Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42 - Keputusan Akhir


Semenjak pengakuan tiga tahun yang lalu, Melisa tidak pernah menyinggung soal kehamilan atau anak. Ia mengikuti arus. Bahkan, membiarkan itu menjadi rahasia dari orang tua mereka. Sampai detik ini, tidak ada yang mengakui jika di dalam tubuh Melisa terdapat alat kontrasepsi. Wajar jika para orang tua mulai khawatir kenapa belum dikaruniai anak padahal sudah lama menikah.

Masih beruntung mama papa Melisa tidak menuntut cucu karena tahu bagaimana rasanya menanti sebelum Ahsan ada. Beda dengan Sarina yang begitu cepat diberi amanah, wanita itu menginginkan sang menantu sama seperti dirinya. Mulai dari menyindir, memaksa, sampai mencarikan istri kedua. Wanita itu tidak tahu rasanya menunggu, berharap, dan menahan sakit akibat melihat bayi lucu milik orang lain.

Melisa ingat dulu Sarina mengajaknya ke tempat arisan. Melisa tahu di sana tidak hanya arisan, ajang pamer tidak ketinggalan. Pulang dari sana, Sarina memarahinya karena di sana hanya dirinya yang belum kunjung hamil.

"Kamu lihat itu, temen Ibu yang anaknya nikah bulan lalu, langsung hamil. Kamu udah mau setahun nggak hamil-hamil. Buat apa nikah kalau nggak bisa menghasilkan anak?"

Sejak saat itu, Melisa menolak jika diajak pergi oleh Sarina, bahkan meminta izin bekerja. Tentu saja keputusannya itu ditentang keras oleh Sarina. Namun, bagi Melisa, yang penting kewarasannya utuh. Bayangkan dulu ia tidak kepikiran kerja, pasti sekarang sudah mati karena ditekan terus.

Bertahan dalam situasi rumit ini tentu harus punya stok sabar yang melimpah. Setelah tiga tahun diam, Melisa mulai mencoba membujuk Candra. Sampai akhirnya kemunculan Syakira, Melisa makin gencar mendorong suaminya supaya memberikan izin lepas KB. Akan tetapi, sekali lagi, ketakutan masih membungkus tubuh laki-laki itu. Meringkus nuraninya.

Melisa tidak mau Syakira berhasil. Melisa tidak mau ada perempuan lain di dalam pernikahannya. Melisa tidak mau Sarina menang. Dengan alasan itulah, ia mantap mengambil sebuah keputusan.

Anda: Kayaknya aku butuh ke rumah sakit, Mas. Sakit kepalaku nggak hilang-hilang.

Anda: Aku izin ke rumah sakit, ya. Naik Grab. Males kalo minta tolong Ibu.

Masih centang satu, tapi tidak masalah. Yang penting Candra sudah tahu dan Melisa tenang selama perjalanan. Keluar dari ruang pesan suaminya, Melisa beralih ke nomor dokter yang menangani kontrasepsinya.

Anda: Dokter Indi, masa berlaku IUD saya habis hari ini. Berarti saya harus lepas terus ganti, kan?

Melisa gigit jari. Menunggu balasan. Semoga saja Dokter Indi sedang kosong waktunya sehingga bisa membalas pesannya dengan cepat.

Ponselnya bergetar singkat. Pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Melisa segera membukanya dan ternyata dokter itu membalas.

Dokter Indi: Iya, Bu. Segera ke sini, ya. Saya tunggu sampai jam 3.

Anda: Sendirian nggak apa-apa, kan, Dok? Suami saya lagi tugas.

Dokter Indi: Nggak apa-apa.

Perempuan itu kemudian mempersiapkan diri. Dimulai dengan mandi air hangat, lalu memilih pakaian yang tidak membuat dokter kesulitan. Pilihan Melisa jatuh pada rok plisket berwarna ungu tua dan blouse berwarna ungu muda. Tidak lupa scarf motif bunga-bunga untuk mengikat rambutnya hingga menyisakan bagian poninya.

Melisa menuruni tangga pelan-pelan karena kepalanya masih kliyengan. Biasanya grasa-grusu. Kalau sekarang banyak gaya terus jatuh, yang ada Sarina makin tajam tanduknya.

"Mau ke mana kamu?"

Panjang umur si Ibu. Tahu aja kalau lagi dipikirin. Orangnya muncul dari arah taman belakang.

"Mau pergi," jawab Melisa singkat. Enggan memberitahu tujuannya. Kalau Sarina tahu, pasti akan ikut. Wanita itu, kan, suka kepo.

"Bagus, ya. Udah sehat langsung keluyuran. Perempuan, kok, senangnya keluar rumah!"

Melisa memutar bola matanya. "Ibu lagi ngomongin diri sendiri? Aku keluar, kan, untuk kerja. Kalau Ibu untuk apa? Nongkrong-nongkrong cantik sambil gosip? Bukan level Mel itu."

Skakmat! Hanya lirikan tajam yang Melisa terima. Melisa malas berbohong. Lebih baik mengungkapkan fakta. Lagi pula, memang ada aturan perempuan harus berdiam diri di rumah? Percuma Ibu Kartini memperjuangkan emansipasi wanita.

Grab car pesanan Melisa sudah datang. Melisa segera masuk supaya kendaraan itu melaju. Masih pagi, malas meladeni mulut mercon mertuanya.

Tujuan pertamanya adalah Yukata Books. Semalam ia sudah mengingkari janji pada Wawan. Yang katanya mau diskusi, justru tidur karena sakit kepalanya tidak kunjung sembuh. Pagi ini Melisa akan menuntaskannya. Baru setelah itu berangkat ke rumah sakit.

Rupanya Wawan sudah datang lebih dulu. Padahal belum waktunya. Melisa, sih, senang-senang saja. Artinya pertemuannya kali ini bisa lebih cepat.

Melisa duduk di seberang Wawan. Meletakkan tas berisi laptop serta perlengkapan lain dan ponsel di meja. "Sekali lagi maaf, ya, aku semalam tepar."

"Nggak apa-apa, Mbak. Tubuh Mbak berhak untuk istirahat. Jangan terlalu diforsir. Saya juga nggak bisa. Semalam saya bantu adik pindahan. Kalau Mbak Mel ada teman yang butuh rumah, kebetulan adik saya lagi jual rumahnya, tuh."

"Lokasinya di mana kalau boleh tahu?"

"Dekat Adi Sucipto, Mbak."

Melisa mengerjap. Sepertinya semesta bekerjasama dengannya. "Kebetulan aku lagi cari rumah dekat situ."

Wawan tampak terkejut. "Beneran, Mbak?"

"Iya. Rencananya aku sama suami mau pindah, terus lagi cari rumah yang deket bandara."

"Adik saya pindah karena malas dekat bandara, ini Mbak malah cari yang dekat."

"Suamiku pilot, makanya cari yang dekat biar efisien."

"Oalah. Kalau begitu saya kasih kontak adik saya. Mbak aja yang komunikasi sama dia."

"Oke. Semoga jodoh, deh."

Setelah mendapatkan nomor adiknya Wawan, Melisa meletakkan ponsel di meja. "Aku baca naskah kamu sebentar, ya. Habis ini kita bahas lagi apa masih ada yang perlu diperbaiki."

"Silakan, Mbak."

Melisa membaca naskah hasil revisi yang seharusnya dilakukan semalam. Begitu menemukan kejanggalan, Melisa langsung mendiskusikannya dengan Wawan.

"Aku kasih deadline sampai besok pagi. Bisa, kan?"

"Bisa, Mbak. Saya usahakan."

"Oke kalau gitu pertemuan kita cukup sampai di sini. Kalau kamu ngerasa bingung boleh WA aku."

"Terima kasih, Mbak."

Urusan dengan Wawan beres, Melisa lantas beranjak menaiki Grab lagi. Kali ini tujuan selanjutnya yaitu rumah sakit. Melisa mengecek ponsel. Pesan yang ia kirim ke Candra masih centang satu. Karena itu, Melisa membuka flight radar. Rupanya pesawat masih mengudara. Katanya, penerbangan memakan waktu sampai tiga jam. Melisa harus sabar menunggu kabar.

Bagi para pekerja udara akan menyenangkan dapat job ke luar negeri, bisa sekalian jalan-jalan. Namun, bagi keluarga yang ditinggalkan, mereka ketar-ketir sekaligus kesepian.

Setibanya di lobi rumah sakit, Melisa menaiki lift menuju ruangan Dokter Indi yang letaknya di lantai tiga. Melisa memperbaiki penampilan di saat kotak besi itu meluncur ke atas. Begitu lift berhenti dan pintunya terbuka otomatis, kakinya bergerak di lantai lorong, lalu duduk di bangku kosong, menunggu giliran namanya dipanggil.

Namanya dipanggil setelah dua puluh menit menunggu. Melisa bangkit, kemudian melangkah memasuki ruangan itu.

"Selamat siang, Dok!"

Melisa duduk di kursi seberang Dokter Indi, dipisahkan oleh meja kerja.

"IUD-nya habis hari ini, ya?" tanya Dokter Indi memastikan.

"Iya, Dok."

"Kalau begitu, IUD yang lama saya lepas, terus diganti dengan yang baru, ya. Jangka waktunya sama, tiga tahun. Setiap bulan Ibu ke sini untuk lihat kondisinya."

Melisa mengambil napas, lalu diembuskan. "Kalau berhenti KB sekarang, saya bisa langsung hamil nggak, Dok?"

13 Oktober 2022

•••

Nah, iki sing tak maksud, Ges. Melisa kalau udah nekat langsung ngegas 🤣🤣🤣

Kan males ya nunggu Candra luluh, mendingan diem2 lepas 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro