Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48 - Meluruskan


"Sayang!"

Lho, ternyata bukan mirip. Memang itu mobil suaminya. Spontan Melisa mengecek ponsel dan baru sadar Candra mengirim banyak pesan dan panggilan. Salah satunya mengatakan kalau laki-laki itu tiba pukul dua siang. Sekarang sudah pukul setengah lima.

"Mas ngapain ke sini?"

"Kok, masih ditanya. Ya, jemput kamu, Sayang."

Telanjur pesan ojek dan masih malas bertatap muka, Melisa memilih menyuruh tukang ojek memacu motornya. Namun, di belakang Candra terus mengejar. Takutnya kalau diteruskan sampai rumah, nanti tetangga kepo, terus Sarina makin pedes mulutnya.

"Berhenti, Mas!"

Motor berhenti, begitu juga dengan mobil Candra. Melisa turun dan memberikan dua lembar uang pecahan lima puluh ribuan kepada tukang ojek, sekaligus minta maaf karena tidak sampai tujuan.

"Ini kebanyakan, Mbak."

"Nggak apa-apa, Mas. Terima aja buat ganti bensin. Saya ikhlas."

"Ya, udah, Mbak, kalau gitu makasih, ya."

Selepas tukang ojek itu pergi, Melisa tidak juga mendekat ke mobil Candra. Masih menjunjung tinggi rasa gengsi. Sampai akhirnya Candra yang menghampiri.

"Ayo, masuk!"

"Nggak mau!"

"Mel, kita nggak mungkin di sini terus, kan? Aku juga mau ngomong sama kamu."

Candra membuka pintu mobil, menunggu Melisa masuk. Tidak lama, Melisa melangkah pelan tanpa melirik suaminya sama sekali. Ketika Melisa duduk, Candra menutupnya kembali. Kini, gilirannya yang masuk.

"Pasang sabuk pengamannya dulu."

Melisa menepis keras tangan suaminya saat menyentuh ujung seat belt. "Aku bisa sendiri!"

Sabuk pengaman terpasang. Melisa memalingkan wajahnya. Enggan menghadap Candra yang sejak tadi memperhatikannya.

"Kenapa kamu nggak angkat telepon aku? Nomor kamu juga sempat nggak aktif."

"Pikir aja sendiri!" jawab Melisa tanpa menoleh sedikit pun.

"Syakira bilang apa aja ke kamu?"

Melisa mengunci rapat mulutnya. Bahkan, saat Candra berusaha meraih tangannya, Melisa terus menepis.

"Apa pun yang dia bilang ke kamu, itu nggak seperti yang kamu pikirin."

Kali ini, Melisa bereaksi. "Emang Mas tahu apa yang aku pikirin?"

"Ya, makanya itu kamu ngomong ada apa sebenernya."

Hening. Melisa mencoba mengatur amarahnya. Jelas marah, lah. Ia masih ingat jelas foto laknat itu. Sekarang Candra muncul tanpa aba-aba. Harusnya tadi Melisa lihat ponsel biar bisa kabur ke kutub utara, biar sekarang nggak duduk di sini.

Dalam pernikahan yang penting itu kejujuran, kan? Maka, sekarang Melisa akan memancing. "Mas ngapain sama dia?"

"Nggak ngapa-ngapain."

"Bohong! Kalau nggak ngapa-ngapain, kenapa dia bisa masuk ke kamar Mas? Dia nggak mungkin bisa masuk kalo nggak Mas undang! Atau Mas sengaja ajak dia masuk?"

"Nggak, Sayang. Demi Allah. Itu karena nggak sengaja. Aku tidur dan dia bisa masuk karena kuncinya ketinggalan di luar."

"Kalau Mas tidur, berarti nggak tau, kan, apa yang terjadi sebelum bangun?"

"Nggak terjadi apa-apa, aku cuma tidur sebentar, terus dia datang, dia emang ada di atas aku, tapi aku nggak respons dia. Aku langsung usir dia."

Sulit untuk dipercaya. Melisa kian berkecamuk. Bayangan menjijikkan itu datang tanpa diundang. Ah, sial! Melisa benci pikirannya. "Bohong kalau Mas nggak merespons, apalagi kalian sedekat itu."

"Mel, di mana pun aku selalu inget kamu. Aku selalu berusaha jaga kepercayaan kamu, tapi yang kemarin emang nggak sengaja. Aku yang ceroboh. Kamu bener, nggak mungkin kalau aku nggak merespons, tapi aku berusaha untuk melawannya karena yang berhak cuma kamu."

Melisa tidak membalas. Ia sibuk dengan pikirannya. Masih tidak rela ada perempuan lain yang berhasil menyentuh suaminya. Nyali Melisa menciut seketika. Bagaimana kalau setelah ini Candra terus membayangkan kejadian itu? Bagaimana setelah itu mereka benar-benar melakukan itu?

"Kamu masih nggak percaya?"

Lagi, Melisa tidak menjawab. Ia ingin percaya, tapi kenapa rasanya ... sulit.

Selanjutnya, Melisa melihat Candra mengambil ponsel, menghubungi seseorang. Yang Melisa dengar, Candra butuh bantuan orang itu. Mungkinkah suaminya itu menghubungi teman satu krunya?

"Ada Martin dan Lutfi yang bakal jelasin biar kamu percaya," kata Candra sembari menyalakan mobil.

Melisa melongo.

Di sebuah kafe, empat orang duduk dalam satu meja. Martin dan Lutfi bersedia meluangkan waktunya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Melisa memperhatikan teman suaminya satu-satu, sebelum akhirnya memutuskan untuk mendengar penjelasan mereka.

"Dua jam setelah landing, kami langsung ke hotel, Mbak. Langsung ke kamar masing-masing. Nggak ada siapa pun selain kami bertiga di lorong kamar kami. Saya nggak tahu kapan dia masuk ke kamar Captain. Pada saat itu, saya lagi mandi," jelas Martin.

"Saya yang melihat Syakira masuk, Mbak. Itu kejadiannya belum lama setelah kami bertiga masuk. Saya nggak sempat mencegah karena pintu udah telanjur dikunci. Jadi kalau Captain bawa perempuan itu masuk, rasanya nggak mungkin. Orang Captain bersama kami," sambung Lutfi.

Martin mengangguk. "Lagian kalau memang Captain mau, mungkin setelah Syakira masuk nggak langsung diseret keluar, Mbak. Pasti dinikmati dulu mumpung gratis."

Melisa langsung memberikan tatapan tajam. Membuat Martin meringis dan menangkupkan kedua tangannya.

"Saya jadi tau kenapa Captain sayang banget sama istrinya. Mbak galak soalnya, nggak mungkin Captain berani macam-macam." Martin mengoceh lagi.

"Iyalah. Kalo Mas Candra berani macam-macam dan kalian berani menyembunyikan, bukan burung Mas Candra aja yang hilang, tapi punya kalian juga."

Seketika raut wajah Martin dan Lutfi berubah takut. Tangan refleks menutup bagian vital milik mereka.

"Jangan, Mbak. Saya tahun depan mau nikah. Kasian istri saya kalo nggak ada burungnya," kata Martin. "Yang tadi kami jujur, kok, Mbak. Nggak ada satu pun yang kami tutupi."

"Gimana? Kamu masih nggak percaya?" Candra bersuara. Namun, Melisa diam saja.

"Kalau sudah tidak butuh bantuan, saya pulang dulu, Capt. Mau tidur."

"Maaf saya sudah ganggu waktu istirahat kalian." Candra membalas ucapan Martin.

Selanjutnya, Martin dan Lutfi pamit pulang. Menyisakan Candra dan Melisa.

Candra meraih cangkir berisi kopi. "Diminum punya kamu. Habis itu, kita pulang."

Bukannya menurut, Melisa justru melirik tajam. "Mas kalo pesen minuman itu tanya-tanya dulu. Aku lagi nggak mau minum cokelat!"

Usai menyesap cairan berwarna hitam itu, Candra mengernyit bingung. "Lho, biasanya kamu nggak protes kalo aku pesen minuman ini."

"Ya itu, kan, biasanya. Sekarang aku lagi mengurangi gula, Mas. Aku sekarang minumnya jus."

"Jus?" Kening Candra makin berlipat. Melisa nggak salah ngomong, kan? "Kenapa kamu---"

"Kalo istrinya mau berubah itu jangan ditanya kenapa, tapi didukung. Mas seneng, kan, aku makan sama minum yang sehat? Kalo badan aku bagus, kan, Mas juga yang menikmati."

"Ya, udah, minuman kamu diganti---"

"Nggak usah." Melisa meraih gelas berisi cokelat. Menyedotnya sampai habis. Cuma sekali. Habis ini kembali minum yang sehat lagi. Kalau ganti minuman, makan waktu.

"Kamu makin cantik kalau lagi marah."

Melisa mendelik. Enak saja mau merayu. Tidak akan mempan. "Udah tau kalo aku cantik. Nggak usah ngomong."

"I love you."

"Udah tau."

"Bukan gitu balesnya."

"Biarin. Mulut aku, suka-suka aku mau ngomong apa."

Begitu gelasnya sudah kosong, Melisa bangkit, lalu mencangklong tasnya. Candra spontan berdiri.

"Kamu mau ke mana?"

"Ya, pulang."


19 Oktober 2022
•••

Bentar lagi ada yang bulan madu kedua, nih 🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro