak mengizinkan Syakira masuk, sementara untuk komunikasi dilimpahkan ke Martin. Ia tetap waspada Syakira akan bertindak nekat di saat sedang bekerja. Wanita itu sudah gagal mendapatkan tubuhnya, pasti akan menyusun rencana lagi sampai berhasil.

Begitu mendarat di bandara Adi Sucipto dan urusan penerbangannya selesai, Candra memutuskan untuk pulang. Namun, ternyata hanya ada Sarina di sana.

"Melisa belum pulang, Bu?"

"Ya, belum. Istrimu itu mana pernah pulang sore? Habis sakit langsung keluyuran."

Candra menghela napas. "Melisa kerja, Bu. Bukan keluyuran."

"Ya, makanya itu, suruh dia berhenti kerja. Wong kerjaannya nggak jelas ya masih dipertahankan. Apa uang yang kamu kasih selalu kurang?"

Selalu dan selalu apa pun dikaitkan dengan uang. Ya, memang benar segalanya butuh uang, tapi tujuan Melisa kerja bukan itu. Sarina mana mau mengerti. Yang ada di pikirannya hanya pangkat dan uang.

Melisa tidak pernah menghabiskan uangnya. Pun tidak pernah protes diberikan berapa pun. Tidak merasa kurang. Perempuan itu selalu tampil sederhana. Jarang pula merengek minta sesuatu. Bukannya sebuah keberuntungan? Harusnya Sarina senang, kan?

"Bu, aku cuma tanya Melisa udah pulang apa belum dan aku baru aja mendarat, masih pusing. Melisa nggak seperti yang Ibu pikirin."

"Lho, ibu bicara fakta. Buat apa dia sekolah tinggi kalau akhirnya dapet pekerjaan yang kecil? Jadi perempuan itu harus cerdas, cari pekerjaan yang menghasilkan." Sarina tentu tidak mau kalah. "Sudah, ibu malas kalau bahas perempuan itu. Sekarang ibu mau tanya, di penerbangan kali ini ada Syakira, kan?"

Andai saja di rumah ini punya tongkat ajaib yang bisa Candra gunakan untuk menghilang. Atau dirinya memiliki kekuatan magic menjadi transparan saat ibunya membahas sesuatu yang tidak ingin didengar.

"Kemarin dia bilang ke ibu kalau kalian terbang bersama, terus ibu titip kamu ke dia. Ibu minta Syakira datang ke kamar—"

"Apa, Bu? Ibu yang minta dia datang ke kamarku?" potong Candra. Cukup terkejut mendengar pengakuan ibunya. Bisa-bisanya Sarina meminta wanita asing datang ke kamar anak laki-lakinya. "Ibu mikir nggak, apa yang Ibu lakukan itu bisa pengaruh ke pekerjaan aku?"

"Lho, kan, cuma nengokin. Nggak ngapa-ngapain."

"Nggak ngapa-ngapain gimana, Bu? Orang kemarin dia hampir perkosa aku pas tidur!" Candra nyaris kehilangan kesabaran. Tidak habis pikir dengan pola pikir ibunya.

"Halah itu karena kamu terlalu cinta sama Melisa, makanya kamu selalu memandang buruk ke perempuan lain."

Ya Tuhan ... apa Sarina tidak mengerti anaknya baru saja mendarat dari luar negeri? Kondisinya masih jetlag. Apa Sarina tidak bisa membedakan mana yang salah dan benar? Apa perempuan datang ke kamar laki-laki yang bukan suaminya itu termasuk tindakan yang tepat?

"Ibu begini cuma karena mau punya cucu? Sebenarnya tujuan Ibu punya cucu apa? Cuma mau dipamerin aja, kan?"

"Ibu itu mau sama kayak temen-temen ibu. Temen-temen ibu udah punya cucu dua, sedangkan ibu? Satu aja belum ada. Apalagi kamu anak satu-satunya, ibu berharap ada anak yang melanjutkan keturunan."

"Aku nggak akan punya anak kalau pikiran Ibu masih kayak gitu."

Obrolan semakin panas. Tidak mau hangus, Candra memilih meraih kunci mobil di holder khusus dekat pintu, kemudian melangkah pergi. Panggilan dari ibunya tidak dihiraukan.

Tujuannya sekarang adalah kantor Melisa. Candra merasa harus segera meluruskan kesalahpahaman ini supaya tidak menjadi duri. Walau ia tahu, membujuk Melisa yang sedang marah tidak mudah. Istrinya itu bisa tahan mendiaminya berhari-hari.

Benar saja, sesampainya di kantor Yukata Books, Melisa sudah memesan ojek dan memilih menaiki kendaraan itu alih-alih mobil suaminya. Candra tidak menyerah begitu saja. Ia mengejar motor ojek yang dinaiki Melisa sampai berhenti. Usahanya itu masih belum cukup untuk membuka pintu maaf di hati Melisa. Akhirnya, Candra meminta bantuan dua rekannya yang ikut penerbangan ke Sidney.

Sepanjang perjalanan pulang, Melisa mengunci rapat mulutnya. Bahkan, langit sore lebih menarik daripada Candra. Tentang Sarina yang menyuruh Syakira datang ke kamar tidak akan pernah ia ceritakan ke Melisa. Candra tidak mau istrinya kesal dan hubungan mereka semakin renggang. Ada rasa tidak tega melihat perempuan yang dicintai selalu ditindas ibunya. Bukannya Hartanto berani melepas Melisa karena percaya Candra akan menjaganya?

"Yang rumah itu gimana? Kamu udah hubungi orangnya?"

"Udah."

Candra memandang bayangan wajah istrinya di cermin. Tangan perempuan itu bergerak menghapus mekap. "Terus apa katanya?"

"Ya gitu."

"Kamu masih marah sama aku?"

"Menurut Anda?"

Kaki laki-laki itu mendekat ke arah Melisa. Saat hendak meraih pinggangnya, si pemilik langsung menepis kasar.

"Jangan sentuh aku! Mas belum mandi pake tanah tujuh kali!"

Bukannya ikutan marah, Candra justru kian gemas. Namun, ia memilih menahan tangannya daripada membuat Melisa marah. "Mel, kan, aku udah minta maaf. Semuanya udah jelas. Udahan, dong, marahnya. Kita jadi liburan, kan?"

"Ya, jadi! Orang udah bayar."

"Nah, masa kita liburan sambil marahan. Nggak seru, dong."

Melisa enggan menanggapi. Ia meraih jubah handuk, mengikat rambutnya tinggi-tinggi, lalu melangkah masuk ke kamar mandi. Saat punggung istrinya tidak terlihat, sebuah ide muncul di kepala Candra. Senyumnya mengembang sempurna.

Candra segera melepas arloji dan meletakkannya di meja rias, kemudian mencoba menggerakkan kenop pintu kamar mandi yang ternyata tidak terkunci. Dengan hati-hati ia menyelinap, sedikit mengendap-endap agar Melisa tidak menyadari kedatangannya. Rupanya, Melisa sedang berendam di dalam bathtub. Menyisakan kepalanya karena seluruh tubuhnya tertutup busa. Mata perempuan itu terpejam sehingga tidak sadar kalau suaminya sudah berdiri di dekat bak mandi itu.

Candra terus memperhatikan sampai kemudian mata Melisa terbuka dan terlonjak kaget.

"Mas! Ngapain masuk?"

"Aku mau mandi."

"Ya, kalo mau mandi, masuk ke situ!" Melisa menunjukkan sebuah ruangan kecil didominasi kaca yang berisi shower. "Ini tempatku!"

"Emang kenapa kalau aku juga mandi di tempat kamu?"

"Aku nggak mau keramas malam-malam, Mas!"

"Lho, kan, aku cuma mandi."

"Halah, nggak ada istilah 'cuma mandi' kalau kita berdua ada di sini. Udah sana pergi!"

Bukannya pergi, Candra justru nekat masuk tanpa melepaskan pakaiannya, membuat air busanya bergelombang. Melisa berteriak.

"Mas Candra dibilangin pergi, ih! Bukan nyebur ke sini!"

"Aku nggak akan pergi sebelum kamu maafin aku."

"Mas! Aku nggak---"

Sayang sekali suara Melisa tertelan lagi karena Candra berhasil mengunci bibirnya.


20 Oktober 2022
•••

Part bulan madunya mulai besok ya, Ges.

Kenapa kalo habis berantem langsung keramas? 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro