44 - Persiapan
"Aku akan menuruti semua keinginan kamu, kecuali yang ini, Mel. Untuk yang satu ini, aku nggak bisa."
Melisa terus mengingat kata-kata itu. Sebuah kalimat yang membuatnya tak bisa berkutik lagi. Ya memang selama tiga tahun ini, Candra mampu menuruti semua keinginannya. Melisa tidak merasa kekurangan kasih sayang meski kini tinggal jauh dari orang tua. Ibarat kata, Candra ini bisa menggantikan sosok Hartanto serta ketiga kakaknya. Walau sering ditinggal tugas, perhatian Candra selalu berlimpah.
Untuk yang satu ini, Melisa tidak perlu menunggu Candra. Laki-laki itu tidak perlu menurutinya. Ia sendiri yang akan mewujudkan keinginan itu diam-diam. Kalau suaminya protes tinggal bilang saja 'salah sendiri kenapa buangnya di dalam'.
Kerinduannya pada kehadiran anak membuat Melisa bertindak nekad. Melisa sudah memastikan rencana ini akan berhasil. Ia sudah menghitung perkiraan masa suburnya bertempatan dengan hari libur suaminya. Pun Candra nyaris tidak pernah menggunakan pengaman, jadi kalau kebobolan, Melisa punya alasan untuk membalikkan keadaan. Ya, walau kembali lagi kepada keputusan Gusti Allah. Melisa punya waktu dua sampai enam bulan untuk tahu apakah dirinya pantas mengemban amanah itu.
Liburan romantis sepertinya menjadi opsi yang bagus. Sejak tadi Melisa menggeser layar ponselnya, mencari tempat yang cocok. Masih mencari sekitaran Jogja. Mulai dari hotel, pantai, bukit, hingga Candi Prambanan. Namun, Melisa menyadari sesuatu.
"Tapi ... kalau di Jogja, Ibu bisa nyusul, terus nyuruh Mas Candra pulang, jadi kacau, dong? Nggak bisa. Pokoknya harus cari tempat yang jauh dari sini."
Dengan cepat jempolnya menghapus kata kunci. Awalnya Melisa terpikir pergi ke Semarang saja biar sekalian pulang. Namun, segera ditepis karena ia sudah bosan dengan tempat-tempat di sana, pun Sarina masih bisa datang. Lalu, jemarinya mulai mengetik kata kunci 'tempat wisata di Bali'. Selanjutnya, terlihat daftar nama tempat wisata di Bali, termasuk pulau dan pantainya. Wajahnya semringah.
"Kalau ke sini, Ibu nggak mungkin bisa nyusul. Ibu, kan, malas perjalanan jauh."
Di tengah pencarian, layar berubah menjadi panggilan video. Nama suaminya terlihat di sana. Tanpa berpikir dua kali Melisa menerima. Kemudian, ia disuguhkan dengan pemandangan interior kamar hotel. Kebiasaan Candra kalau telepon selalu jika sudah tiba di hotel. Melisa yang wajib sabar menunggu sampai dua jam dari waktu kedatangan.
"Aku baru aja baca chat kamu, Sayang. Kamu beneran ke rumah sakit?"
"Ya beneran. Ini baru pulang."
"Apa kata dokter?"
"Cuma kecapekan," jawab Melisa dengan memasang wajah sebaik mungkin supaya laki-laki itu percaya. Eh, tapi, bukannya ini saat yang tepat buat bilang rencananya itu?
"Sama harus refreshing biar kepala nggak pusing terus. Jadi, aku udah cari tempat buat liburan. Udah lama, kan, kita nggak liburan berdua?"
Alis Candra terangkat. "Dokter bilang begitu?"
"Iya."
"Kamu kali yang mau liburan."
Melisa meringis. "Boleh, ya, habis ini kita liburan?"
"Oke. Mau ke mana?"
Nah, kan. Melisa tidak perlu mengeluarkan tenaga dalam untuk membujuk Candra. Karena suaminya sudah mengatakan akan mengabulkan semua keinginannya. "Ke Bali, ya?"
"Kok, jauh?"
"Kalo deket nanti Ibu gangguin. Kalo Mas setuju, nanti aku yang reservasi tempatnya. Mas tinggal terima beres."
"Ya udah, terserah kamu mau liburan di mana. Kita ke sana."
Yes! Melisa tersenyum lebar. Bersyukur karena diberikan suami yang mampu secara finansial. Tidak perlu berpikir seribu kali kalau ingin ke luar kota. Namun, bukan berarti Melisa semena-mena menggunakan haknya. Ini lagi kepepet aja gara-gara mau bikin anak.
Tidak percaya? Dulu, Candra pernah menawarkan renovasi kamar supaya ada walk in closed, supaya kalau Melisa mau koleksi barang tidak perlu kebingungan, tetapi Melisa menolak. Ia bukan perempuan yang hobi menimbun barang. Dengan lemari besar saja sudah cukup menampung perlengkapan miliknya.
"Oh, iya, Mas. Tadi penulisku bilang ada adiknya yang mau jual rumah. Lokasinya di deket bandara. Aku belum hubungi kontaknya, sih. Menurut Mas gimana? Mendingan tanya-tanya dulu atau cari yang lain?"
Di sana, Candra terlihat sedang melepaskan id card, pin wings, lalu dasi warna biru tua. "Kamu coba tanya, kalau cocok ambil aja."
"Kalau harganya mahal gimana?"
"Nggak apa-apa."
Ya, walaupun Candra mampu, Melisa akan berusaha untuk menawar, itu pun kalau cocok. Jangan sampai hasil jerih payahnya habis gara-gara beli rumah.
Obrolan pun terputus karena Candra ingin mandi. Melisa lantas kembali mencari tempat wisata di Bali dan menemukan satu pulau namanya Nusa Penida. Ia sering melihat foto-fotonya di Instagram. Laut biru, bukit yang hijau, perpaduan yang cocok untuk memadu kasih, bukan? Kepalanya mulai membayangkan dirinya dan Candra berselancar di tengah laut menggunakan speed boat, naik ke bukit untuk menghidu udara segar, atau duduk di pantai sembari menikmati matahari tenggelam. Malam harinya, Melisa mendatangi suaminya dengan tubuh bersih, wangi, dan mengenakan pakaian seksi. Meninggalkan benih-benih yang salah satunya akan menjadi buah cinta.
Sempurna. Melisa tidak sabar menunggu hari itu tiba.
Usai booking, ponsel diletakkan di kasur, lalu Melisa beranjak membuka lemari berisi koleksi bajunya. Ia mengabsen satu per satu baju dinas dengan berbagai warna. Dari yang sudah pernah dipakai sampai yang belum tersentuh. Apa harus dibawa semua? Sepertinya itu ide yang bagus. Di tempat yang romantis harus terlihat memukau.
Semua pakaiannya Melisa langsung masukkan ke koper supaya nanti Candra pulang, tinggal berangkat saja. Selepas itu, Melisa memutuskan mandi air hangat. Tubuhnya makin enteng setelah diguyur air.
Masih mengenakan bathrobe, Melisa duduk di pinggir ranjang dan meraih ponselnya kembali. Ia terpikir untuk menghubungi Ratna.
"Mel, tumben kamu telepon mama. Ada apa?" Suara Ratna terdengar setelah telepon terhubung.
"Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma kangen."
"Candra mana?"
"Lagi dapet jadwal terbang ke Sidney, Ma. Aku nggak diajak."
"Lho, kan, suamimu kerja bukan liburan. Ada-ada aja kamu."
Melisa memindahkan ponselnya ke sebelah kiri. "Tapi, habis ini aku ada rencana mau liburan ke Bali, Ma. Doain, ya, Ma, begitu pulang dari sana, aku isi."
"Amin. Mama selalu doain kamu sama Candra. Kamu juga jangan putus doa sama usaha, ya. Jangan banyak pikiran, makan sama istirahat yang cukup. Bikinnya jangan sampai begadang. Bukannya isi, kamunya masuk angin."
"Iya, Ma."
"Pokoknya apa pun yang terjadi nanti, kecewa boleh, tapi jangan berlarut-larut. Kamu harus percaya yang terjadi itu terbaik buat kamu."
Melisa tersenyum. Tujuannya menghubungi Ratna telah tuntas. Ia percaya doa ibu di atas segalanya. Makanya ia kepikiran meminta doa pada Ratna.
Setelah telepon terputus, Melisa menurunkan ponselnya dan baru sadar rupanya ada pesan masuk. Sebuah nomor asing mengirimkan satu foto berlatar dinding kamar hotel dan setengah badan seorang perempuan mengenakan bathrobe putih. Yang membuat Melisa terpaku adalah seragam putih, celana hitam, dan id card yang berisi foto suaminya tergeletak berantakan di kasur.
+62 811-4412xxxx: Melisa, suamimu aku pinjam sebentar, ya :)
15 Oktober 2022
•••
Hayoloh, apakah akan terjadi perang dunia?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro